T A J R I D ( Kesungguhan ) ^_^
(
Bagi yang tidak suka abaikan saja,diam lbh baik dlm menjaga hati daripd
prasangka dan perkataan lisan maupun tulisan hal yg buruk, tdk perduli
jika diterima maupun ditentang,segala hal kebajikan yg disampaikan
semata". Karena Allah Ta'ala utk kebajikan sesama).^^
Tajrid
secara bahasa adalah mengosongkan sesuatu daripada yang lain. Maksud
tajrid (kesungguhan) adalah bahwa jika kita sedang menghadap Allah, maka
penuhkanlah perhatian hanya kepada Allah dan kosongkan perhatian
daripada yang lain. Demikianlah juga jika engkau mengerjakan sesuatu
maka penuhkanlah perhatian kepada pebuatan tersebut dengan niat kepada
Allah dan kosongkan daripada yang lain. Kosongkan daripada yang lain dan
hanya menghadapkan diri kepada Allah itulah yang dimaksudkan dalam
kalimat : “ iyyaka na’budu wa iyyaka nastain “ dalam surah al fatihah..
Dalam ayat ini dipakai kalimat “Iyaaka” bukan “Ilaika”. Iyyaka artinya
adalah hanya kepadaMu Ya Allah, dan tidak kepada yang lain sedikitpun
sedang ilaika “ kepadaMu “; berarti dalam kalimat ‘iyyaka “ tersembunyi
makna “tajrid” dan “tafrid”. ^^
Tajrid mengosongkan diri
daripada segala sesuatu sedangkan tafrid hanya menuju kepada Allah Yang
Esa, sebab kalimat tafrid berasal dari “fardun “, yang bermakna tunggal,
satu, tidak ada yang lain. Ulama menyatakan “ tajrid “ dalam ibadah
sedangkan “tafrid “ dalam ubudiyah. “Tajrid” dari hamba kepada Allah
sedangkan tafrid terdapat pada Dzat Allah.
Ada kumpulan yang
mengatakan bahwa tajrid adalah mengosongkan dunia dari kehidupan
sehingga kehidupan hanya untuk beribadah kepada allah, padahal tajrid
dalam amal ibadah tidak dapat dilakukan dengan meninggalkan amal shaleh,
sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Athaillah dalam kitab al Hikam : “
Keinginan anda untuk tajrid padahal Allah menempatkan anda pada asbab,
maka hal itu termasuk syahwat yang tersembunyi. Sebaliknya jika
melakukan “asbab” padahal Allah menempatkan anda pada kedudukan tajrid,
maka hal itu berarti kemerosotan daripada himmah yang luhur “. Said Hawa
menjelaskan bahwa tajrid disini maksudnya adalah meninggalkan pekerjaan
duniawi, sehingga seakan-akan maksud Ibnu Athaillah adalah : “ Jika
anda ditempatkan Allah pada kedudukan untuk melakukan ikhtiar dengan
sebab-sebab sedangkan hatimu menginginkan tajrid, maka itu berarti
akibat pengaruh syahwat yang tersembunyi “.
Disini Imam Athaillah
menyatakan bahwa “tajrid” tidak berarti menghilangkan “asbab”. Sikap
“Tajrid” adalah sikap hati yakin hanya Allah menentukan segala sesuatu
tetapi keyakinan tersebut tidak boleh mengurangi amal terhadap
sebab-sebab dalam berikhtiar. Tetapi dalam beramal, dalam melakukan
sebab, maka hati tidak boleh pula tergantung kepada perbuatan tersebut,
tetapi selayaknya hati hanya tetap bergantung kepada Allah Azza wa
Jalla.
Ibnu Athaillah berkata : Daripada sebagian tanda
ketergantungan kepada amal perbuatan adalah kurangnya harapan ketika
terjadi suatu kesalahan “. Setiap muslim diwajibkan untuk beramal,
berbuat sesuatu ikhtiar, tetapi diwaktu yang sama dia juga diwajibkan
untuk tidak bersandar kepada amal perbuatannya tersebut, tetapi
bersandar kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala, hal ini dimaksudkan agar
dalam melakukan amal, tujuannya adalah mencari keridhaan Allah Ta'ala,
bukan natijah daripada amal perbuatan tersebut.^_^
Sahabat sahabatku,^_^
Tanda" Allah menempatkan seseorang dalam “asbab” ialah dengan berjalan
terus menerus dan nampak buahnya(hasilnya), maksudnya begini :
ketika sibuk dengan ikhtiar maka ikhtiar itu tidak menganggu agamanya,
tidak membuatnya tamak kepada milik orang lain, tetap dalam niat yang
baik, selalu menjalin hubungan silaturahmi dengan yang lain, dan
menolong orang yang lain sehingga amal perbuatannya dapat memberikan
manfaat kepada dirinya, hidupnya, manusia yang lain, alam sekitarnya,
dan kehidupannya di akhirat kelak. ^_^
Sedangkan jika Allah
Subhannahu wa Ta'ala memberikan kepadanya “tajrid”, maka hatinya tetap
kepada Allah walau dalam keadaan dan kesibukan melakukan asbab, dan
mendapatkan ketenangan jiwa dalam beramal, kebersihan hati, dan hanya
tergantung kepada Allah, tidak terpengaruh kepada natijah, tetapi tujuan
melakukan asbab hanya mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla “
.
Sahabat sahabatku yg insya Allah dlm ridha Allah Ta'ala sll^_^
Ketahuilah,bahwa Syetan selalu menggoda manusia dalam tajrid dan
ikhtiar. Jika manusia sedang berikhtiar, maka dia mengoda dengan
mengatakan bahwa keadaanmu ini adalah hina sebab engkau meninggalkan
ibadah kepada Allah, maka sebaiknya engkau tinggalkan ikhtiar dan
bergantunglah kepada Allah tanpa berikhtiar. Syetan berkata : “ Andai
engkau meninggalkan ikhtiar, dan kamu tajrid beribadah kepada Allah,
maka nanti hatimu akan bersinar dan mendapat kedudukan yang tinggi
disisi Allah sebagaimana si fulan dan si fulan “. Akhirnya orang tadi
akan meninggalkan ikhtiar, padahal Allah mewajibkannya berikhtiar.^^
Demikian juga syetan akan menggoda orang yang sedang khusyu’ beribadah
kepada Allah (tajrid), dan berkata “ mengapa engkau sibuk dengan ibadah
kepada Allah, padahal dunia itu diberikan kepadamu, maka sebab engkau
meninggalkan ikhtiar, maka lihat orang lain telah menjadi kaya, mendapat
dunia maka segera tinggalkan ibadahmu dan berikhtiarlah , dan carilah
dunia “.
Sahabat, Tujuan syetan adalah agar manusia yang sedang
melakukan ibadah atau yang sedang melakukan ikhtiar terengaruh dan
tergelincir,bimbang, antara ibadah dan ikhtiar, padahal ikhtiar
dilakukan dengan niat ibadah dan keyakinan kepada Allah Subhannahu wa
Ta'ala merupakan cara untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala, tetapi
sebab terputusnya ibadah disebabkan ikhtiar atau terputusnya ikhtiar
disebabkan ibadah menjadi penyebab tidak mendapat ridha Allah Subhannahu
wa Ta'ala.
Ketahuilah sahabat sahabatku,bahwa Ikhitar dan
ibadah, tidak dapat dipisahkan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Atahillah
: “ Amal-amal itu adalah badan yang berdiri, sedangkan rohnya adalah
ketergantungan hati dan keikhlasan kepada Alah Subhannahu wa Ta'ala “
.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa :
“ Sesungguhnya Allah sangat suka kepada seorang hamba jika dia
melakukan suatu perbuatan maka dia melakukannya dengan penuh kesungguhan
“. ( riwayat Abu Ya’li dan al askari )
“ Andaikata kamu bertawakal
kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal maka Dia akan memberikan
kepadamu rezeki sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, di pagi
hari burung itu keluar dari sarangnya mencari makan, dan di petang hari
dia kembali ke sarangnya dalam keadaan perut yang kenyang “ ( riwayat
Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Sahabat,Hadits ini menjelaskan
bahwa tawakkal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala tidak menafikan
ikhtiar, sebab Allah memberikan rezeki kepada burung sesudah burung itu
terbang mencari rezeki, bukan menunggu di dalam sangkar. Tetapi dalam
berikhtiar maka hati tetap bergantung dan bertawakkal kepada Allah
Subhannahu wa Ta'ala.
Tajrid menghajatkan kepada “uzlah” dan
inqitha’. Uzlah ( menyendiri ) bukanlah semata-mata menyendiri di salah
satu sudut masjid atau bilik, tetapi suasana hati yang tetap ingat Allah
dari satu waktu kepada waktu yang lain dlm setiap saat, tidak
terpengaruh dengan segala godaan dan suasana dalam beramal dan
berikhtiar. Sedangkan “inqitha’, adalah mengumpulkan segala potensi ,
semangat dan waktu untuk melakukan ikhtiar, dengan hati tetap bergantung
kepada Allah, sehingga kata Ibnu Ataillah : “ Adalah kebodohan orang
yang meninggalkan apa yang suidah dimilikinya karena hendak mencari
sesuatu yang baru, padahal Allah telah memilih baginya pada waktu itu “.
Dalam uzlah Ibnu Ataillah juga berkata :
“ Tidak ada sesuatu yang bermanfaat untuk hati sebagaimana uzlah, sebab lewat pintu uzlah hati dapat memasuki medan fikir “.
“ Bagaimana mungkin hati akan bersinar, sementara gambaran dunia terlukis di cerminnya “.
“ Bagaimana mungkin seseorang itu menuju Allah, padahal hatinya terpasung oleh syahwatnya “.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
“ Fitnah-fitnah itu dilekatkan di hati bagaikan tikar,sehelai demi
sehelai. Maka hati yang dapat dimasukinya tertitik satu noda hitam
padanya. Adapun hati yang mengingkarinya maka terteteslah padanya titik
putih. Sehingga hati ada dua macam : hati yang putih laksana batu karang
yang tak dapat digoyang oleh fitnah selama ada langit dan bumi; dan
hati yang hitam laksana periuk yang terbalik, tidak mengenal kebaikan
dan tidak mengingkari kemungkaran, hatinya penuh dengan hawa nafsu yang
telah masuk ke dalamnya “ ( riwayat Muslim ).
“Tajrid” dan
asbab adalah bergantung kepada rububiyah dan melaksanakan ubudiyah dalam
setiap kehidupan, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan, dan pada waktu yang sama kita meyakini “tafrid” yaitu
meyakini hanya Allah bermula segala sesuatu dan hanya kepadanya
berakhir, sebaagimana dikatakan oleh Ibnu Atailah : “Bergantunglah kamu
kepada sifat-sifat rububiyah Allah, dan laksanakanlah dengan
sungguh-sungguh sifat-sifat ubudiyahmu kepada-Nya “.
Sahabat sahabatku,^_^
Hati manusia selalu dalam proses ujian, apakah dapat melakukan tajrid ,
sehingga bersih daripada nafsu, keinginan dan goresan-goresan dunia,
mereka yang dapat melakukan “ tajrid” inilah yang disebutkan oleh Al
Quran bahwa : “ Mereka itu adalah orang-orang yang telah diuji hati
mereka oleh Allah untuk bertaqwa ‘ ( Al-Qur'an :Surah: al hujurat : 3 ).
Semoga hati kita tetap tajrid dan tafrid kepada Allah dengan tetap
melaksanakan ikhtiar dengan penuh kesungguhan dengan tujuan mendapatkan
keridhaan Allah Subhannahu wa Ta'ala. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar