Selasa, 20 Maret 2012

Gedung Ormas Islam Kab.Bandung Akhirnya Akan Diresmikan

Gedung Ormas Islam Kab.Bandung Akhirnya Akan Diresmikan

RUMUS 3 M BUAT PENGUSAHA

Bisnis itu dijalankan tiga hal. Pasar, manajemen, serta modal. Saya menyebutnya dengan 3 M, yakni market, management dan money.
Lihat dan pelajari dulu pasar sebelum menjalankan bisnis. Produk bisa diciptakan, namun pasarnya belum tentu tersedia. Kalau tidak ada pasar, apa yang bisa dibisniskan? Namun bisnis lebih gampang ditekuni bila pasarnya sudang membentang.
Produk ada dan market tersedia, tapi harus ada yang menjalankan bisnis. Maka  bisnis harus ada manajemen. Bisnis tidak akan berjalan tanpa manajemen.
Yang juga penting adalah dana atau modal. Jika ada dana, bisnis pasti bisa dijalankan. Tiga M ini menjadi satu kesatuan. Harus terpenuhi semuanya. Satu hilang, sulit menjalankan bisnis.
Namun tiga hal ini hanya modal dasar menjalankan bisnis. Boleh dibilang 3M adalah basic level berbisnis. Bila ingin berkembang besar dan bertahan lama, perlu support lain, terutama adalah values atau nilai-nilai yang dikembangkan dalam perusahaan. Jadi, menjalankan bisnis perlu rumus 3 M plus values.
Sebutlah nilai mengenai kejujuran, menjaga kepercayaan, keterbukaan dan pelayanan baik bagi pelanggan. Masa depan sebuah bisnis, menurut saya, bergantung pada bagaimana kita menjalankannya secara jujur maupun menjaga kepercayaan.
Silakan saja mengambil untung besar walau dengan cara menipu. Tapi, apakah konsumen nanti akan mau setia bila tahu dibohongi?
Bisnis semacam apa yang  bertujuan saling mencurangi dan tidak didasari rasa saling percaya? Justru poin utama membangun bisnis adalah membangun kepercayaan, baik kepada shareholder, di internal perusahaan, maupun kepada pelanggan.
Demikian pula dengan keterbukaan dan pelayanan pelanggan. Sebenarnya, tidak sulit melayani konsumen, terutama konsumen Jakarta. Mereka lebih toleran dan memahami kesulitan kita.
Setiap perusahaan pasti pernah melakukan kesalahan. Tapi jangan sengaja dibuat salah sehingga merugikan konsumen.
Kalau ada kesalahan beri kepastian mengenai perbaikannya. Misalnya pengantaran sepeda motor. Jalan di Jakarta begitu macet, sehingga sulit memprediksikan berapa waktu tempuh untuk mengantarkan sepeda motor pesanan konsumen.
Kultur kita kepastian. Kalau kita tidak bisa datang jam 14.00 WIB, ya, bilang tidak bisa datang jam segitu. Konsumen Jakarta pasti maklum, asalkan diberitahukan terlebih dahulu. Pengalaman selama ini, 99% konsumen bisa menerima hal ini.
Nah, bisnis yang menjunjung tinggi nilai-nilai ini hampir pasti akan awet dan berkesinambungan. Prospek di masa mendatang juga lebih cemerlang.
Tugas utama seorang pemimpin adalah menanamkan nilai-nilai perusahaan, sekaligus menjaganya. Urusan rutin operasional serahkan saja pada para profesional yang kita miliki.
Namanya menanam, pasti harus dari awal. Di tahap orientasi karyawan baru, misalnya, kita harus tampil menanamkan nilai-nilai itu serta mengarahkannya. Tidak bisa nilai-nilai itu hanya ditulis dan ditempelkan di dinding seolah-olah semua bisa membacanya dengan sendirinya.
Setelah menanam nilai, giliran kita merawat atau menjaganya. Tahap ini saya pikir lebih sulit daripada menanamkan nilai. Perlu contoh dari pemimpin agar semua melihat atasannya memiliki komitmen menjaga dan menegakkan nilai-nilai baik dalam perusahaan.
Oleh: Robbyanto Budiman
Sumber: Kontan

YUSUF MANSYUR AJAK INDONESIA MENGAJI

Sebagai ustad yang concern dengan pembibitan penghafal Al-Quran, ustad Yusuf Mansyur memang selalu mengembangkan lembaga yang diasuhnya PPPA (Program Pembibitan Penghafal Al-Quran) Daarul Quran yang sud...ah memasuki tahun ke-5.

Banyaknya permintaan untuk menyelenggarakan acara menyimak Al-Quran di berbagai daerah, Yusuf Mansyur pun akhirnya mengadakan Indonesia Menyimak Quran. Berlangsung di Masjid Agung At Tin di Taman Mini, Jakarta Timur dari tanggal 16-18 Maret 2012, Indonesia Menyimak Quran dihadiri ribuan jamaah dari berbagai daerah.

"Kalau ini Alhamdulillah yah, jamaah kita semangat banget padahal acaranya dari pagi. Semenjak tanggal 16 sampai hari Minggu. Alhamdulillah stamina masyarakat bagus, bahkan peminatnya banyak. Masyarakat dari daerah pada datang berbus-bus. Dari Jawa Tengah, Lampung, Palembang, Subhannallah. Mudah mudahan ini menandakan bahwa banyak yang cinta akan Al-Quran," papar ustad Yusuf Mansyur.

Minimnya perhatian masyarakat terhadap Al-Quran belakangan ini yang membuat Al-Quran terlupakan. Oleh sebab itu, dalam kesempatan itu, Yusuf menghimbau kepada masyarakat untuk meluangkan waktu untuk membaca Al-Quran.

"Yah kitanya gak ada perhatiannya dengan Quran dan itu yang menjadi kita sulit menyimak. Jadi padahal ini tinggal dengerin doang. Tapi susah karena gak ada waktu buat dengerin. Makanya dalam kesempatan ini, saya menghimbau kepada saya dan keluarga saya dan keluarga besar se-Indonesia untuk meluangkan waktu buat Al-Quran. Kalau tidak, maka kehidupan kita akan dilipat Allah sehingga kita sibuk aja, nggak ada waktu. Jadi luangkan waktulah buat Quran, buat Masjid. Insya Allah mudah-mudahan, kesusahan demi kesusahan Allah ganti dengan kesenangan," tutupnya. (kpl/aia)
Lihat Selengkapnya

Sabtu, 17 Maret 2012

Fakta Ilmiah Lailatul Qadar

Artikel tentang Lailatul Qadar ini bersumber dari karya Rajendra Kartawiria, Quranic Quotient Centre. Sebagian isi buku ini kemudian dipublikasikan di internet oleh Aulia Muttaqin dan beberapa sumber lainnya.

Manfaatkan malam Ramadhan untuk memperluas ilmu dan membangun keyakinan

Mengapa Ramadhan?

Dalam Islam kita mengenal adanya 4 bulan suci, yaitu Dzulka’idah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Ramadhan yang berarti panas pun tidak termasuk sebagai bulan suci. Mengapa Ramadhan dipilih untuk puasa sebulan penuh?


Dalam ilmu astronomi, Radiasi Matahari memiliki siklus 11 tahunan. Tahun 2007 sendiri merupakan akhir dari siklus ke 23 sejak pengamatan pertama pada abad 18.

Bumi dilindungi Magnestosphere, sehingga dampak badai radiasi bukan terjadi pada sisi bumi yang menghadap matahari (siang hari).

Saat badai radiasi matahari datang, dampaknya terasa pada bagian bumi yang membelakangi matahari (malam hari).

 Radiasi di malam hari mempengaruhi tingkat getaran otak.
Radiasi dan gravitasi bulan purnama meningkatkan permukaan air laut dan kehidupan makhluk laut di malam hari. Juga menarik air dalam membran otak dan lebih menggetarkan sel-sel otak. Getaran sel otak menggambarkan tingkat kesadaran dan aktivitas otak.

Umat muslim dianjurkan puasa sunnah 3 hari “shaumul biidh” pada saat terang bulan setiap tanggal 13, 14, dan 15 bulan-bulan Hijriyah dan menghidupkan malam-malamnya.

Tingkat radiasi bervariasi 0-100,000 dan di skala S1-S5 oleh NOAA.

Berdasarkan pengamatan, radiasi sebesar 1000 MeV particles s-1 ster-1 cm-2 terjadi 10 kali dalam satu siklus 11 tahunan, atau terjadi setiap 13 bulan sekali. Radiasi sebesar 1000 MeV particles s-1 ster-1 cm-2 ini digolongkan dalam skala S3, dan mulai berbahaya bagi manusia sebesar 1 chest x-ray.

Radiasi dengan siklus 11,7 bulan (1 tahun hijriyah) adalah sebesar 800 MeV particles s-1 ster-1 cm-2.

Mengarah pada hipotesa malam Lailatul Qadar Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan (QS Al Qadr 97:3)

 Building Block …
  1. Siklus satu tahunan (hijriyah) bernilai 1000 x bulan purnama
  2. Malam yang nilainya 1000 bulan purnama adalah Lailatul Qadr
  3. Lailatul Qadr terjadi di bulan Ramadhan
  4. Jadi siklus badai matahari yang berulang setiap satu tahunan (hijriyah) terjadi setiap bulan Ramadhan
Itulah sebabnya…
  1. Sejarah para nabi menunjukkan bahwa mereka senang merenungkan hakekat kehidupan, bertapa, pada setiap bulan Ramadhan.
  2. Secara umum wahyu-wahyu tentang ajaran agama yang membutuhkan tingkat pemahaman yang tinggi, banyak yang diturunkan di malam-malam bulan Ramadhan.
  3. Penataan ayat-ayat Al Quran ke dalam surat-surat seperti yang tersaji saat ini, dilakukan Nabi Muhammad pada malam-malam bulan Ramadhan.
  4. Umat muslim diajak untuk menghidupkan malam-malam di bulan Ramadhan
  5. Lebih utama adalah i’tiqaf di masjid pada 10 malam terakhir, pada malam-malam sebelum dan setelah Lailatul Qadr
Energi ekstra untuk pembelajaran di bulan Ramadhan…
  1. Untuk bisa mengaji malam Ramadhan dibutuhkan energi ekstra
  2. Kenyataannya puasa siang hari bukanlah menyebabkan tubuh kekurangan / kehabisan energi
  3. Justru puasa menghemat energi tubuh 10% karena tidak digunakan untuk mencerna makanan
  4. Energi yang dihemat ini sangat membantu pemahaman pelajaran di malam hari
Three in One di bulan Ramadhan…
  1. Efektif memahami Al Quran di malam hari
  2. Detoksifikasi dan Manajemen Energi di siang hari
  3. Kembali fitrah setelah berpuasa 28 hari berturut-turut
Manfaatkan malam-malam Ramadhan…
  1. Untuk dapat dengan mudah memahami makna kehidupan secara komprehensif dan benar, manfaatkan keenceran otak di kesunyian malam Lailatul Qadr
  2. Untuk mendapat pemahaman lebih luas, malam-malam di sekitar Lailatul Qadr juga oke (10 malam terakhir Ramadhan)
  3. Lebih oke lagi kalau dimulai malam pertama Ramadhan, mumpung siangnya berpuasa
  4. Hasil renungan malam ini harus dapat kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari
  5. Nikmat hidup akan diperoleh jika kita berkontribusi positif kepada kehidupan dunia dengan berserah diri kepadaNya
  6. Nikmat kehidupan akhirat akan diperoleh bila kita mampu selalu menikmati dan mensyukuri kehidupan dunia

----------------------


 

TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH DI BANTEN ABAD 19

Perwujudan Islam, meskipun berangkat dari sistem nilai yang berasal dari wahyu, menampakkan variasi dan keberagaman. Hal itu muncul sebagai bagian langsung dari interaksi Islam dengan struktur dan pola kultur masyarakat. Pada satu sisi, Islam sebagai doktrin dan pedoman harus memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang timbul, sehingga masyarakat menemukan Islam sebagai pedoman yang ideal dan terbaik. Namun demikian, pada sisi lain, Islam harus menerima masukan dan pengaruh-pengaruh tertentu yang diakibatkan oleh pola pandangan dan penafsiran yang ada pada pemeluk Islam. Interaksi Islam dan pola kultur masyarakat yang demikian menghasilkan sebuah ketegangan yang pada gilirannya mempengaruhi corak perwujudan Islam itu sendiri.[1]
            Karena struktur dan pola kultur masyarakat beragam, maka interaksi Islam menghasilkan variasi tampilan Islam, keberagaman perwujudan Islam telah menghasilkan fitnah di kalangan umat Islam baik dalam bentuk konflik maupun pertempuran sesama umat Islam. Mengenai pembentukan faksi-faksi dalam Islam mendapatkan momentumnya ketika masing-masing membuat dan menawarkan konsep pemahaman dan penafsiran serta merumuskan karakteristik gerakannya.
            Dalam prakteknya masing-masing faksi atau mazhab, di samping mempunyai konsep dasar, ideologi dan karakteristik gerakannya. Sebagai bagian dari bentangan altar pembentukan dan perkembangan faksi-faksi dalam Islam, tasawuf mewakili sebuah kecenderungan sebagian umat Islam untuk menjalani dan memiliki kualitas keberagaman yang menekankan komunikasi langsung dengan Allah. Ia meliputi sebuah pengalaman spiritual yang memperioritaskan esensi keberagaman yang berpandu pada ranah emosi dan instuisi. Kehadiran tasawuf sebagai mazhab merupakan reaksi terhadap kuatnya tendensi rasionalisasi dalam Islam, utamanya dalam wilayah hukum dan teologi dengan menawarkan tendensi baru pada kebebasan dan peningkatan kualitas spiritual.
            Perkembangan awal tasawuf dilandasi dengan ekspresi natural dari respon individual muslim terhadap agamanya yang terkait dalam konfigurasi kolektif. Proses natural tersebut tercermin dari kebebasan seseorang untuk menggeluti agamanya dengan mengutamakan pemahaman kontempalatif, kontak dengan Tuhan dan ciptaan-ciptaan-Nya, keteraturan pelaksanaan ibadah dan akhlak mulia dan penguatan moralitas masyarakat. Pesan-pesan dasar al-Qur’an tentang kesalehan diwujudkan dalam bentuk dzikir, zuhud dan kecintaan total kepada Allah[2]. Tasawuf, dengan demikian, menawarkan model baru yang menekankan aspek batin dari ajaran Islam yang diwujudkan dalam pola-pola keterikatan batin dengan Tuhan dan perwujudan moralitas perilaku yang muncul dari padanya. Hal yang demikian, berbeda dengan model yang sudah ada yang menekankan aspek lahir dalam struktur hukum (fiqh).
            Proses pendalaman dasar-dasar substantif ajaran Islam sebagai tersebut dengan dipercaya sebagai masukan dari variasi budaya yang ada di wilayah teritori Islam membentuk sistem tasawuf. Sistem tasawuf pada awalnya tidak menekankan pada “philosophical system”, melainkan “the way of purification” (jalan penyucian diri). Ajaran dan praktek kesufian dengan sistem tertentu pada kenyataannya berkembang ke pelosok dunia Islam. Pada tahap inilah pola hubungan jalan penyucian mengeras dalam bentuk relasi guru murid. pertama menjadi sumber reformasi baik pandangan maupun praktek, sedangkan pihak kedua menjadi pengikat.[3] Jaringan mursyid-murid pada gilirannya membentuk konsentrasi di tempat-tempat dan cara-cara tertentu pula. Di sinilah fondasi dasar pembentukan tarekat.[4] Khanaqah dan Ribath[5] berkembang di mana-mana. Setiap tokoh memiliki khanaqah masing-masing.

Pada sisi lain, dengan pertumbuhan komunitas sufi yang berkumpul di sekitar masternya, sikap para ulama hukum (fiqh) mengalami perubahan mendasar. Kalau semula model sufisme dianggap sebagai gerakan yang menyimpang dan bertentangan dengan kebenaran Islam, berbagai kejadian konflik juga menghiasi kontak antara sufisme dan legalisme, pandangan dan sikap ulama berangsur-angsur berubah dan dapat menerima kehadiran komunitas tasawuf sebagai bagian dari kekayaan khazanah Islam. Al-Ghazali sangat berjasa dalam meletakkan kompromi dan jalan tengah pertemuan antara dua kutub yang saling bertentangan.[6] Pada sisi lain, kehadiran komunitas sufi semakin memberikan arti dan mendapatkan sambutan dari masyarakat karena mereka merasa mendapatkan kedamaian jiwa ditengah persoalan politik yang mengganggu peri kehidupan mereka.[7]
            Perkembangan tarekat semakin pesat memasuki abad 12 dan 13 M, tarekat menjadi institusi yang prestisius dan signifikan dalam peta perkembangan dan sejarah Islam. perkataan tarekat lebih sering dikaitkan dengan suatu organisasi tarekat, yaitu suatu kelompok organisasi yang melakukan amalan-amalan dzikir tertentu dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya telah ditentukan oleh pemimpin organisasi tersebut.[8] Ada beberapa tarekat berdiri dan mengembangkan sayapnya ke-berbagai daerah, perkembangan tarekat itu antara lain diwakili oleh Abu Al-Najib Al-Suhrawardi, yang darinya nama tarekat Suhrawardiyah diambil. Al-Qadir al-Jilani; yang ajarannya menjadi dasar tarekat Qadiriyah; Najmuddin Al-Kubra, seorang tokoh sufi Asia Tengah yang produktif, pendiri tarekat Kubrawiyah dan sangat berpengaruh terhadap tarekat Naqsyabandiyah pada masa belakangan; Naqsyabandiyah sudah menjadi tarekat yang khas pada masa sufi yang memberi namanya, Baha’uddin Naqsyaban; anumerta pendiri tarekat Syattariyah, Abdullah Al-Syattar; dan tarekat Rifaiyah yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i.[9]
            Perkembangan tarekat di Indonesia terus berlangsung sampai abad ke-19 sekalipun pemerintah Kolonial melakukan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas para pengamal tarekat. Salah satu yang muncul di Indonesia pada abad ke-19 ialah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
             Penyebaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang menekankan segi-segi batiniyah dari agama ini telah memainkan peranan yang amat penting dalam sejarah islamisasi. Dan yang sangat penting adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia.[10] Tarekat ini merupakan perpaduan dari dua buah tarekat besar yang berkembang di Nusantara, yaitu tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsyabandiyah. Suatu hal yang biasa dalam sejarah sufisme bahwa beberapa ulama mempraktekkan ajaran-ajarannya dari dua atau lebih tarekat yang berbeda. Demikian pula di Indonesia, tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah  tidak hanya sebuah kombinasi antara dua tarekat yang berbeda yang dipraktekkan secara bersama-sama, tetapi agaknya ia sendiri merupakan sebuah tarekat sufi baru.[11]
Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efesien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan perkataan para ulama arifin dari kalangan Salafus Shalihin
Di Indonesia, diyakini bahwa Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah pertama kali diajarkan oleh Syeikh Ahmad Khatib Ibn’ Abd Al-Ghaffar dari Sambas Kalimantan Barat yang bermukim dan mengajar di Mekkah pertengahan abad 19 dan wafat di sana pada tahun 1878.[12] Berbeda dengan guru-guru tarekat yang lain, yang mngajarkan berbagai tarekat di samping Qadiriyah, Syeikh Ahmad Khatib tidak mengajarkan kedua tarekat ini secara terpisah, tetapi sebagai suatu kesatuan yang harus diamalkan secara utuh. Syeikh Ahmad Khatib Sambas terkenal sebagai pemimpin sebuah tarekat sufi dan merupakan pakar dalam sufisme, tetapi di samping itu ia adalah seorang cendikiawan Islam yang menguasai berbagai lapangan pengetahuan Islam seperti Al-Qur’an, Hadist (tradisi Nabi), dan Fiqh (hukum Islam), dan menyalurkan pengetahuannya kepada banyak pelajar di Mekkah.[13] Dia memperoleh pengetahuan yang luas setelah belajar secara tekun sebagaimana diketahui bahwa setidaknya dia memiliki sembilan guru kenamaan di Mekkah yang menguasai bermacam-macam cabang pengetahuan Islam.[14]
Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil (guru sufi paling sempurna) Syeikh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu, bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di kota suci Mekkah dan Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat bai’at[15] dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah dan mengajarkan kepada murid-muridnya khususnya yang berasal dari Indonesia.
Penggabungan kedua tarekat (Qadiriyah-Naqsyabandiyah) memiliki inti ajaran yang saling melengkapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari’at dan menentang faham wihdatul wujud.[16] Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efesien. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).
Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Tarekat Naqsybandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah saja, sampai sekarang belum ditemukan secara pasti dari sanad mana ia menerima bai’at Tarekat Naqsyabandiyah.
Untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas atas masalah ini, maka penting untuk didaftarkan silsilah dari tarekat sufi ini sampai pada Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Allah dan Jibril disebutkan dalam silsilah ini; kemudian diikuti oleh:
Muhammad Saw
‘Ali Ibn Abi Talib
Husayn Ibn Ali Talib
Zayn al-‘Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far as-Sadiq
Musa al-Kazim
Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Musa ar-Rida
Ma’ruf al-Karkhi
Sari as-Saqati
Abu al-Qasim Junayd al-Bagdadi
Abu Bakar asy-Syibli
‘Abd al-Wahid at-Tamimi
Abu al-Faraj at-Tartusi
Abu al-Hasan ‘Ali al-Hakkari
Abu Sa’id Makhzumi
Abd al-Qadir al-Jilani
Abu al-‘Aziz
Muhammad al-Hattak
Syams ad-Din
Nur ad-Din
Waly ad-Din
Husam ad-Din
Yahya
Abu Bakr
Abu ar-Rahim
Usman
Abd al-Fattah
Muhammad Murad
Syams ad-Din
Ahmad Khatib Sambas.[17]
Sebagai seorang guru, Ahmad Khatib Sambas mengangkat khalifah. Seorang murid yang telah mencapai taraf tertentu, menurut ukuran normatif seorang Syeikh, mendapat kewenangan untuk bertindak menjadi Syeikh. Di antara khalifah Syeikh Sambas di Indonesia, ada tiga orang yang dipandang menonjol: Syeikh Abdul Karim dari Banten, Syeikh Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura, dan Syeikh Tolha dari Cirebon. Ketiganya dianggap sebagai orang yang paling berjasa dalam penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia, terutama di pulau Jawa dan Madura.
Di antara jasa para khalifah dalam penyebaran tarekat adalah perkembangannya yang mencapai beberapa negara tetangga, terutama Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam. Berjuta-juta pengikutnya tersebar di seluruh pelosok Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya.[18] Proses penyebarannya khas, sebagai gerakan spiritual, telah membentuk pola ideologi para ikhwan jamaah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam warna tersendiri. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menjadi salah satu aliran yang sangat terkenal di Indonesia. Ia dianggap tarekat terbesar dan terpopuler, terutama di pulau Jawa. Tarekat ini memang tidak dikenal di dunia Islam, selain di Indonesia. Di negara-negara Islam lainnya, hanya dikenal adanya Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah di samping ratusan tarekat lainnya.[19]
Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat penting, adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syeikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri, tetapi para pengikut kedua tarekat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap imperialisme Belanda, dan terus berjuang melalui gerakan sosial keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Secara historis, usaha penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia diperkirakan sejak paruh abad ke-19, yaitu sejak kembalinya murid-murid Syeikh Khatib al-Sambasi ke tanah air, setelah bermukim selama bertahun-tahun di Mekkah. Di Kalimantan, misalnya, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah disebarkan oleh dua orang ulama, Syeikh Nuruddin dan Syeikh Muhammad Sa’ad. Karena penyebarannya tidak melalui lembaga pendidikan formal (seperti pesantren atau lembaga-lembaga formal lainnya), sebagian besar pengikutnya datang dari kalangan tertentu. Berbeda dengan Kalimantan, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa disebarkan melalui pondok-pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin langsung oleh ulama tarekat. Oleh karena itu, kemajuan yang sangat pesat hingga kini merupakan tarekat yang paling besar dan paling berpengaruh di Indonesia.[20]
Pada tahun 1970, ada empat pondok pesantren yang penting sebagai pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di pulau Jawa yaitu: Pondok pesantren Mranggen di Semarang, di bawah bimbingan Syeikh Muslih. Pondok pesantren Rejoso di Jombang, di bawah bimbingan Syeikh Romli Tamim, di Rejoso mewakili garis aliran Ahmad Hasbullah. Pesantren Pagentongan di Bogor, di bawah bimbingan Syeikh Thohir Falak, dan Pondok pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, di bawah bimbingan Syeikh Ahmad Sahih al-Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), di Suryalaya dan yang lainnya mewakili garis aliran Syeikh Abdul-Karim Banten dan penggantinya.[21]
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tersebut juga berkembang di daerah Banten. Keberadaan tarekat tersebut di daerah Banten dibawa oleh K.H. Abdul Karim pada pertengahan abad ke-19. Pengaruh dan kharisma yang dimilikinya, memungkinkan tarekat ini memiliki pengikut yang sangat besar, terutama sekali di Banten.  
Aliran Qadiriyah diperkirakan memasuki Banten pada abad ke-16 Masehi yang diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri. Akan tetapi ketika itu belum mencapai momentum yang vital. Pada perkembangan selanjutnya, aliran Qadiriyah dengan jelas menandakan suatu kebangkitan Islam dalam arti yang sesungguhnya.[22]  Banten telah mengadakan kontak dengan Mekkah sejak pertengahan abad ke-19, dengan jalan mengirimkan berulangkali misi-misi untuk mencari informasi mengenai soal-soal keagamaan. Banten terkenal sebagai sebuah pusat Islam ortodoks, pengetahuan tentang agama dan cara hidup yang sesuai dengan ketentuan agama sangat dihargai.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang berkembang di Banten pada abad ke-19, dapat dipandang sebagai kelompok yang melibatkan komitmen total baik pemimpin dan anggota-anggotanya. Karena kedudukan dan kewibawaannya, maka para kyai tampil sebagai pimpinan yang kharismatik sehingga anggota-anggota tarekat yang tergabung di dalamnya sangat menghormati dan patuh terhadap gurunya.
Perkembangan ajaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten, yang sebagian besar para pengikutnya adalah petani, dapat dikategorikan menempuh tahap thaqah (pusat pertemuan sufi). Dalam tahap tersebut, Syeikh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak ketat.[23] Para petani yang mengikuti ajaran tarekat, pada umumnya tetap bekerja sebagaimana biasa, namun ada waktu tertentu bagi mereka untuk berkumpul bersama dalam mengikuti ajaran tarekat yang diajarkan oleh kyai.
Sebagaimana di ketahui dalam sistem kehidupan masyarakat tradisional, unsur mitos dan kepercayaan kepada kekuatan supernatural, kekeramatan masih kuat di anut. Karena itu kewibawaan seorang kyai, tokoh kharismatik bagi masyarakat Islam tradisional, tidak bisa dipisahkan dari unsur kekeramatan. Di samping itu, sebagai pemimpin keagamaan masyarakat tradisional, kyai menjadi tokoh sentral kepatuhan, panutan masyarakat dalam mekanisme kehidupan sosial, budaya bahkan tidak jarang ia memainkan peranannya sebagai tokoh politik
Di Banten Syeikh Abdul Karim memiliki seorang khalifah yang bernama kyai Asnawi dari Caringin, yang kharismanya telah dimanfaatkan oleh para pemberontak komunis di Banten pada tahun 1926.[24] Dan dilanjutkan oleh putranya, kyai Kazhim, yang mengajarkan tarekat ini di Menes (Labuan). Pengajaran tarekat ini sekarang dilaksanakan oleh putra kyai Kazhim yang bernama Ahmad. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah juga masih berkembang di Cibeber (Cilegon) yang pada waktu lalu diajarkan oleh Abd Al-Lathif bin Ali, sedang mursyidnya sekarang ialah kyai Muhaimi yang menerima ijazah melalui kyai Asnawi. Hingga akhir tahun 1988 kemenakan kyai Asnawi yang bernama kyai Armin masih menjadi khalifah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terkenal di Cibuntu (Pandeglang). Meskipun pertama kali mempelajari tarekat dari pamannya, kyai Armin mengaku telah belajar dari beberapa ulama di Mekkah dan Baghdad.

Ajaran dan Ritual Tarekat

Tarekat adalah salah satu unsur dari ajaran-ajaran Islam, yang menekankan pada segi batiniah. Ajaran Islam biasa dikategorikan secara umum menjadi aspek keimanan, keislaman, dan aspek ihsan atau akhlak. Adapun ajaran Islam yang menekankan pada aspek ibadah atau hubungan manusia dengan tuhannya, biasa juga diklasifikasikan dalam tingkatan: syari’at, tarekat, dan hakekat.[25] Dalam hal ini, tarekat sama maksudnya dengan syari’at, yakni suatu jalan atau cara untuk mencapai hakekat tuhan. Namun antara keduanya berbeda di dalam orientasi untuk menuju Tuhan,  dalam hal ini tarekat mengarahkan pada dimensi lahir.
Sebagaimana fungsi ajaran tarekat pada umumnya, zikir dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan teknik dasar dalam ritual para penganutnya atau latihan-latihan spiritual untuk mencapai tujuan “mengingat Allah” (zikrullah). Menurut Martin, praktek zikir semacam itu pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kesadaran kepada tuhan secara langsung dan permanen, tetapi sama-sekali bukan untuk mencapai penyadaran diri atau peniadaan diri.[26]
Sehubungan dengan ajaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah itu sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas di dalam kitab Fath al-Arifin,[27] bahwa ada tiga ritual dasar dalam tarekat sufi ini. Yang pertama adalah membaca istigfar, yakni astagfir Allah al-Gafur ar-Rahim, dua puluh sampai dua puluh lima kali, kemudian diikuti pembacaan salawat, yaitu Allahumma salli’ala sayyidina Muhammad wa’ala alih wa sahbih wa sallim, dengan jumlah yang sama dengan istigfar. Yang ketiga adalah melakukan zikir dengan membaca la ilah ilaha Allah (tiada tuhan selain Allah), sebanyak 165 kali, setelah menunaikan shalat wajib lima waktu setiap hari.[28]  
Fat al-Arifin juga memberikan pengajaran untuk metode pembacaan “la Ilaha illa Allah”. Penyelenggaraan zikir harus diawali dengan melafalkan kata “la” sembari secara serempak membayangkan bahwa kata itu diambil dari bawah pusar ke-ubun-ubun kepala, dengan isyarat tarikan kepala ke kanan. Lalu dilanjutkan dengan menarik kalimat “ilaha”  ke bahu kanan, dan akhirnya dengan menggerakkan kepala ke kiri sambil menarik kalimat illallah disertai dengan hentakan yang seolah-olah ditusukkan ke jantung di dada kiri bawah. Zikir ini harus dilaksanakan dengan konsentrasi pikiran penuh. Sementara rumusan la maqsud illa Allah (tiada hasrat kecuali Allah) dibaca sembari menjaga pikiran maknanya. Kemudian terdapat tahap dimana seorang ahli membayangkan rupa syekh yang membantunya dalam tawajjuh (meditasi atau penyatuan ekstatik), yang berarti pengarahan hati terhadap tuhan, pada saat yang sama memohon rahmat dan petunjuk-Nya. Jika syekh benar-benar hadir di hadapannya selama beberapa detik, jika syekh tidak hadir, dia harus membayangkan rupa syekh dalam mata batinnya dan mencari bimbingan spiritualnya. Kemudian disebutkan bahwa zikir ini dikenal dengan zikr nafi isbat (zikir penyangkalan penegasan), dan dipraktekkan secara jahr (suara keras) dan sirr (dalam hati).[29] dan mengucapkan terima kasih kepadanya dalam hati, seraya membayangkan bagaimana karunia Allah dilimpahkan melalui Nabi dan Syeikh kepadanya.
Setelah menyelesaikan zikir menurut jumlah yang ditentukan, kemudian membaca “sayyidina Muhammad Rasul Allah salla Allah alayh wa Sallam” (penghulu kita Muhammad adalah Rasulullah, yang Allah berkati dan beri keselamatan). Kemudian membaca salawat, yaitu, “Allahumma salli ala sayyidina Muhammad salatan tunjina biha min jami’ al-ahwal wa al-afat” (Ya Allah berkatilah penghulu kami Muhammad yang dengan beliau engkau menyelamatkan kami dari segala bencana dan kehancuran), ritual ini diakhiri dengan membaca Surat al-Fatihah.[30]
Martin menunjukkan bahwa ritual dasar ini betul-betul dipengaruhi oleh tarekat Qadiriyah, terutama berkenaan dengan gerakan-gerakan tubuh ketika melakukan zikir. Pengaruh tarekat Naqsyabandiyah atas ritual ini juga substansial. Pengaruh pertamanya adalah atas konsentrasi tentang lata’if, yakni organ-organ fisik dengan mana manusia dilengakapi demi pelaksanaan zikir. Martin berpendapat bahwa lata’if yang digunakan Syeikh Ahmad Khatib Sambas dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, tidak dikenal dalam tarekat Qadiriyah, bahwa istilah tersebut dipinjam dari tarekat Naqsyabandiyah.
Fat al-‘Arifin menggambarkan sepuluh lata’if. Lima di antaranya adalah qalb (hati), ruh (ruh), sirr (batin), khafi (rahasia) dan akhfa’ (paling rahasia) dan yang dikenal sebagai alam al-amr (Alam perintah). Lima lata’if yang lain adalah nafs (kelembutan jiwa) dan empat unsur: air. Udara, tanah, dan api. Ini disebut alam al-khalq (Alam ciptaan).[31]
Di bawah ini adalah terjemahan dari Fat al-Arifin tentang lata’if yang dikutip oleh Al-Attas:
. . .kelembutan hati (latifah al-qalb) ada di bawah dada kiri, dua jari ke kiri, dan warnanya adalah kuning, dan ia adalah tempat kewenangan penghulu Adam, asalnya adalah air, udara, dan tanah. Kelembutan ruh (latifah al-ruh) terdapat di bawah dada kanan, dua jari ke kanan, warnanya adalah merah, dan ia merupakan tempat kewenangan penghulu kita Ibrahim dan Nuh, dan asalnya adalah api. Kelembutan batin (latifah as-sirr) terletak berlawanan dengan dada kiri, dua jari kearah dada, warnanya adalah putih, ia adalah tempat Musa dan asalnya adalah air. Kelembutan rahasia (latifah al-khafi) berlawanan dengan dada kanan, dua jari kearah dada, warnanya adalah hijau, tempat nabi Isa, dan asalnya udara. Kelembutan paling rahasia (latifah alakhfa)terletak ditengah dada, warnanya hitam, ia adalah tempat nabi Muhammad, dan asalnya adalah tanah. Kelembutan jiwa (otak) latifah an-nafs an-natiqah terletak di dahi dan seluruh kepala. [32]
 
Syeikh Ahmad Khatib Sambas mengajarkan zikir jahr (zikir yang diucapkan) dan zikir sirr atau khafi (zikir diam). Praktek zikir diam ini jelas adalah pengaruh lain dari tarekat Naqsyabandiyah, oleh karena tarekat Qadiriyah hanya mengajarkan zikir keras. Pengaruh kuat lainnya dari tarekat Naqsyabandiyah adalah tawajjuh atau rabitah Syeikh sebelum atau selama zikir. Muraqabah atau kedekatan spiritual, yang dijelaskan dalam Fat al-Arifin, adalah pengaruh lain dari tarekat Naqsyabandiyah. 
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pengaruh yang sangat nyata dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terlihat pada daftar silsilah dalam Fath al-Arifin, karena hanya silsilah tarekat Qadiriyah yang didaftar. Silsilah tarekat Naqsyabandiyah tidak disebutkan. Pengaruh lainnya dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, terutama dalam manaqiban.[33] biografi Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani selalu dibacakan, sedangkan biografi Syeikh Baha ad-Din an-Naqsyabandi tidak pernah dibacakan. Tampaknya, ini menjadi indikasi kuat bahwa tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah secara mendasar merupakan tarekat Qadiriyah digabungkan dengan praktek-praktek tertentu dari tarekat Naqsyabandiyah.


[1]  Lihat hasil laporan, M. Nafis, Peranan Tarekat Dalam Dinamika Dakwah Pada Abad Pertengahan Islam, hlm. 13-14.
[2] Lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo  Persada, 1996), hlm. 29.
[3] M. Fudoli Zaini,  “Asal-usul Tarekat dan Penyebarannya di Dunia Islam,   dalam Akademika, Vol. 03 /07 /1998, hlm. 3-5
[4]Adapun yang mendorong lahirnya tarekat menurut Barmawie Umarie ada tiga hal yaitu: Karena dalam diri manusia sebenarnya memang ada bakat mengarah kepada kehidupan rohani; Timbul sebagai reaksi zaman yang anarkhis, misalnya akibat revolusi, kesewenangan kedhaliman dan sebagainya, yang kemudian mereka memilih kepada mengasingkan diri dalam dunia tarekat. Atau sekaligus gerakan tarekat dijadikan pelopor atau pioner dalam menghadapi situasi itu; karena orang jemu terhadap kemewahan dan kemegahan dunia. Lihat Barmawie Umarie, “Sistematika Tasawuf”,(Sala: Ramadhani,1961,), hlm. 116-117. Lihat juga hasil penelitian Slamet Khilmi “Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kedungparuk Banyumas”, Kajian Historis dan Sosiologis, hlm. 2-4.
[5] Hanaqah merupakan tempat pertemuan para anggota sufi dengan dipimpin oleh seorang administrator. Sedangkan ribaht itu merupakan pembinaan spiritual di bawah bimbingan seorang guru sebagai model bangunannya yang relatif besar. Istilah-istilah itu merupakan padepokan sufi atau tempat pembinaan kerohanian masyarakat dalam kontek dunia Islam. Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, hlm. 65.
[6] Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 3 (Jakarta:  Jambatani, 1993), hlm. 1209.
[7] M. Hasbi Amiruddin, “Tarekat: Sejarah Masuk dan Pengaruhnya Di Indonesia”, dalam Madaniya, No. 2. 2002, hlm. 15. 
[8] Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 135. 
[9] Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,; Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 188.
[10] Mahmud Suyuti, Politik Tarekat, hlm. 54.
[11] Zulkifli, Sufi Jawa: Relasi Tasawuf-Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. 37-36.
[12] Mahmud Sujuti, Politik Tarekat, hlm. 52.
[13] Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 17-18.
[14] Kesembilan guru tersebut adalah: Syekh Dawud Ibn Muhammad al-Fatani; Syekh Syam ad-Din; Syekh Muhammad Salih Ra’is; Syekh Umar Abd ar-Rasul; Syekh Abd al-Hafiz ‘Ajami; Syekh Basir al-Jabiri; Sayyaid Ahmad al-Marzuki; Sayyid Ahmad al-Marzuki; Sayyid Abd Allah al-Mirgani; dan Syekh ‘Usman ad-Dimyati. Lihat Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 38-39.
[15] Bai’at dalam terminologi sufi ialah janji setia yang biasanya diucapkan oleh seorang murid di hadapan mursyid untuk menjalankan segala persyaratan yang telah ditetapkan oleh seorang mursyid dan tidak akan melanggarnya sesuai dengan syarat Islam. Yang menjadi landasan normative ialah surat Al-Fath ayat 10. Bai’at dijadikan acara ritual resmi setelah seseorang menjadi anggota tarekat, yang selanjutnya dijadikan bentuk ikatan setia kepada mursyid dan ajaran-ajarannya. Lihat Bai’at dan Tawassul, www.yahoo.com, tanggal akses 20 Maret 2004.   
[16] Ajaran Wihdatul Wujud ini dicetuskan oleh Ibnul Araby (1165-1240), yang berpendapat bahwa alam ini hanya merupakan bayang-bayang dari realitas yang berada di baliknya. Ajaran ini merupakan pengembangan dari ajaran Al-Hallaj (wafat 921) yang memandang manusia sebagai manifestasi dari cinta tuhan yang azali kepada zatnya, Al-Hallaj ini dalam keadaan tak sadar atau fana, sering menyatakan dirinya Tuhan. Ana-Allah, Anal-Haq. Tim penulis, Ensiklopedi Islam, jilid II (Jakarta: Penerbit Jambatani, 1993), hlm. 339-340. 
[17] Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 42-43. Lihat juga dengan Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 90-91.
[18] Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam Spiritualitas Masyarakat Modern, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), hlm. 100.
[19] Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 14. Lihat juga Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 98. 
[20] Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam Spiritualitas Masyarakat Modern, hlm. 103.
[21] Lihat Ibid.
[22] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Dunia Islam, hlm. 265.
[23] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan, 1996), hlm. 366.
[24] Mengenai pemberontakan ini, lihat William, Arit dan Bulan Sabit dalam Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, (Yogyakarta: Syarikat, 2003). Salah seorang pemimpin ulama dari pemberontakan ini, Ahmad Khatib, adalah menantu kyai Asnawi, ia tidak hanya membawa serta putra kyai Asnawi, Emed, memberontak, banyak pengikut-pengikut sang kyai  
[25] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik, hlm. 85.
[26] Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabanduyah di Indonesia, hlm. 79.
[27] Al-Attas berpendapat bahwa Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah pengarang Fath al-‘Arifin setebal dua belas halaman, yang merupakan risalah terpenting dan terpopuler mengenai praktik-praktik sufi dikalangan orang-orang Melayu. Lihat Zulkifli. Sufi Jawa, hlm. 43. Namun demikian, Van Bruinessen menyangkal bahwa buku ini ditulis oleh Syeikh Ahmad Khatib dan berpendapat bahwa penulisan buku ini dilakukan oleh muridnya. Bruinessen mengatakan bahwa Syeikh Ahmad Khatib sendiri tidak menulis satu pun buku, namun dua muridnya dengan setia mencatat ajaran-ajaran dalam sebuah risalah pendek berbahasa Melayu, yang secara eksplisit menjelaskan teknik-teknik dari tarekat sufi ini. Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 90.  
[28] Nawash Abdullah, Perkembangan Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1980), hlm. 187.
[29] Ibid. Pada Dadang Kahmad, Tarekat dalam Islam, hlm. 102. Martin Van Bruinessen, “Tarekar Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jailani di India. Kurdistan dan Indonesia”, dalam Ulumul Qur’an No. 2. 1989. Vol. II: hlm. 73.
[30] Martin, Ibid, hlm. 73. 
[31] Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 48.
[32] Ibid, hlm. 49. 
[33] Manaqiban adalah acara ritual khas tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yaitu peringatan mengenang wafatnya Syeikh Abd al-Qadir Jailani. Upacara tersebut diselenggarakan bulanan bertempat di rumah salah seorang ikhwan yang waktunya telah ditetapkan. Dalam upacara ini, ada zikir berjama’ah diikutu dengan bacaan Manaqib Abd al-Qadir, yaitu cerita klasik mengenai kehidupan dan keajaiban perilaku sang waliyullah.  Bandingkan dengan pengertian istilah itu dalam Ensiklopedia Islam Jilid III, 1994, hlm. 152 

TAFSIR***

Sesungguhnya Al-Qur’an itu ada [makna] lahir dan ada batinnya. Untuk setiap batin ada batinnya, sampai tujuh lapis [makna] batin.
— Hadis
Al-Qur’an adalah landasan pokok seluruh ajaran Sufi. Sesuai dengan ciri utama Tasawuf yang lebih menekankan kepada dzauq (rasa) dan aspek esoteris (ruhani, batiniah), maka tafsir Sufi atas Al-Qur’an tak jarang amat berbeda dengan tafsir yang biasa kita kenal. Kadang tafsir Sufi disebut juga ta’wil. Tafsir Sufi banyak berhubungan dengan “rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah (literal) yang maknanya tak aus oleh dinamika perubahan-perubahan dalam sejarah.
Menurut Sufi, kemampuan seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an amat bergantung kepada derajat dan kualitas keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah meliputi empat perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat adalah bagi orang awam, isyarat adalah bagi orang khusus, lathaif adalah bagi para Wali Allah, dan haqaiq adalah bagi para Nabi.
Ibn Mas’ud mengatakan, “Siapa ingin memperoleh ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian, hendaklah ia membaca Al-Qur’an.” Seorang sufi mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terhimpun semua ilmu yang ada di dunia. Ini sejalan dengan keterangan Al-Qur’an sendiri, yakni al-Qur’an adalah “penjelasan bagi segala sesuatu” (Q.S. 6:6) dan “Tidak Kami lewatkan dalam al-Kitab sesuatupun” (Q. S. 6:38). Maka, tak heran jika dikatakan bahwa mu’jizat terbesar dari Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an. Tentu saja pencapaian ilmu macam ini tidak bisa diperoleh dengan tafsir lahiriah atau akal/rasio. Dalam kasus pengetahuan Wahyu Ilahi, agar bisa memahami dan menguraikan pesan-pesan yang dikandungnya, kita mesti membersihkan diri kita; atau, dalam bahasa Islam, kita harus menjadi “buta huruf” (ummi). Pada dasarnya kita tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk memahami wahyu; kita hanya bisa menempatkan diri kita sepenuhnya dalam kekuasaan Wahyu. Maka, agar makna terdalam dari Wahyu bisa dipahami, kita mesti menghentikan pemikiran dan refleksi intelektual atau akal, sebab dalam dirinya sendiri akal adalah terbatas dan pemikiran rasional boleh jadi dipengaruhi oleh kondisi jiwa yang kurang bersih. Sedangkan kebenaran Wahyu adalah suci dan tak terbatas, karena ia dari dan merepresentasikan Tuhan Yang Maha TakTerbatas ilmu-Nya. Yang terbatas mustahil menguasai yang tak terbatas. Jadi, Ketika hati sepenuhnya aman dari pemikiran reflektif dan lintasan-lintasan pikiran, maka ini adalah keadaan “buta huruf” dan siap menerima anugerah petunjuk Allah secara sempurna — inilah makna mistis dari fakta bahwa “Muhammad adalah Nabi yang buta huruf.”
Di sisi lain, perkataan Aisyah bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an secara tersirat menyatakan bahwa sesungguhnya Al-Qur’an tak lain adalah diri kita sendiri. Yang dimaksud oleh Sufi dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an sesungguhnya sudah berada dalam diri kita sendiri. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia mengajarinya “nama-nama segala hal” (Q.S. 2:31). Penamaan karenanya menjadi bagian dari sifat manusia, karena Allah mengajari manusia bahasa pada saat penciptaannya. Nama-nama yang diajarkan Allah kepada Adam adalah pengetahuan-Nya, yang “disimpan” dalam “tubuh” Adam. Jadi setiap bagian tubuh kita mengandung aspek tertentu dari nama-nama Ilahi. Dengan kata lain, realitas tubuh manusia adalah nama-nama yang memantulkan Citra-Nya: “Allah menciptakan Adam sesuai dengan Citra-Nya.” Setiap tubuh memantulkan nama-nama yang berbeda. Jadi kita membeda-bedakan realitas melalui diri kita, karena kita adalah citra yang beragam dari satu Tuhan. Dengan cara yang sama, kita membedakan segala sesuatu dengan memberi nama (misalnya, kita membedakan tempat duduk dan tempat tidur dengan memberinya nama kursi dan ranjang). Menurut pandangan Sufi, masalahnya adalah kita melupakan bahwa Allah telah mengajari kita nama-nama segala hal ini sejak awal penciptaan kita. Karena itu, untuk mengetahui “nama-nama” ini dan mengungkapkan hakikatnya, kita harus tahu nama-nama itu persis sebagaimana Allah mengajarkannya kepada kita, bukan sebagaimana yang kita pikirkan sendiri. Hal ini hanya bisa dicapai dengan mencintai Allah. Mencintai Allah, dalam ajaran Islam, hanya bisa dicapai melalui peniruan perilaku dan mengamalkan ajaran Rasulullah Muhammad. Maka, dengan mencintai Rasul, kita akan mencintai Allah, dan Allah akan mencintai kita dan melalui lantaran cinta inilah Allah akan mengingatkan kita kembali tentang “nama-nama segala hal” dan kita akan memandang sesuatu sebagaimana adanya (hakikat), bukan sebagaimana yang kita pikirkan.
Jadi, ringkasnya, dengan menjadikan diri kita “buta huruf,” dan mengikuti suri tauladan akhlak Nabi Muhammad, yakni akhlak Al-Qur’an, pada akhirnya akan membuat kita mendapat petunjuk untuk memahami makna terdalam dari al-Qur’an — “maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya; ikutilah [akhlak] Nabi [Muhammad] agar kamu memperoleh petunjuk” (Q.S. 7:158).
Kemudian, menurut Sufi, Al-Qur’an turun pada “Malam Kemuliaan” (Q.S. 97:1) dalam bentuk pengetahuan Allah yang utuh tak terbedakan, sebagai “totalitas kalimat” (jawami’ al-kalim) yang “dipatrikan” ke dalam hati Rasulullah. Wahyu tidak turun melalui “pikiran” Nabi, tetapi ke dalam seluruh keberadaannya, atau dalam “tubuh” Nabi yang dipercaya untuk melaksanakan dan mengamalkan titah Allah; seperti kata Aisyah, “Rasulullah adalah Qur’an yang berjalan.” Wahyu turun pada “malam,” yang melambangkan kerahasiaan yang tersembunyi, seperti kegelapan menyembunyikan sesuatu, dan juga malam adalah suasana yang menebarkan aroma misterius, seperti ada khazanah tersembunyi yang mesti diungkap agar diperoleh manfaatnya. Malam (Layla) dalam tafsir Sufi juga melambangkan “Zat Tuhan” yang tersembunyi dari pengetahuan siapapun. “Kegelapan” misteri haruslah diterangi dengan “Cahaya” yang terangnya “melebih seribu bulan,” yakni cahaya yang amat terang tetapi tak menyilaukan seperti matahari, sebab cahaya matahari justru membutakan. Dan dengan “cahaya seribu bulan” itulah tersibak apa-apa yang tersimpan dalam rahasia ayat-ayat Al-Qur’an. Tentu saja yang bisa menerangi misteri Ilahi hanyalah cahaya Ilahi saja. Maka, manusia harus meraih anugerah cahaya ilahi ini, yang bisa diakses oleh manusia melalui pensucian jiwa, melalui zikir, sebab seperti kata Syekh Athaillah As-Sakandari, “Zikir adalah cahaya yang menerangi.” Tazkiyat an-nafs (penyucian jiwa), karena itu, adalah kunci pertama dan utama dalam membuka rahasia Al-Qur’an.
Tetapi jelas pula bahwa Al-Qur’an tidak diturunkan hanya kepada golongan elit spiritual seperti Nabi dan Wali Allah, tetapi juga kepada seluruh manusia yang bertingkat-tingkat kedudukan ruhaninya. Karena manusia dalam dirinya sendiri adalah “terbatas” dan memiliki banyak kekurangan, maka Allah berkenan mengejawantahkan Wahyu, yang tak lain adalah representasi Tuhan itu sendiri, ke dalam bentuk yang bisa dipahami manusia, agar manusia bisa mengenal Tuhannya melalui sarana Wahyu itu. Jadi, sebagaimana kita lihat sekarang, Al-Qur’an diajarkan dalam bentuk kalimat, yang tersusun dari kata, yang tersusun dari huruf. “Kalimat adalah dari huruf, dan huruf adalah dari udara, dan udara adalah dari Nafas al-Rahman.” demikian kata Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi. Untuk memahami kalimat ini manusia memerlukan kehadiran dari al-Rahman, yakni Tuhan, karena hanya karena Dia-lah yang bisa menghidupkan apa-apa yang menjadi kandungan dari kalimat-kalimat itu.
Karena, seperti telah disinggung di atas, Al-Qur’an, atau “Kalimat Allah,” tak lain adalah makhluk termasuk manusia, maka unsur penyusun dari seluruh ciptaan tak lain adalah “huruf” dari tiupan “Nafas al-Rahman.” Ketika Allah meniupkan ruh ke dalam tubuh manusia, yakni tiupan rahmat, maka kemungkinan-kemungkinan yang ada di dalam Diri-Nya dihidupkan. Jadi, huruf-huruf dihidupkan, dihubungkan dan dibentuk menjadi makhluk atau kalimat-kalimat. Setiap huruf, seperti ditunjukkan dalam ilmu fonetik modern, adalah tempat di mana nafas berhenti atau dibelokkan. Kombinasi huruf menjadi kalimat, dan kalimat menyampaikan makna dari si pembicara, yakni Allah SWT. Karenanya dikatakan bahwa barangsiapa ingin bercakap dengan Allah hendaklah ia membaca al-Qur’an.
Jadi, Al-Qur’an adalah kitab yang hidup, kitab yang diturunkan dari aras kesucian, dan karenanya, agar kita bisa “menghidupkan” ayat-ayatnya, maka kita harus menghubungkan ruh kita dengan “ruh” Al-Qur’an. Hal ini hanya bisa terjadi apabila hijab hawa nafsu yang mengalahkan ruh kita telah diangkat, atau setidaknya dibuat tak berdaya sehingga cahaya ruh kita yang telah suci bebas dari cemar nafsu bertemu dengan cahaya Al-Qur’an. Dalam hadis dikatakan bahwa tidak akan menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci dari hadats, yakni seseorang tidak akan “menyentuh” makna hakiki Al-Qur’an sebelum ia suci dari hadats hawa nafsu. Kita ingat riwayat bahwa sebelum Muhammad menjadi Nabi, beliau adalah “yang terpercaya” (al-amin) dan “buta huruf” (ummi) dan, sebelum menerima wahyu, dadanya telah dibedah oleh malaikat untuk disucikan hatinya.

TAFSIR SUFI

Penafsiran Sufi atas makna rahasia (batiniah) atas Al-Qur’an didasarkan pada perlambang, yang hanya bisa diungkap melalui kesucian. Tafsir sufi tidak terbatas hanya pada aspek lahiriah dan batiniah dari teks surat secara keseluruhan, ayat per ayat, tetapi juga menukik hingga ke tafsir atas huruf. Karena Al-Qur’an adalah Wahyu Allah, yang boleh dikatakan “merepresentasikan” segala Ilmu Allah, maka setiap huruf adalah ayat tersendiri yang melambangkan maksud tertentu. Rahasia-rahasia Al-Qur’an, mulai dari rahasia surat hingga ke rahasia huruf tak bisa diketahui melalui penalaran, tetapi melalui jalur lain, yakni mujahadah (jihad akbar) sampai seseorang mencapai mukasyafah dan musyahadah (kesaksian atas kenyataan batin).
Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa “Awalnya terbersit ‘pikiran’ dalam diri Tuhan, sebuah niat, sebuah kehendak. Obyek dari pikiran ini, atau niat dari kehendak ini, adalah huruf-huruf yang menjadi prinsip segala hal; menjadi ‘indeks’ dari segala sesuatu dalam ciptaan. Dari huruf-huruf inilah segala sesuatu diketahui.” Rasulullah bersabda, “Semua ayat Al-Qur’an mengandung makna lahir dan batin. Setiap hurufnya memiliki makna tertentu, dan setiap huruf menyatakan secara tak langsung tempat kedudukannya (matla’).”
Al-Tirmidhi menyatakan bahwa semua ilmu ada dalam huruf-huruf karena asal-muasal ilmu sesungguhnya berasal dari Asma Agung Tuhan, yang melahirkan penciptaan dan pengaturan. Allah mengajari Adam pengetahuan dan akar pengetahuan. Pengetahuan itu terdiri dari “nama-nama”; akar pengetahuan adalah 28 huruf abjad [Arab]. Bahasa berakar pada huruf. Maka makna pengetahuan bukan hanya ditemukan dalam kalimat atau kata. Dua puluh delapan huruf Arab, menurut Muhyiddin Ibn ‘Arabi, adalah artikulasi (perwujudan) dari prinsip tunggal, yang masing-masing terkait dengan Nama Ilahi. Jadinya setiap bentuk dasar huruf mengindikasikan makna.
Allah meletakkan pengetahuan ma’rifat “nama-nama” ke dalam hati Adam. Tempat di mana nama-nama itu mengambil bentuk (taswir) adalah di dada. Kemudian mereka diterjemahkan [ke dalam bentuk suara] melalui tenggorokan dan bibir. Dalam huruf-huruf itu tersimpan pengetahuan pengetahuan primordial (ilm al-bad’), pengetahuan Asma Agung Allah, juga ilmu pengaturan oleh Allah (ilm al-tadbir) yang meliputi ilmu dari Nabi Adam sampai Hari Kiamat. Nama adalah penanda atas sesuatu, sedangkan sifat (atribut) adalah penjelasan yang datang dari sesuatu itu. Nama adalah untuk bahasa, sifat adalah untuk penglihatan dan pemahaman.
Tetapi jika Allah adalah tersembunyi, tak bisa disentuh, dilihat, dirasakan, dicium atau dipahami, maka bagaimana mungkin manusia bisa mengetahui atau melihat sesuatu itu? Allah tidak bisa dipahami dengan perasaan, sentuhan, penglihatan dan sebagainya, karena Dia adalah “Perbendaharaan Tersembunyi” yang Maha Gaib. Oleh karenanya, sebelum Dia menciptakan dunia, Dia memperlihatkan sifat-Nya demi kepentingan hamba-Nya. Setiap sifat ini kemudian diekspresikan dalam kombinasi huruf-huruf yang menjadi Asma al-Husna. Nama yang berasal dari atribut/sifat dan Allah bisa dideksripsikan karena ada sifat yang memancar ini (lihat Bab 2). Nama dan sifat hadir agar lidah bisa mengucapkannya hingga menjadi suara. Nama dan sifat, sebagai bentuk penjelasan, adalah seperti “cahaya yang menerangi langit dan bumi” sehingga segala sesuatu yang ada dalam ciptaan menjadi jelas — “Allah adalah cahaya langit dan bumi.”
Melalui huruf-huruf inilah Allah menampakkan diri kepada hamba-Nya, seperti dinyatakan oleh Imam Ja’far: “Allah memperlihatkan Diri-Nya kepada hamba-Nya dalam kitab-Nya, namun mereka tidak melihat-Nya,” yakni memperlihatkan Diri-Nya dalam rahasia di balik huruf-huruf Kitabullah. Dengan demikian, untuk mengenal-Nya (ma’rifat), kita mesti membaca Al-Qur’an dalam pengertian mistis ini. Jadinya, Iqra’, bacalah, yakni siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan Asma-Nya, ia laksana menyambungkan cahaya pengetahuan dari lidahnya ke Sumbernya. Dalam analisis terakhir, ada hubungan penting antara pensucian jiwa, membaca Al-Qur’an, dan pengetahuan Allah: Seseorang yang telah mensucikan diri dari segala hawa nafsu, ia akan “mengalirkan” khasanah Ilmu Allah ke dalam dirinya melalui perantaraan Al-Qur’an. Ia akan dikaruniai pengetahuan tentang makna lahir dan batin dari Al-Qur’an. Karena itu, dapat dipahami jika Nabi dan Wali Allah memiliki pemahaman tentang Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh manusia biasa. Karenanya, menurut Al-Hakim al-Tirmidhi, salah satu tanda Wali Allah adalah ia menguasai ilmu huruf. Ilmu huruf ini dianggap kunci bagi semua ilmu lainnya.
Turunnya Wahyu Al-Qur’an dalam bentuk huruf-huruf adalah semacam transformasi dari dunia yang “tak diciptakan” atau tak dapat dipahami menjadi dunia yang “terciptakan” atau dapat dipahami. Abjad Arab — yang merupakan bahasa Al-Qur’an — terdiri dari 28 huruf, yang terbagi menjadi dua bagian, 14 huruf-huruf yang jelas dan 14 huruf-huruf yang tersembunyi (dalam ilm tajwid ini dinamakan huruf syamsiyyah dan qamariyyah). Huruf yang berkaitan dengan dunia “yang tak terciptakan” adalah huruf-huruf misterius yang menjadi awal dari 29 surat. Huruf-huruf itu tidak “divokalkan” – misalnya ayat pertama surat al-Baqarah dibaca alif, lam, miim dibaca tanpa harakat (penanda vokal). Semua ayat Al-Qur’an bisa “dibaca” karena divokalkan, kecuali huruf-huruf pembuka beberapa surat, yang hanya bisa “dieja.” Huruf-huruf misterius ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para Sufi.
Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq pernah mengatakan bahwa rahasia dalam Al-Qur’an terkandung dalam huruf-huruf fawatih atau muqatta’at (huruf-huruf yang misterius artinya yang ada di ayat pembuka beberapa surat Al-Qur’an). Interpretasi esoteris (mistis) atas huruf Arab tidak bisa dilakukan kecuali dengan menyertakan aritmologik (nilai numerik atau angka pada setiap huruf). Syekh Ahmad al-Buni dalam Kitab Syams al-Ma’arif al-Kubra menjelaskan: “Rahasia-rahasia Tuhan dan obyek Ilmu-Nya … adalah dua macam, yakni huruf dan angka. Angka adalah realitas tertinggi yang berbasis spiritual, sedangkan huruf berasal dari alam material dan malakut. Angka adalah rahasia kata, dan huruf adalah rahasia tindakan.” Dengan kata lain angka melambangkan dunia spiritual dan huruf melambangkan dunia jasmaniyah. Nilai numerik dari masing-masing huruf itu adalah sebagai berikut:
Menurut para Sufi, huruf-huruf misterius yang “tak bermakna” itu dianggap mengandung ilmu-ilmu Allah yang diturunkan secara langsung dengan sangat cepat sehingga bahkan malaikatpun tak sempat memahami artinya. Dalam riwayat diceritakan ketika Jibril menurunkan ayat pertama Surat Maryam, Kaaf, haa, yaa, ‘ain, shaad, Nabi berkata, “Aku tahu artinya,” tetapi Jibril bertanya, “Bagaimana engkau tahu sesuatu yang aku tak tahu?” Melalui ilmu huruf dan angka ini para Sufi melahirkan pandangan yang eksotis tentang Al-Qur’an.
Misalnya, huruf-huruf awal awal surat Maryam ditafsirkan sebagai perlambang dari Asma al-Husna:
Kaaf = al-Kafi
Haa = al-Hadi
Yaa = al-Yaqin
‘Ain = al-‘Alim
Shad = as-Shadiq
Karenanya, huruf-huruf ini mengandung makna dan “berkah” tertentu dari khasanah Asma-Nya, yang hanya bisa diketahui oleh para ahli-kasyaf. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib menggunakan huruf-huruf ini sebagai wasilah untuk berdoa: Wahai Kaaf, Haa, Yaa, ‘Ain, Shaad, aku berlindung kepada-Mu dari dosa yang menyebabkan murka-Mu … Ya Allah tolonglah aku melawan diriku sendiri.” Demikian pula Sayyid Abu Hasan as-Syadzili berdoa dengan menggunakan huruf-huruf: “Qaaf, Jiim, adalah dua rahasia bersama-Mu. Keduanya menunjukkan kepada selain-Mu. Maka, dengan rahasia yang menyeluruh yang menunjukkan kepada-Mu, janganlah Engkau biarkan aku menuju selain-Mu. Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Rahasia huruf dan angka ini juga dipakai untuk menentukan jumlah bacaan zikir. Misalnya, dalam Tarekat Qadiriyyah, murid pemula dianjurkan setiap hari membaca asma “Allah” sebanyak 66 kali, yang dianggap sebagai “dosis” yang pas, karena jumlah numerik “Allah” adalah 66 (alif = 1, lam, lam = 2 x 30, dan h = 5).
Sebagai ilustrasi, berikut sedikit contoh tentang tafsir oleh para Sufi. Pertama kita ambil contoh ayat awal Surat Al-Fatihah yang merupakan induk Al-Qur’an, yakni ayat bismillahi ar-rahman ar-rahim. Untuk contoh pertama, di bawah ini hanya akan disajikan sedikit saja contoh tafsir kalimat “bismillah” disebabkan oleh keterbatasan tempat dalam buku ini.
Surat ini oleh Al-Qur’an sendiri (Q.S. 15:87) disebut “Tujuh yang diulang” (sabt al-matsani) sebab Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dalam shalat. Dalam al-Fatihah terdapat seluruh huruf kecuali tujuh huruf:
za, kho, dzho, tsa’, syin, jim, fa
Sebagian Sufi menyatakan bahwa Asma Paling Agung (Ism al-Adzam) Allah terkandung dalam huruf-huruf ini.
Dalam sebuah tafsir lain dikatakan bahwa semua yang tercantum dalam Al-Qur’an ada dalam Al-Fatihah, dan semua yang ada dalam Al-Fatihah ada di dalam bismillahi ar-Rahman ar-Rahim (kalimat basmalah), dan semua yang ada di dalam kalimat basmalah itu ada dalam huruf ba’, dan huruf ba’ itu sendiri terkandung di dalam titik yang berada di bawahnya. Titik adalah asal-usul dari segala huruf. Menurut suatu riwayat, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib mengisyaratkan tafsir ini dalam ucapan saat beliau mengalami fana: Anaa nuqtatu ba–i bismillah (Aku adalah titik huruf ba’ dalam bismillah).
Kalam Ilahi dimulai dengan bismillahi — “Dengan menyebut Nama Allah” — yang diawali bukan oleh huruf alif (yang bernilai 1) tetapi oleh huruf ba’, yang bernilai 2. Kalimat bismi asalnya adalah bi-ism, yakni ada alif di antara ba’ dan sin. Alif, yang bernilai 1, melambangkan Zat yang Maha Esa dan Tak Terpahami (Transenden). Alif, perlambang Zat Maha Gaib dan wujud primer (wujud al-awwal) “disembunyikan” dalam huruf ba’ yang melambangkan manifestasi atau perwujudan (zuhur) atau eksistensi kedua (wujud al-tsani). Yang Gaib yang dihijab dalam huruf ba’ ini dimunculkan kembali melalui “nama” Allah, yakni nama yang menunjukkan Zat Yang Maha Gaib. Jadi Bismillah adalah pertemuan antara yang “tak diwujudkan” dengan “yang maujud,” yang lahir dan batin, yang tampak dan yang gaib. Ini adalah perlambang hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, yang menyimbolkan imanensi atau “keserupaan” (tasybih) sekaligus transendensi atau perpisahan (tanzih): “Allah meliputi segala sesuatu” dan “tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.” Maka dalam konteks eksistensi, ini melambangkan hubungan halus antara al-Khaliq dan makhluq: “Dia adalah engkau; engkau adalah engkau dan Dia adalah Dia” (al-huwa anta; wa anta anta wa huwa huwa). Jadi huruf ba’ adalah kinaya, metafora, yakni sesuatu yang menyembunyikan sesuatu yang lain. Ketika ba’ “divokalkan” menjadi bi, ia berarti “Dengan Aku,” yakni Aku Ilahi atau Allah sendiri. Menurut Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi, melalui Aku Ilahi ini, terdapat perbedaan antara bentuk hakiki dari Tuhan (al-sura al-haqiqiyya) dan bentuk citra-an atau metaforis (al-sura al-majaziyya), di mana melalui bentuk yang disebut belakangan inilah Dia menciptakan manusia — “Allah menciptakan manusia sesuai dengan bentuk atau citra-Nya.” Yang dimaksud adam di sini adalah insan kamil (Manusia Sempurna), yang memanifestasikan pola dasar keruhanian insan dalam gambaran-Nya. Jadi ba’ adalah bentuk pertama yang “mengejawantahkan” alif. Ba’ adalah pola dasar dan dapat dikatakan melambangkan adam dalam arti manusia di bumi. Karena manusia sempurna adalah cermin dari Bentuk Majazi-Nya, maka dialah yang diangkat menjadi khalifah-Nya dan memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya. Karena manusia diberi amanat kekhalifahan di muka bumi, maka Allah menjadikan manusia sebagai perwujudan yang kelihatan dari al-Batin. Ini berarti bahwa tercipta pula “pemisah” (hijab) antara Tuhan (Yang Maha Gaib) dengan manusia (manifestasi dari Yang Gaib).
Jadi, sejak awal huruf Kitabullah ini, pembaca Al-Qur’an telah diingatkan bahwa segala sesuatu selalu terkait dengan Allah, sebab “la maujuda illa Allah.” Setiap wujud selalu terkait dengan satu “nama” yang mengantarkan pada Zat-Nya, dengan kata lain pada hakikatnya hanya ada satu Wujud — Kesatuan Wujud (wahdat al-wujud). Tetapi, Kesatuan Wujud ini, sebagaimana Kitabullah, memuat prinsip diferensiasi (lihat kembali Bab 2). Jadi, membaca Al-Qur’an dengan benar akan membawa pembacanya pada visi atau pengalaman kesatuan wujud, tanpa mengacaukan aspek tanzih (transenden) dan tasybih (imanen).
Kata “Allah” dalam kalimat basmalah juga mengilustrasikan urutan persatuan dan perpisahan, tasybih dan tanzih. Setelah mengucapkan bismi, pembaca al-Qur’an akan bertemu dengan asma Allah — bismillah, yakni dengan menyebut asma “Allah.” Kata ini terdiri dari empat huruf, alif, lam, lam, dan ha. Kata ini amat istimewa. Jika dari kata “Allah” ini kita hilangkan huruf alif, maka kita akan mendapatkan kata “lillah”; jika lam pertama kita singkirkan, maka kita akan mendapatkan kata “lahu”; jika lam kedua kita singkirkan, kita akan mendapatkan kata “hu” — Semua itu merujuk kepada “Allah.” Huruf alif dalam kata “Allah” yang bernilai 1 melambangkan Diri Tuhan dan Keesaan-Nya. Huruf lam pertama adalah alam malakut (kerajaan langit). Huruf lam kedua adalah alam mulk (kerajaan dunia bumi). Dan Hu adalah tak ada sesuatupun selain Dia.
Ringkasnya, segala sesuatu adalah ada karena Allah dan “beserta” Allah. Kelangsungan hidup makhluk bergantung pada ruh yang “ditiupkan” ke dalam makhluk-Nya. Inilah tiupan rahmat, Nafas al-Rahman. Jadi, terwujudnya semesta, termasuk manusia, adalah lantaran Kasih-Nya. Allah disebut “ar-Rahman” selama Dia memancarkan “Wujud-Nya” yang tak terbatas, yang merupakan akar primordial dari semesta (kosmos). Karenanya, dalam satu pengertian, “Allah” dan “ar-Rahman” adalah identik sebab keduanya “mencakup segala sesuatu” — “Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu” (Q.S 7: 156). Keidentikan ini juga diisyaratkan dalam ayat “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman” (Q.S.17:10). Sampai di sini dapat dikatakan bahwa alif yang “tersembunyi” diejawantahkan atau dimanfestasikan dengan ba’, dan pengejawantahan ini adalah karena dan beserta “Allah,” dan manifestasi dipelihara dan dijaga dengan Rahmat-Nya yang tiada terbatas.
Akan tetapi ciptaan tak pernah sama dengan Pencipta, dan karenanya ciptaan akan berakhir. Tujuan akhir dari manusia adalah keselamatan dan kenikmatan di sorga. Inilah rahmat yang lebih khusus, ar-Rahim, yang dimanifestasikan dengan jelas di dalam surga. Dan di dalam surga inilah terdapat tujuan tertinggi manusia—“melihat” wajah Allah atau bertemu (liqa’) dengan Allah—sebuah pertemuan yang membahagiakan di mana sang hamba kembali “menyatu” dengan-Nya. Bertemu dengan Tuhan adalah bertemu dengan diri sendiri yang sejati — “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Sosok yang paling mengenal dirinya, dan karenanya, mengenal Tuhannya, tak lain adalah Insan Kamil (Manusia Sempurna), dengan perwujudannya atau personifikasinya yang tertinggi dan paling sempurna di dunia ini adalah Nabi Muhammad SAW. Kedatangan Muhammad sebagai Penutup Kenabian dan Kerasulan, sebagai Insan Kamil, adalah “kesimpulan” dari semesta.
Jadi, secara garis besar, di satu sisi dapat dikatakan lingkaran eksistensi manusia muncul pertama kali dengan bismi, yang diawali oleh Adam yang menerima “nama-nama segala hal” dari Allah, ar-Rahman, dan diakhiri oleh ar-Rahim, yang dengan Asma ini Muhammad menyatukan kembali hal-hal yang “dipisahkan” oleh bismi. Tauhid Rasulullah adalah menyatukan kembali signifikansi Tauhid, tanzih-tasybih, rahasia dari makna “Dia-lah Yang Mahaawal dan Mahaakhir, Yang Mahazahir dan Mahabatin” (Q.S. 57:3). Namun, di sisi lain, dalam konteks azali (sebelum ada alam), segala sesuatu berasal dari Muhammad yang, menurut salah satu riwayat hadis, diciptakan “2000 tahun sebelum penciptaan Adam” (lihat Bab 3). Dengan demikian “yang akhir” kembali ke “yang awal,” dan lingkaran tujuan penciptaan semesta pun telah paripurna: “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Jadi, dari contoh tafsir di atas, yang hanya serba sedikit, tampak bahwa tafsir para sufi benar-benar memperhatikan detail hingga ke huruf-hurufnya. Dari mana datangnya pengetahuan tafsir simbolis semacam ini? Sufi As-Sady mengatakan, “Ketika Allah hendak menjadikan seseorang sebagai Wali, Dia akan mengajarinya ilm ladunni, dan ilmu ini tidak bisa diperoleh dengan penelitian rasional atau akal-budi” — ilm ladunni ini hanya bisa diperoleh melalui karunia dan pertolongan Ilahi setelah manusia mau berusaha untuk mensucikan hatinya dengan mendekatkan diri kepada-Nya.
Dari sudut pandang lainnya, yakni dari segi “pragmatis,” maka kandungan Al-Qur’an bukan hanya ilmu pengetahuan lahir dan batin, tetapi juga mengandung aspek pragmatis untuk membantu manusia menghadapi hidup, dan bahkan juga bisa melahirkan keajaiban-keajaiban dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an bisa memunculkan “keajaiban” jika diamalkan dengan cara tertentu, baik untuk tujuan keruhanian maupun keduniawian. Menurut para sufi, setiap surat dan ayat atau bahkan setiap kata dan huruf ada “khasiat” atau fadhilah (keutamaan) tertentu. Ilmu tentang rahasia khasiat ini juga termasuk dalam ilm ladunni. Misalnya, Rasulullah bersabda “Fatihah terbuka untuk segala maksud kaum mukminin” dan “Fatihah itu obat dari segala penyakit, kecuali kematian.” Tentunya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana khasiat ini bisa direalisasikan. Inilah yang dimaksud dengan ilmu rahasia khasiat dan fadhilah, yang hanya bisa diketahui melalui ilm ladunni. Banyak Sufi yang dikaruniai pengetahuan gaib tentang cara-cara pengamalan agar manfaat Fatihah ini bisa terealisasikan. Sebagian dari pengetahuan gaib itu telah ditulis dalam banyak kitab. Misalnya, agar mendapat perlindungan dari segala bencana dan wabah, dianjurkan dibaca secara rutin 40 kali sesudah shalat subuh; atau untuk memudahkan rezeki, menurut Syekh Ahmad al-Ghazali, Fatihah dibaca 100 kali setiap hari, atau dibaca sesuai dengan jumlah hurufnya, yakni 125 kali. Muhyiddin Ibn ‘Arabi mengatakan Fatihah bisa memudahkan terkabulnya hajat jika dibaca secara rutin 40 kali selepas shalat maghrib; atau dibaca sebanyak bilangan pejuang badar, 313 kali, untuk membuka keberkahan dan menutup keburukan; dan masih banyak lagi cara lainnya. Wali Allah wanita yang bernama Fathimah biti ibn al-Mutsanna, memiliki kemampuan menguasai surat al-Fatihah. Beliau pernah berkata, “Aku diberi surat al-Fatihah dan aku bisa menggunakan kekuatannya untuk apa saja yang kuinginkan.” Dalam sebuah kisah, beliau memerintahkan al-Fatihah untuk membawa kembali seorang suami yang minggat dari rumahnya, meninggalkan istrinya untuk kawin lagi. Contoh lainnya, untuk bertemu dengan 4000 Wali Allah, kata Syekh Majduddin, seseorang dianjurkan mewiridkan “ayat lima” setiap hari (yakni Surat al-Baqarah: 246; Surat ali-Imran: 181; an-Nisa: 77; al-Maidah: 27; dan ar-Ra’du: 16).
Pada level yang lebih tinggi, surat-surat dalam al-Qur’an pada hakikatnya memiliki sebentuk “wujud” tersendiri yang bisa diajak berkomunikasi. Al-Qur’an dapat menampakkan diri kepada Wali Allah dalam “modus” atau bentuk tertentu. Surat-surat yang secara kasat mata kita lihat sebagai tulisan dan kita dengar sebagai suara, bagi sebagian Wali Allah dapat muncul dalam bentuk visual. Ini disebabkan eksistensi memiliki empat derajat yang menyediakan wadah bagi makna. Muhyiddin Ibn ‘Arabi mengatakan:
Segala “sesuatu” dalam wujud ini memiliki empat derajat … Pertama adalah wujud sesuatu di dalam realitas personalnya; yang kedua adalah wujud sesuatu di dalam pengetahuan; yang ketiga adalah wujud sesuatu di dalam suara; dan keempat adalah wujud sesuatu di dalam tulisan — Jika kita mengeja nama Shalahuddien, maka kita memahami maknanya [suara]; jika kita menulis nama Shalahuddien dalam secarik kertas, maka kita memahami maknanya [tulisan]; jika Shalahuddien sendiri muncul di hadapan kita, kita memahami maknanya [realitas personalnya]; dan jika kita mengingat atau membayangkan Shalahuddien dalam pikiran ketika dia tidak hadir di depan kita, maka kita memahmi maknanya [pengetahuan atau bentuk imajinal/al-khayal].
Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi sendiri pernah mengalami “penampakan” langsung dari bentuk-bentuk surat, setidaknya tiga kali. Salah satunya adalah pengalaman ketika surat al-Ikhlas mengungkapkan dirinya secara langsung di Aleppo, di mana dia diberi tahu bahwa surat ini “tak tersentuh oleh jin dan manusia.” Melalui penampakan langsung inilah Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi memahami konsep ikhlas, yang merupakan rahasia Allah yang hanya dipercayakan kepada hati orang-orang yang dicintai-Nya. Syekh al-Akbar juga pernah diselamatkan oleh surat “Yasin” dalam bentuk lelaki yang gagah dan tampan. Isyarat bentuk surat ini juga dikemukakan secara implisit oleh Sabda Rasulullah SAW bahwa surat as-Sajdah memiliki “dua sayap” yang akan menaungi pembacanya di hari kiamat.
Selain itu, Wali Allah bisa menyaksikan atau bercakap langsung dengan makna atau kejadian yang dimuat dalam al-Qur’an. Setiap bentuk kitab atau buku adalah semacam “representasi” dari penulisnya. Dalam hal ini ada hubungan “gaib” antara penulis dengan buku, yakni seolah-olah buku itu menghubungkan si pembaca dengan si penulis. Sebagian Wali Allah dikaruniai kemampuan membaca buku hingga ke tingkat mutalaqqi, yakni ketika mereka membaca kitab, mereka langsung “bertemu” — baik secara ruhaniah atau tidak — dengan penulisnya, bahkan dalam kasus penulis yang sudah meninggal sekalipun. Dikisahkan Kyai Ihsan Jampes, Kediri, setiap beliau menelaah kitab al-Ihya Ulumuddin, maka Imam al-Ghazali akan langsung mendatanginya untuk memberinya penjelasan secara langsung. Penulis pernah bersilaturahmi dengan Wali Allah yang bila ingin memahami isi suatu buku, beliau cukup melihat nama pengarangnya, diam sejenak, lalu ditutup lagi bukunya. Jika ditanyakan kandungan buku itu, beliau bisa menguraikannya. Ada banyak kisah semacam ini dalam dunia Tasawuf.
Hal yang sama juga terjadi ketika Wali Allah membaca Al-Qur’an. Misalnya, ketika membaca ayat dalam surat al-Kahfi yang mengisahkan para “pemuda gua,” Wali Allah bisa jadi akan langsung diberi visi keadaaan para pemuda itu, bagaimana perjuangannya, dan seperti apa keadaannya saat tidur selama 309 tahun. Seorang Wali Allah menceritakan kepada penulis bahwa anjing yang mengikuti tujuh pemuda itu benar-benar patuh bahkan hingga mengikuti gerak-gerik para pemuda gua. Jika, misalnya, para pemuda itu tidur terlentang, si anjing ikut terlentang; dan jika mereka berubah posisi miring, si anjingpun ikut miring. Kemudian beliau mengatakan, ini adalah isyarat bahwa dengan mengikuti dan patuh pada Wali Allah, bahkan seekor anjing pun bisa masuk surga, apalagi manusia. Jadi beliau tidak hanya membayangkan dalam imajinasi kisah itu, tetapi “mengalami” langsung peristiwanya, dan bahkan bisa bercakap-cakap dengan tujuh pemuda gua itu. Contoh lainnya dalam “keanehan” sang Wali ini adalah sebagai berikut: Di ruangannya , yakni di sekitar tempat duduknya, terdapat banyak kitab agama, seperti kitab tafsir, kitab hadis, kitab tasawuf, dan sebagainya. Menurut keterangan, sebenarnya kitab-kitab itu telah dirapikan dan di simpan di kamar belakang. Namun Wali Allah ini kemudian memerintahkan putranya untuk mengembalikan kitab itu di ruangannya, di dekat tempat duduknya. Menurut Wali Allah itu beliau mendengar kitab-kitab itu memanggilnya, dan kitab-kitab itu berkata kepada beliau bahwa mereka tidak ingin jauh-jauh dari sang Wali Allah. Bahkan, dalam kasus pembacaan Al-Qur’an, terkadang Wali Allah ini tak kuat membaca suatu ayat. Dikisahkan oleh seorang putranya kepada penulis, ketika sang Wali membaca ayat yang menerangkan penderitaan Nabi Ayyub, sang Wali ini berhenti membaca dan menangis tersedu-sedu. Belakangan, menurutnya, ketika membaca ayat itu, Nabi Ayyub hadir langsung secara ruhaniah di hadapannya, menceritakan dan menunjukkan penyakit dan penderitaannya kepada sang Wali. Menurut sang Wali, kemampuan seperti ini hanya bisa diperoleh jika seseorang sudah tak lagi “melihat” atau “membaca” hal-hal yang subhat apalagi yang haram — bahkan dalam suatu kesempatan beliau mengatakan kepada penulis bahwa dirinya tak bisa lagi membaca berita koran, karena sudah “diharamkan” baginya.
Selain itu ada “keajaiban” Qur’an dari aspek audionya, yakni dari pelafalan atau pembacaan Qur’an. Kata-kata dan bunyi al-Qur’an diyakini memiliki kekuatan “magis” tertentu yang bersumber dari asal-usul Ilahiahnya Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu ialah orang yang apabila disebut Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah iman mereka karenanya” (Q.S. 8: 2). Dalam pengertian yang luas, membaca ayat al-Qur’an pada dasarnya adalah berzikir pula. Ayat lain yang menunjukkan kekuatan suara bacaan al-Qur’an adalah “Allah telah menurunkan perkataan yang terbaik [al-Qur’an] yang ayat-ayatnya saling menguatkan dan disampaikan berulang-ulang dan bulu roma orang yang bertakwa kepada Tuhannya pasti bergetar, kemudian kulit dan hati mereka menjadi lembuat karena mengingat Allah [zikirullah]” (Q.S. 39: 23).
Sudah diakui bahwa bacaan ayat Al-Qur’an dengan suara yang jernih dan merdu akan memengaruhi suasana hati. Bacaan al-Qur’an akan lebih berkesan jika dibaca dengan suara yang merdu dan mengikuti kaidah tajwid secara sempurna. Berkah yang paling jelas yang didapat oleh seseorang ketika membaca al-Qur’an adalah turunnya “sakinah” atau “kedamaian.” Rasulullah menyatakan dalam sebuah hadis bahwa orang-orang yang membaca al-Qur’an dan saling membacakan al-Qur’an akan mendapat karunia sakinah, rahmat dan dikelilingi malaikat. Usaid ibn Hudhair ketika sedang membaca al-Qur’an tiba-tiba ia melihat awan putih mengelilinginya. Rasulullah kemudian memberi tahu bahwa awan itu adalah malaikat yang berkumpul untuk mendengarkan bacaannya. Karena begitu banyaknya malaikat yang berkerumun, sampai-sampai mereka tampak seperti awan. Rasululullah menyatakan bahwa awan itu adalah sebentuk sakinah. Dalam pandangan ulama Sufi, setiap ayat, dan bahkan setiap huruf, sesungguhnya ada penjaganya, yakni malaikat. Karenanya, ketika seseorang membaca suatu ayat sesungguhnya ia “menyapa” sang penjaganya. Pada satu titik di mana keadaan pembaca sudah sedemikian tinggi tingkat keruhaniannya, maka “bacaan” itu akan menyatu dengan dirinya, yang berarti pula ia akan selalu diliputi dan dijaga oleh para malaikat dari setiap huruf yang dibaca. Jika al-Qur’an telah “mendarah daging” dalam kehidupan seseorang, maka fadhilah dan khasiat setiap ayat akan terealisasi dengan sendirinya. Karenanya, dalam kehidupan sehari-hari, jika kita melihat ada orang kesurupan, kadang saat dibacakan ayat kursi atau surat al-Falaq dan an-Nas oleh orang yang kualitas spiritualnya rendah atau biasa saja, orang kesurupan itu tidak segera sembuh, tetapi ketika didatangkan “ulama khos,” bahkan belum sempat ia membacanya pun orang itu langsung pulih karena jinnya sudah lari terbirit-birit. Dibutuhkan kualitas spiritual yang tinggi agar manfaat untuk “pengusiran” jin dapat terealisasikan. Orang dengan kualitas ruhani yang tinggi, apalagi jika al-Qur’an telah mendarah-daging dalam dirinya, akan memiliki daya spiritual dan cahaya yang amat kuat, dan bahkan cukup dengan kehadirannya saja akan bisa membakar para jin dan sejenisnya.
Orang yang lidahnya fasih dalam melafalkan huruf Arab dan menguasai tajwid dengan sempurna serta memiliki kualitas ruhaniah yang tinggi — atau cahaya ruhnya telah “bertemu” dengan cahaya ruh Al-Qur’an — akan mampu memengaruhi orang dengan membaca al-Qur’an, dan bahkan dalam beberapa kasus, mampu membuat pendengarnya jadzab. Inilah salah satu kualitas Wali Allah yang menakjubkan. Wali Allah yang sempurna akan benar-benar “menghadirkan” seluruh makna al-Qur’an kepada pendengarnya. Sahabat Rasulullah, Ibn Mas’ud, yang tak diragukan lagi kualitas kewaliannya dan kefasihan bacaannya, pernah diminta oleh Rasulullah untuk membacakan al-Qur’an. Ibn Mas’ud heran dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mestikah saya membacakan al-Qur’an kepadamu, sedangkan al-Qur’an diturunkan kepadamu?” Rasulullah menjawab, “Benar, tetapi aku suka mendengarkan bacaan dari orang lain.” Lalu Ibn Mas’ud membacakan surat an-Nisa ayat 41. Ketika sampai pada kalimat “Maka bagaimanakah (keadaan orang kafir) apabila kami mendatangkan saksi [Rasul] dari tiap umat…” Rasulullah berkata, “Cukup.” Lalu air mata beliau bercucuran. Sayyidina Umar ibn Khattab yang terkenal garang pun luluh hatinya setelah mendengarkan bacaan al-Qur’an.
Penulis pernah mendengar kisah kekuatan ayat al-Qur’an yang dibaca oleh seorang Wali Allah. Menurut seorang santrinya yang pernah disembuhkan sang Wali dari penyakit “gila” yang dideritanya, “ludah sang Wali ini setara dengan 41 al-Qur’an,”; dan seorang tamu lainnya yang ahli kasyaf jika hendak bersalaman dengan beliau, dia selalu berwudhu terlebih dahulu, karena menurut visinya dalam perut sang Wali ini “berisi” al-Qur’an. Penulis beberapa kali bersilaturahmi dengan sang kyai yang sudah menempati kedudukan Wali ini, dan menurut beliau, sampai sekarang beliau tidak mau meludah sembarangan, karena dikhawatirkan air ludahnya yang “setara” dengan al-Qur’an akan diinjak orang. Karenanya, tak mengherankan jika beberapa kyai Wali Allah zaman dahulu selalu punya tempat khusus untuk meludah. Kyai ini juga terkenal karena bacaannya yang membuat orang bisa “lupa daratan.” Dalam sebuah kisah, beliau diundang untuk membacakan ayat al-Qur’an dalam acara pernikahan anak lurah setempat. Sebenarnya beliau tidak mau, namun karena dipaksa akhirnya beliau bersedia. Beliau membaca surat ar-Rahman, namun baru pada ayat ketiga situasi menjadi kacau. Para tamu undangan menangis tersedu-sedu, pak lurah menangis berangkulan dengan istrinya, dan orang-orang di dalam rumah berhamburan keluar — bahkan sang juru masak bersama anak buahnya lari dari dapur sambil membawa kayu bakar yang masih menyala tanpa disadarinya. Akhirnya, seorang kyai sepuh ahli fiqh menghentikan bacaan itu. Sejak peristiwa itu, sang faqih ini menetapkan sang Kyai itu “haram menjadi imam atau makmum shalat.” Sebab jika menjadi iman dalam shalat jahr (isya, magrib dan subuh), para makmum yang mendengar bacaannya lupa diri dan tak membaca al-Fatihah, dan karenanya shalat mereka tidak sah. Tetapi beliau juga tak bisa menjadi makmum karena ada dalil fiqh dalam kitab Fathul Muin bahwa “tidak sah seorang qori (orang yang fasih bacaannya) bermakmum kepada imam yang ummi (yakni tingkat kefasihannya berada di bawahnya).” Pada akhirnya, agar tidak didaulat menjadi imam atau diundang membacakan Qur’an pada acara-acara tertentu, sang Wali ini terpaksa berkorban: beliau dengan sengaja mencopoti seluruh giginya, sehingga bacaannya tidak bisa fasih lagi. Tetapi bahkan ketika sudah ompong sekalipun, setiap kali beliau mengaji kitab, pengaruh ruhaninya luar biasa. Penulis pernah diajak mengaji kepadanya bersama beberapa tamu lain; namun belum lima menit sang kyai memaparkan ilmunya, para hadirin, termasuk penulis, terserang kantuk yang hebat — bahkan putra sang Wali tidur sampai mendengkur. Ketika beliau menghentikan bacaannya, mendadak semua tamu bangun dan hilang pula semua kantuk. Penulis, setelah tersadar dari kantuk yang hebat, merasakan kesegaran yang tidak biasanya. Namun, pada sisi lain, jika sang Wali memaparkan makna mistis dari al-Qur’an kepada orang yang belum siap kapasitas ruhaninya, akibatnya bisa buruk. Pernah pada suatu malam penulis beruntung karena tiba-tiba sang Wali mengajak penulis berbincang dalam waktu yang cukup lama. Beliau kemudian memaparkan beberapa makna al-Qur’an yang tidak lazim, dan sebagian besar tidak bisa penulis pahami. Setelah selesai, beberapa saat kemudian penulis merasa seluruh badan sakit semua dan panas. Sang Kyai kemudian menyuruh penulis untuk istirahat supaya sembuh — dan keesokan harinya kondisi tubuh pulih kembali sedia kala.
Terakhir, beberapa Sufi menemukan keajaiban numerik dalam al-Qur’an yang menjadi dasar dari “struktur” al-Qur’an itu sendiri. Para Sufi merenungkan angka misterius yang dimuat dalam Q.S. 74: 30, “Di atasnya ada 19 penjaga.” Akhirnya sebagian sufi menemukan makna mistis dari angka ini — bahkan beberapa sekte spiritual mengagungkan angka ini, misalnya sekte Baha’iah. “Misteri 19” ini belakangan ditunjukkan melalui bantuan komputer oleh Prof. Rashad Khalifa Ph.D. Penemuannya mengukuhkan kebenaran tafsir mistis para sufi yang telah dikemukakan beberapa abad yang lalu.
Dengan berdasarkan huruf dan nilai numeriknya, Rashad menemukan bahwa struktur al-Qur’an “dijaga dari perubahan” berdasarkan angka 19. Struktur numerik dari ayat dan surat dan huruf diteliti dengan ilmu kriptografi dengan bantuan komputer. Tentu saja akan terlalu luas jika semua temuan itu diuraikan di sini, karenanya berikut ini akan disajikan sedikit contoh dari temuan misteri 19 penjaga itu.
Kalimat basmalah terdiri dari 19 huruf, di mana basmalah disebut 114 kali (19 x 6), di mana 114 adalah jumlah surat al-Qur’an. Semuanya ada di awal surat, kecuali di surat ke-9; namun kalimat basmalah muncul di salah satu ayat di surat 27 ayat 30, sehingga totalnya tetap 114. Kata “Allah” dalam al-Qur’an muncul sebanyak 2.698 kali, atau 19 x 142. Jumlah total ayat yang mengandung kata “Allah” adalah 118.123, yang merupakan hasil dari 19 x 6.217. Surat pertama, yang berada diurutan no. 96 dalam mushaf, terdiri dari 19 ayat. Ayat-ayat pertama yang turun adalah 5 ayat dengan jumlah kata 19 buah, 76 huruf (1`9 x 4). Total huruf setelah genap 19 ayat adalah 304 atau 19 x 16. Surat 110 yang diturunkan terakhir terdiri dari 19 kata, dan ayat pertama dari surat itu terdiri dari 19 huruf. Contoh lainnya: huruf Qaaf dalam surat Qaaf muncul sebanyak 57 kali, atau 19 x 3. Dalam surat Yaa Siin, huruf Yaa dan Siin muncul 285 kali, atau 19 x 15 — Jumlah kemunculan huruf-huruf muqatta’at lainnya dalam surat yang relevan juga merupakan kelipatan dari 19. Angka 19 juga merupakan nilai gematrikal dari kata “Satu” dalam bahasa Arab, yakni wahid (wawu, alif, ha dan dal), di mana total nilai numerik (lihat tabel numerik di atas) untuk kata ini adalah 19. Angka 619 (yang diambil dari 6 x 19 = 114) adalah deret ke-114 dari bilangan prima; dan kalimat wahdahu la syarikalahu memiliki nilai numerik 619. Sebagai angka prima, ia tidak boleh di-syirkah, diduakan. Demikian segelintir contoh dari struktur numerik al-Qur’an.
Jadi, setelah seluruh huruf dianalisis, pada akhirnya tampak bahwa tak satupun huruf yang bisa ditambah atau dikurangi, sebab melakukan perubahan itu akan menyebabkan strukturnya menyempal dari penjagaan angka 19 — Allah berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan Kami pula yang benar-benar menjaganya” (Q.S. 15: 9).

Wa Allahu a’lam bi as-shawab.