Rabu, 03 April 2013

T A J R I D ( Kesungguhan ) ^_^

( Bagi yang tidak suka abaikan saja,diam lbh baik dlm menjaga hati daripd prasangka dan perkataan lisan maupun tulisan hal yg buruk, tdk perduli jika diterima maupun ditentang,segala hal kebajikan yg disampaikan semata". Karena Allah Ta'ala utk kebajikan sesama).^^

Tajrid secara bahasa adalah mengosongkan sesuatu daripada yang lain. Maksud tajrid (kesungguhan) adalah bahwa jika kita sedang menghadap Allah, maka penuhkanlah perhatian hanya kepada Allah dan kosongkan perhatian daripada yang lain. Demikianlah juga jika engkau mengerjakan sesuatu maka penuhkanlah perhatian kepada pebuatan tersebut dengan niat kepada Allah dan kosongkan daripada yang lain. Kosongkan daripada yang lain dan hanya menghadapkan diri kepada Allah itulah yang dimaksudkan dalam kalimat : “ iyyaka na’budu wa iyyaka nastain “ dalam surah al fatihah.. Dalam ayat ini dipakai kalimat “Iyaaka” bukan “Ilaika”. Iyyaka artinya adalah hanya kepadaMu Ya Allah, dan tidak kepada yang lain sedikitpun sedang ilaika “ kepadaMu “; berarti dalam kalimat ‘iyyaka “ tersembunyi makna “tajrid” dan “tafrid”. ^^

Tajrid mengosongkan diri daripada segala sesuatu sedangkan tafrid hanya menuju kepada Allah Yang Esa, sebab kalimat tafrid berasal dari “fardun “, yang bermakna tunggal, satu, tidak ada yang lain. Ulama menyatakan “ tajrid “ dalam ibadah sedangkan “tafrid “ dalam ubudiyah. “Tajrid” dari hamba kepada Allah sedangkan tafrid terdapat pada Dzat Allah.
Ada kumpulan yang mengatakan bahwa tajrid adalah mengosongkan dunia dari kehidupan sehingga kehidupan hanya untuk beribadah kepada allah, padahal tajrid dalam amal ibadah tidak dapat dilakukan dengan meninggalkan amal shaleh, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Athaillah dalam kitab al Hikam : “ Keinginan anda untuk tajrid padahal Allah menempatkan anda pada asbab, maka hal itu termasuk syahwat yang tersembunyi. Sebaliknya jika melakukan “asbab” padahal Allah menempatkan anda pada kedudukan tajrid, maka hal itu berarti kemerosotan daripada himmah yang luhur “. Said Hawa menjelaskan bahwa tajrid disini maksudnya adalah meninggalkan pekerjaan duniawi, sehingga seakan-akan maksud Ibnu Athaillah adalah : “ Jika anda ditempatkan Allah pada kedudukan untuk melakukan ikhtiar dengan sebab-sebab sedangkan hatimu menginginkan tajrid, maka itu berarti akibat pengaruh syahwat yang tersembunyi “.
Disini Imam Athaillah menyatakan bahwa “tajrid” tidak berarti menghilangkan “asbab”. Sikap “Tajrid” adalah sikap hati yakin hanya Allah menentukan segala sesuatu tetapi keyakinan tersebut tidak boleh mengurangi amal terhadap sebab-sebab dalam berikhtiar. Tetapi dalam beramal, dalam melakukan sebab, maka hati tidak boleh pula tergantung kepada perbuatan tersebut, tetapi selayaknya hati hanya tetap bergantung kepada Allah Azza wa Jalla.

Ibnu Athaillah berkata : Daripada sebagian tanda ketergantungan kepada amal perbuatan adalah kurangnya harapan ketika terjadi suatu kesalahan “. Setiap muslim diwajibkan untuk beramal, berbuat sesuatu ikhtiar, tetapi diwaktu yang sama dia juga diwajibkan untuk tidak bersandar kepada amal perbuatannya tersebut, tetapi bersandar kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala, hal ini dimaksudkan agar dalam melakukan amal, tujuannya adalah mencari keridhaan Allah Ta'ala, bukan natijah daripada amal perbuatan tersebut.^_^

Sahabat sahabatku,^_^
Tanda" Allah menempatkan seseorang dalam “asbab” ialah dengan berjalan terus menerus dan nampak buahnya(hasilnya), maksudnya begini :
ketika sibuk dengan ikhtiar maka ikhtiar itu tidak menganggu agamanya, tidak membuatnya tamak kepada milik orang lain, tetap dalam niat yang baik, selalu menjalin hubungan silaturahmi dengan yang lain, dan menolong orang yang lain sehingga amal perbuatannya dapat memberikan manfaat kepada dirinya, hidupnya, manusia yang lain, alam sekitarnya, dan kehidupannya di akhirat kelak. ^_^

Sedangkan jika Allah Subhannahu wa Ta'ala memberikan kepadanya “tajrid”, maka hatinya tetap kepada Allah walau dalam keadaan dan kesibukan melakukan asbab, dan mendapatkan ketenangan jiwa dalam beramal, kebersihan hati, dan hanya tergantung kepada Allah, tidak terpengaruh kepada natijah, tetapi tujuan melakukan asbab hanya mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla “
.
Sahabat sahabatku yg insya Allah dlm ridha Allah Ta'ala sll^_^
Ketahuilah,bahwa Syetan selalu menggoda manusia dalam tajrid dan ikhtiar. Jika manusia sedang berikhtiar, maka dia mengoda dengan mengatakan bahwa keadaanmu ini adalah hina sebab engkau meninggalkan ibadah kepada Allah, maka sebaiknya engkau tinggalkan ikhtiar dan bergantunglah kepada Allah tanpa berikhtiar. Syetan berkata : “ Andai engkau meninggalkan ikhtiar, dan kamu tajrid beribadah kepada Allah, maka nanti hatimu akan bersinar dan mendapat kedudukan yang tinggi disisi Allah sebagaimana si fulan dan si fulan “. Akhirnya orang tadi akan meninggalkan ikhtiar, padahal Allah mewajibkannya berikhtiar.^^

Demikian juga syetan akan menggoda orang yang sedang khusyu’ beribadah kepada Allah (tajrid), dan berkata “ mengapa engkau sibuk dengan ibadah kepada Allah, padahal dunia itu diberikan kepadamu, maka sebab engkau meninggalkan ikhtiar, maka lihat orang lain telah menjadi kaya, mendapat dunia maka segera tinggalkan ibadahmu dan berikhtiarlah , dan carilah dunia “.
Sahabat, Tujuan syetan adalah agar manusia yang sedang melakukan ibadah atau yang sedang melakukan ikhtiar terengaruh dan tergelincir,bimbang, antara ibadah dan ikhtiar, padahal ikhtiar dilakukan dengan niat ibadah dan keyakinan kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala merupakan cara untuk mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala, tetapi sebab terputusnya ibadah disebabkan ikhtiar atau terputusnya ikhtiar disebabkan ibadah menjadi penyebab tidak mendapat ridha Allah Subhannahu wa Ta'ala.

Ketahuilah sahabat sahabatku,bahwa Ikhitar dan ibadah, tidak dapat dipisahkan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Atahillah : “ Amal-amal itu adalah badan yang berdiri, sedangkan rohnya adalah ketergantungan hati dan keikhlasan kepada Alah Subhannahu wa Ta'ala “
.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa :
“ Sesungguhnya Allah sangat suka kepada seorang hamba jika dia melakukan suatu perbuatan maka dia melakukannya dengan penuh kesungguhan “. ( riwayat Abu Ya’li dan al askari )
“ Andaikata kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal maka Dia akan memberikan kepadamu rezeki sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, di pagi hari burung itu keluar dari sarangnya mencari makan, dan di petang hari dia kembali ke sarangnya dalam keadaan perut yang kenyang “ ( riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).

Sahabat,Hadits ini menjelaskan bahwa tawakkal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala tidak menafikan ikhtiar, sebab Allah memberikan rezeki kepada burung sesudah burung itu terbang mencari rezeki, bukan menunggu di dalam sangkar. Tetapi dalam berikhtiar maka hati tetap bergantung dan bertawakkal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala.

Tajrid menghajatkan kepada “uzlah” dan inqitha’. Uzlah ( menyendiri ) bukanlah semata-mata menyendiri di salah satu sudut masjid atau bilik, tetapi suasana hati yang tetap ingat Allah dari satu waktu kepada waktu yang lain dlm setiap saat, tidak terpengaruh dengan segala godaan dan suasana dalam beramal dan berikhtiar. Sedangkan “inqitha’, adalah mengumpulkan segala potensi , semangat dan waktu untuk melakukan ikhtiar, dengan hati tetap bergantung kepada Allah, sehingga kata Ibnu Ataillah : “ Adalah kebodohan orang yang meninggalkan apa yang suidah dimilikinya karena hendak mencari sesuatu yang baru, padahal Allah telah memilih baginya pada waktu itu “.
Dalam uzlah Ibnu Ataillah juga berkata :
“ Tidak ada sesuatu yang bermanfaat untuk hati sebagaimana uzlah, sebab lewat pintu uzlah hati dapat memasuki medan fikir “.
“ Bagaimana mungkin hati akan bersinar, sementara gambaran dunia terlukis di cerminnya “.
“ Bagaimana mungkin seseorang itu menuju Allah, padahal hatinya terpasung oleh syahwatnya “.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
“ Fitnah-fitnah itu dilekatkan di hati bagaikan tikar,sehelai demi sehelai. Maka hati yang dapat dimasukinya tertitik satu noda hitam padanya. Adapun hati yang mengingkarinya maka terteteslah padanya titik putih. Sehingga hati ada dua macam : hati yang putih laksana batu karang yang tak dapat digoyang oleh fitnah selama ada langit dan bumi; dan hati yang hitam laksana periuk yang terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran, hatinya penuh dengan hawa nafsu yang telah masuk ke dalamnya “ ( riwayat Muslim ).

“Tajrid” dan asbab adalah bergantung kepada rububiyah dan melaksanakan ubudiyah dalam setiap kehidupan, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dan pada waktu yang sama kita meyakini “tafrid” yaitu meyakini hanya Allah bermula segala sesuatu dan hanya kepadanya berakhir, sebaagimana dikatakan oleh Ibnu Atailah : “Bergantunglah kamu kepada sifat-sifat rububiyah Allah, dan laksanakanlah dengan sungguh-sungguh sifat-sifat ubudiyahmu kepada-Nya “.

Sahabat sahabatku,^_^
Hati manusia selalu dalam proses ujian, apakah dapat melakukan tajrid , sehingga bersih daripada nafsu, keinginan dan goresan-goresan dunia, mereka yang dapat melakukan “ tajrid” inilah yang disebutkan oleh Al Quran bahwa : “ Mereka itu adalah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa ‘ ( Al-Qur'an :Surah: al hujurat : 3 ).

Semoga hati kita tetap tajrid dan tafrid kepada Allah dengan tetap melaksanakan ikhtiar dengan penuh kesungguhan dengan tujuan mendapatkan keridhaan Allah Subhannahu wa Ta'ala. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar