Suatu ketika seorang gadis kecil bersama dengan ayahnya melintasi jembatan tua yang tidak terawat baik. Jembatan itu penuh dengan lubang menganga, dan talinya pun terlihat ada yang putus. Pertanda kalau kurang diperhatikan oleh yang empunya. Tampak suasana takut dan cemas di raut muka sang ayah dan gadis kecil ketika hendak menyeberanginya. Sambil berbicara pelan kepada putri yang ia cintainya. "Sayang, tolong pegang tangan ayah kuat-kuat agar kamu tidak jatuh ke dalam sungai."
Mendengar permintaan ayahnya si gadis kecil berkata sedikit keras, "Tidak ayah! Ayah yang harus pegang tanganku."
"Apa bedanya?" tanya laki-laki itu sedikit bingung.
"Ada perbedaan besar, yah," balas si gadis kecil.
"Jika aku memegang tangan ayah dan sesuatu terjadi padaku, kemungkinan aku biarkan tangan ayah lepas dariku. Tetapi jika ayah memegang tanganku, aku yakin apapun yang terjadi, ayah tidak akan pernah membiarkan tanganku terlepas," jelasnya.
Gadis kecil ini menyandarkan keselamatan jiwanya kepada ayahnya. Ia yakin dan percaya betul bahwa ayahnya akan menyelamatkannya walau rintangan berat menghadangnya.
Pembaca, pernahkan anda membayangkan begitu besar kepercayaan anak-anak kita kepada kehadiran sang ayah?
Pada awalnya mereka mengharapkan untuk tidak pernah lepas dari genggaman sang ayah dalam segala hal. Termasuk dalam pendidikan moral dan agamanya. Mereka begitu menyenangi kehadiran sang ayah. Kehadirannya memunculkan harapan, dan kepergiannya memunculkan kekhawatiran. Mereka dulu terlihat begitu senang dengan sapa dan teguran yang ayah berikan. Bahkan mereka mencarinya ketika sang ayah tidak berada di sampingnya.
Hanya karena kesalahan yang diciptakan sang ayah-lah yang menjadikan mereka terkadang lepas dari genggamannya. Mereka lupa dengan prinsip yang ayah miliki, karena sang ayah tidak pernah mengajarkannya kembali. Mereka lupa dengan amal-amal sholeh yang harus dilakukannya, karena ayahnya tidak memegang kuat-kuat jalan yang harus ditempuhnya. Mereka tidak percaya kepada ayahnya lagi karena ia tidak memupuk dan menjaga kepercayaan yang diberikannya oleh anak-anaknya.
Dan akhirnya kepercayaan sang anak kepada ayahnya pun sirna. Apa yang keluar dari ucapannya tidak digubris oleh anak-anaknya kembali. Bahkan ketika ajal menjemputnya, jasad sang ayah yang sudah terbujur kaku pun menjadi sesuatu yang mengerikan bagi anak-anaknya.
Sebuah pepatah mengatakan, “Trust is like a mirror, once its BROKEN you can never look at it the same again.” (Kepercayaan seperti sehelai cermin, satu kalinya RUSAK anda tidak pernah dapat memandangnya yang sama lagi).
Pernah suatu ketika terjadi hal yang memprihatinkan di keluarga Muslim di Amerika. Mereka datang ke Amerika dengan harapan besar. Suami dan istri ini menjadi Muslim sejak lahir. Kehidupan dan pendidikan bagi anak-anaknya yang lebih baik. Kehidupan yang lebih manusiawi. Mereka mempunyai dua orang anak. Beberapa tahun kemudian, ketika anak-anaknya beranjak dewasa, ayahnya meninggal dunia karena sakit keras yang sudah lama dideritanya.
Ketika giliran memandikan jenazahnya, tidak ada satu pun anak-anaknya yang berani melakukannya. Dan ketika giliran menshalatkannya pun, mereka tidak paham bagaimana harus memulainya. Parahnya lagi, mereka pun sudah lupa bagaimana cara mengambil air wudhu.
“How should I do it?”, ujarnya dengan wajah bingung. Urutan dan aturan wudhunya tidak dapat ia lakukan dengan baik.
Peristiwa ini adalah salah satu bukti apa yang disebutkan di dalam hadist Rasulullah SAW, "Setiap bayi terlahir dalam keadaan fitrah (Muslim muwahhid), namun kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani atau Majusi. Sebagaimana seekor hewan melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna, adakah kamu dapati cacat padanya."(Muttafaq 'alaih)
Kembali ke tema kata “kepercayaan”, tidak ada keberhasilan tanpa kepercayaan. Itulah prinsip hidup dari sebuah kesuksesan. Banyak sekali cerita kesuksesan orang-orang besar karena adanya kepercayaan. Bahkan salah satu kunci kesuksesan dakwah Rasulullah SAW adalah karena sebutan Al-Amin (orang yang dapat dipercaya) sejak sebelum kenabian dari semua orang. Dengan kepercayaan
inilah, dahulu Rasulullah SAW menyulam kesuksesan, dan merajut keberhasilan.
Kepercayaan adalah salah satu bentuk nyata dari keberhasilan sebuah positif thingking seseorang. Positif thinking adalah sebuah upaya untuk melihat sesuatu dari sisi positifnya. Segala sesuatu pasti tidak sempurna, kecuali Allah SWT.
Oleh karena itu kalau kita terus mencari ketidak sempurnaan akan sesuatu, maka pasti akan kita dapatkan. Akan tetapi mencari ketidak sempurnaan adalah salah satu jalan kita mendapatkan kerugian dan kegagalan. Dan perilaku ini menjadi salah satu penyebab hilangnya sebuah kesempatan besar.
Begitu pula dengan kepercayaan yang dimiliki oleh seorang ayah dari anak-anaknya. Ketika mereka masih kecil, mereka percaya bahwa kekuatan otot ayahnya akan mampu menopang beban berat yang dimilikinya. Mereka percaya bahwa ayahnya adalah sosok yang mampu membimbing jalan hidupnya ke arah yang benar dan tepat. Sehingga ketika anak-anak diajak ke suatu arah kebaikan, mereka tetap percaya kepadanya. Tidak bisa dipungkiri kepercayaan selalu membutuhkan patner. Dan patner sang ayah adalah anak-anaknya.
Membangun kepercayaan perlu tumpukan kebaikan. Bahkan terkadang harus merasakan penderitaan dan ketidak berdayaan. Dan tidak jarang harus berhadapan dengan ide-ide orang lain yang menentangnya. Berhadapan dengan tarikan-tarikan yang lebih menarik bagi anak-anak dari pada keinginan baik ayahnya. Membangun kepercayaan berarti bersiap untuk berkorban. Berat memang, tapi kita perlu kepercayaan untuk menegakkan kehidupan. Ada pepatah yang dapat mengingatkan kita akan sifat kepercayaan ini, “Trust is the hardest thing to find and the easiest to lose.” (kepercayaan adalah hal yang paling sukar didapat namun paling mudah hilang).
Ketika kepercayaan anak-anak ada di pundak sang ayah, maka tidak mustahil ia akan mudah menasehatinya seperti ketika Rasulullah SAW menasehati Ibnu Abbas RA ketika kecil. Pintu nasehat yang dimiliki oleh anak-anaknya akan terbuka lebar bagi apapun yang datang dari ayahnya.
Dari sahabat Ibnu Abbas ia berkata: Suatu hari aku membonceng Nabi SAW, maka beliau bersabda kepadaku: ”Wahai nak, sesungguhnya aku akan ajarkan kepadamu beberapa kalimat: Jagalah (syariat) Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah (syariat) Allah, niscaya engkau akan dapatkan (pertolongan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar