Sabtu, 17 Maret 2012

TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH DI BANTEN ABAD 19

Perwujudan Islam, meskipun berangkat dari sistem nilai yang berasal dari wahyu, menampakkan variasi dan keberagaman. Hal itu muncul sebagai bagian langsung dari interaksi Islam dengan struktur dan pola kultur masyarakat. Pada satu sisi, Islam sebagai doktrin dan pedoman harus memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang timbul, sehingga masyarakat menemukan Islam sebagai pedoman yang ideal dan terbaik. Namun demikian, pada sisi lain, Islam harus menerima masukan dan pengaruh-pengaruh tertentu yang diakibatkan oleh pola pandangan dan penafsiran yang ada pada pemeluk Islam. Interaksi Islam dan pola kultur masyarakat yang demikian menghasilkan sebuah ketegangan yang pada gilirannya mempengaruhi corak perwujudan Islam itu sendiri.[1]
            Karena struktur dan pola kultur masyarakat beragam, maka interaksi Islam menghasilkan variasi tampilan Islam, keberagaman perwujudan Islam telah menghasilkan fitnah di kalangan umat Islam baik dalam bentuk konflik maupun pertempuran sesama umat Islam. Mengenai pembentukan faksi-faksi dalam Islam mendapatkan momentumnya ketika masing-masing membuat dan menawarkan konsep pemahaman dan penafsiran serta merumuskan karakteristik gerakannya.
            Dalam prakteknya masing-masing faksi atau mazhab, di samping mempunyai konsep dasar, ideologi dan karakteristik gerakannya. Sebagai bagian dari bentangan altar pembentukan dan perkembangan faksi-faksi dalam Islam, tasawuf mewakili sebuah kecenderungan sebagian umat Islam untuk menjalani dan memiliki kualitas keberagaman yang menekankan komunikasi langsung dengan Allah. Ia meliputi sebuah pengalaman spiritual yang memperioritaskan esensi keberagaman yang berpandu pada ranah emosi dan instuisi. Kehadiran tasawuf sebagai mazhab merupakan reaksi terhadap kuatnya tendensi rasionalisasi dalam Islam, utamanya dalam wilayah hukum dan teologi dengan menawarkan tendensi baru pada kebebasan dan peningkatan kualitas spiritual.
            Perkembangan awal tasawuf dilandasi dengan ekspresi natural dari respon individual muslim terhadap agamanya yang terkait dalam konfigurasi kolektif. Proses natural tersebut tercermin dari kebebasan seseorang untuk menggeluti agamanya dengan mengutamakan pemahaman kontempalatif, kontak dengan Tuhan dan ciptaan-ciptaan-Nya, keteraturan pelaksanaan ibadah dan akhlak mulia dan penguatan moralitas masyarakat. Pesan-pesan dasar al-Qur’an tentang kesalehan diwujudkan dalam bentuk dzikir, zuhud dan kecintaan total kepada Allah[2]. Tasawuf, dengan demikian, menawarkan model baru yang menekankan aspek batin dari ajaran Islam yang diwujudkan dalam pola-pola keterikatan batin dengan Tuhan dan perwujudan moralitas perilaku yang muncul dari padanya. Hal yang demikian, berbeda dengan model yang sudah ada yang menekankan aspek lahir dalam struktur hukum (fiqh).
            Proses pendalaman dasar-dasar substantif ajaran Islam sebagai tersebut dengan dipercaya sebagai masukan dari variasi budaya yang ada di wilayah teritori Islam membentuk sistem tasawuf. Sistem tasawuf pada awalnya tidak menekankan pada “philosophical system”, melainkan “the way of purification” (jalan penyucian diri). Ajaran dan praktek kesufian dengan sistem tertentu pada kenyataannya berkembang ke pelosok dunia Islam. Pada tahap inilah pola hubungan jalan penyucian mengeras dalam bentuk relasi guru murid. pertama menjadi sumber reformasi baik pandangan maupun praktek, sedangkan pihak kedua menjadi pengikat.[3] Jaringan mursyid-murid pada gilirannya membentuk konsentrasi di tempat-tempat dan cara-cara tertentu pula. Di sinilah fondasi dasar pembentukan tarekat.[4] Khanaqah dan Ribath[5] berkembang di mana-mana. Setiap tokoh memiliki khanaqah masing-masing.

Pada sisi lain, dengan pertumbuhan komunitas sufi yang berkumpul di sekitar masternya, sikap para ulama hukum (fiqh) mengalami perubahan mendasar. Kalau semula model sufisme dianggap sebagai gerakan yang menyimpang dan bertentangan dengan kebenaran Islam, berbagai kejadian konflik juga menghiasi kontak antara sufisme dan legalisme, pandangan dan sikap ulama berangsur-angsur berubah dan dapat menerima kehadiran komunitas tasawuf sebagai bagian dari kekayaan khazanah Islam. Al-Ghazali sangat berjasa dalam meletakkan kompromi dan jalan tengah pertemuan antara dua kutub yang saling bertentangan.[6] Pada sisi lain, kehadiran komunitas sufi semakin memberikan arti dan mendapatkan sambutan dari masyarakat karena mereka merasa mendapatkan kedamaian jiwa ditengah persoalan politik yang mengganggu peri kehidupan mereka.[7]
            Perkembangan tarekat semakin pesat memasuki abad 12 dan 13 M, tarekat menjadi institusi yang prestisius dan signifikan dalam peta perkembangan dan sejarah Islam. perkataan tarekat lebih sering dikaitkan dengan suatu organisasi tarekat, yaitu suatu kelompok organisasi yang melakukan amalan-amalan dzikir tertentu dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya telah ditentukan oleh pemimpin organisasi tersebut.[8] Ada beberapa tarekat berdiri dan mengembangkan sayapnya ke-berbagai daerah, perkembangan tarekat itu antara lain diwakili oleh Abu Al-Najib Al-Suhrawardi, yang darinya nama tarekat Suhrawardiyah diambil. Al-Qadir al-Jilani; yang ajarannya menjadi dasar tarekat Qadiriyah; Najmuddin Al-Kubra, seorang tokoh sufi Asia Tengah yang produktif, pendiri tarekat Kubrawiyah dan sangat berpengaruh terhadap tarekat Naqsyabandiyah pada masa belakangan; Naqsyabandiyah sudah menjadi tarekat yang khas pada masa sufi yang memberi namanya, Baha’uddin Naqsyaban; anumerta pendiri tarekat Syattariyah, Abdullah Al-Syattar; dan tarekat Rifaiyah yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i.[9]
            Perkembangan tarekat di Indonesia terus berlangsung sampai abad ke-19 sekalipun pemerintah Kolonial melakukan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas para pengamal tarekat. Salah satu yang muncul di Indonesia pada abad ke-19 ialah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
             Penyebaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang menekankan segi-segi batiniyah dari agama ini telah memainkan peranan yang amat penting dalam sejarah islamisasi. Dan yang sangat penting adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia.[10] Tarekat ini merupakan perpaduan dari dua buah tarekat besar yang berkembang di Nusantara, yaitu tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsyabandiyah. Suatu hal yang biasa dalam sejarah sufisme bahwa beberapa ulama mempraktekkan ajaran-ajarannya dari dua atau lebih tarekat yang berbeda. Demikian pula di Indonesia, tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah  tidak hanya sebuah kombinasi antara dua tarekat yang berbeda yang dipraktekkan secara bersama-sama, tetapi agaknya ia sendiri merupakan sebuah tarekat sufi baru.[11]
Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efesien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan perkataan para ulama arifin dari kalangan Salafus Shalihin
Di Indonesia, diyakini bahwa Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah pertama kali diajarkan oleh Syeikh Ahmad Khatib Ibn’ Abd Al-Ghaffar dari Sambas Kalimantan Barat yang bermukim dan mengajar di Mekkah pertengahan abad 19 dan wafat di sana pada tahun 1878.[12] Berbeda dengan guru-guru tarekat yang lain, yang mngajarkan berbagai tarekat di samping Qadiriyah, Syeikh Ahmad Khatib tidak mengajarkan kedua tarekat ini secara terpisah, tetapi sebagai suatu kesatuan yang harus diamalkan secara utuh. Syeikh Ahmad Khatib Sambas terkenal sebagai pemimpin sebuah tarekat sufi dan merupakan pakar dalam sufisme, tetapi di samping itu ia adalah seorang cendikiawan Islam yang menguasai berbagai lapangan pengetahuan Islam seperti Al-Qur’an, Hadist (tradisi Nabi), dan Fiqh (hukum Islam), dan menyalurkan pengetahuannya kepada banyak pelajar di Mekkah.[13] Dia memperoleh pengetahuan yang luas setelah belajar secara tekun sebagaimana diketahui bahwa setidaknya dia memiliki sembilan guru kenamaan di Mekkah yang menguasai bermacam-macam cabang pengetahuan Islam.[14]
Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil (guru sufi paling sempurna) Syeikh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu, bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di kota suci Mekkah dan Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat bai’at[15] dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah dan mengajarkan kepada murid-muridnya khususnya yang berasal dari Indonesia.
Penggabungan kedua tarekat (Qadiriyah-Naqsyabandiyah) memiliki inti ajaran yang saling melengkapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari’at dan menentang faham wihdatul wujud.[16] Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efesien. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).
Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Tarekat Naqsybandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah saja, sampai sekarang belum ditemukan secara pasti dari sanad mana ia menerima bai’at Tarekat Naqsyabandiyah.
Untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas atas masalah ini, maka penting untuk didaftarkan silsilah dari tarekat sufi ini sampai pada Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Allah dan Jibril disebutkan dalam silsilah ini; kemudian diikuti oleh:
Muhammad Saw
‘Ali Ibn Abi Talib
Husayn Ibn Ali Talib
Zayn al-‘Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far as-Sadiq
Musa al-Kazim
Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Musa ar-Rida
Ma’ruf al-Karkhi
Sari as-Saqati
Abu al-Qasim Junayd al-Bagdadi
Abu Bakar asy-Syibli
‘Abd al-Wahid at-Tamimi
Abu al-Faraj at-Tartusi
Abu al-Hasan ‘Ali al-Hakkari
Abu Sa’id Makhzumi
Abd al-Qadir al-Jilani
Abu al-‘Aziz
Muhammad al-Hattak
Syams ad-Din
Nur ad-Din
Waly ad-Din
Husam ad-Din
Yahya
Abu Bakr
Abu ar-Rahim
Usman
Abd al-Fattah
Muhammad Murad
Syams ad-Din
Ahmad Khatib Sambas.[17]
Sebagai seorang guru, Ahmad Khatib Sambas mengangkat khalifah. Seorang murid yang telah mencapai taraf tertentu, menurut ukuran normatif seorang Syeikh, mendapat kewenangan untuk bertindak menjadi Syeikh. Di antara khalifah Syeikh Sambas di Indonesia, ada tiga orang yang dipandang menonjol: Syeikh Abdul Karim dari Banten, Syeikh Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura, dan Syeikh Tolha dari Cirebon. Ketiganya dianggap sebagai orang yang paling berjasa dalam penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia, terutama di pulau Jawa dan Madura.
Di antara jasa para khalifah dalam penyebaran tarekat adalah perkembangannya yang mencapai beberapa negara tetangga, terutama Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam. Berjuta-juta pengikutnya tersebar di seluruh pelosok Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya.[18] Proses penyebarannya khas, sebagai gerakan spiritual, telah membentuk pola ideologi para ikhwan jamaah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam warna tersendiri. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menjadi salah satu aliran yang sangat terkenal di Indonesia. Ia dianggap tarekat terbesar dan terpopuler, terutama di pulau Jawa. Tarekat ini memang tidak dikenal di dunia Islam, selain di Indonesia. Di negara-negara Islam lainnya, hanya dikenal adanya Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah di samping ratusan tarekat lainnya.[19]
Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat penting, adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syeikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri, tetapi para pengikut kedua tarekat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap imperialisme Belanda, dan terus berjuang melalui gerakan sosial keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Secara historis, usaha penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia diperkirakan sejak paruh abad ke-19, yaitu sejak kembalinya murid-murid Syeikh Khatib al-Sambasi ke tanah air, setelah bermukim selama bertahun-tahun di Mekkah. Di Kalimantan, misalnya, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah disebarkan oleh dua orang ulama, Syeikh Nuruddin dan Syeikh Muhammad Sa’ad. Karena penyebarannya tidak melalui lembaga pendidikan formal (seperti pesantren atau lembaga-lembaga formal lainnya), sebagian besar pengikutnya datang dari kalangan tertentu. Berbeda dengan Kalimantan, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa disebarkan melalui pondok-pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin langsung oleh ulama tarekat. Oleh karena itu, kemajuan yang sangat pesat hingga kini merupakan tarekat yang paling besar dan paling berpengaruh di Indonesia.[20]
Pada tahun 1970, ada empat pondok pesantren yang penting sebagai pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di pulau Jawa yaitu: Pondok pesantren Mranggen di Semarang, di bawah bimbingan Syeikh Muslih. Pondok pesantren Rejoso di Jombang, di bawah bimbingan Syeikh Romli Tamim, di Rejoso mewakili garis aliran Ahmad Hasbullah. Pesantren Pagentongan di Bogor, di bawah bimbingan Syeikh Thohir Falak, dan Pondok pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, di bawah bimbingan Syeikh Ahmad Sahih al-Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), di Suryalaya dan yang lainnya mewakili garis aliran Syeikh Abdul-Karim Banten dan penggantinya.[21]
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tersebut juga berkembang di daerah Banten. Keberadaan tarekat tersebut di daerah Banten dibawa oleh K.H. Abdul Karim pada pertengahan abad ke-19. Pengaruh dan kharisma yang dimilikinya, memungkinkan tarekat ini memiliki pengikut yang sangat besar, terutama sekali di Banten.  
Aliran Qadiriyah diperkirakan memasuki Banten pada abad ke-16 Masehi yang diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri. Akan tetapi ketika itu belum mencapai momentum yang vital. Pada perkembangan selanjutnya, aliran Qadiriyah dengan jelas menandakan suatu kebangkitan Islam dalam arti yang sesungguhnya.[22]  Banten telah mengadakan kontak dengan Mekkah sejak pertengahan abad ke-19, dengan jalan mengirimkan berulangkali misi-misi untuk mencari informasi mengenai soal-soal keagamaan. Banten terkenal sebagai sebuah pusat Islam ortodoks, pengetahuan tentang agama dan cara hidup yang sesuai dengan ketentuan agama sangat dihargai.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang berkembang di Banten pada abad ke-19, dapat dipandang sebagai kelompok yang melibatkan komitmen total baik pemimpin dan anggota-anggotanya. Karena kedudukan dan kewibawaannya, maka para kyai tampil sebagai pimpinan yang kharismatik sehingga anggota-anggota tarekat yang tergabung di dalamnya sangat menghormati dan patuh terhadap gurunya.
Perkembangan ajaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten, yang sebagian besar para pengikutnya adalah petani, dapat dikategorikan menempuh tahap thaqah (pusat pertemuan sufi). Dalam tahap tersebut, Syeikh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak ketat.[23] Para petani yang mengikuti ajaran tarekat, pada umumnya tetap bekerja sebagaimana biasa, namun ada waktu tertentu bagi mereka untuk berkumpul bersama dalam mengikuti ajaran tarekat yang diajarkan oleh kyai.
Sebagaimana di ketahui dalam sistem kehidupan masyarakat tradisional, unsur mitos dan kepercayaan kepada kekuatan supernatural, kekeramatan masih kuat di anut. Karena itu kewibawaan seorang kyai, tokoh kharismatik bagi masyarakat Islam tradisional, tidak bisa dipisahkan dari unsur kekeramatan. Di samping itu, sebagai pemimpin keagamaan masyarakat tradisional, kyai menjadi tokoh sentral kepatuhan, panutan masyarakat dalam mekanisme kehidupan sosial, budaya bahkan tidak jarang ia memainkan peranannya sebagai tokoh politik
Di Banten Syeikh Abdul Karim memiliki seorang khalifah yang bernama kyai Asnawi dari Caringin, yang kharismanya telah dimanfaatkan oleh para pemberontak komunis di Banten pada tahun 1926.[24] Dan dilanjutkan oleh putranya, kyai Kazhim, yang mengajarkan tarekat ini di Menes (Labuan). Pengajaran tarekat ini sekarang dilaksanakan oleh putra kyai Kazhim yang bernama Ahmad. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah juga masih berkembang di Cibeber (Cilegon) yang pada waktu lalu diajarkan oleh Abd Al-Lathif bin Ali, sedang mursyidnya sekarang ialah kyai Muhaimi yang menerima ijazah melalui kyai Asnawi. Hingga akhir tahun 1988 kemenakan kyai Asnawi yang bernama kyai Armin masih menjadi khalifah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terkenal di Cibuntu (Pandeglang). Meskipun pertama kali mempelajari tarekat dari pamannya, kyai Armin mengaku telah belajar dari beberapa ulama di Mekkah dan Baghdad.

Ajaran dan Ritual Tarekat

Tarekat adalah salah satu unsur dari ajaran-ajaran Islam, yang menekankan pada segi batiniah. Ajaran Islam biasa dikategorikan secara umum menjadi aspek keimanan, keislaman, dan aspek ihsan atau akhlak. Adapun ajaran Islam yang menekankan pada aspek ibadah atau hubungan manusia dengan tuhannya, biasa juga diklasifikasikan dalam tingkatan: syari’at, tarekat, dan hakekat.[25] Dalam hal ini, tarekat sama maksudnya dengan syari’at, yakni suatu jalan atau cara untuk mencapai hakekat tuhan. Namun antara keduanya berbeda di dalam orientasi untuk menuju Tuhan,  dalam hal ini tarekat mengarahkan pada dimensi lahir.
Sebagaimana fungsi ajaran tarekat pada umumnya, zikir dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan teknik dasar dalam ritual para penganutnya atau latihan-latihan spiritual untuk mencapai tujuan “mengingat Allah” (zikrullah). Menurut Martin, praktek zikir semacam itu pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kesadaran kepada tuhan secara langsung dan permanen, tetapi sama-sekali bukan untuk mencapai penyadaran diri atau peniadaan diri.[26]
Sehubungan dengan ajaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah itu sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas di dalam kitab Fath al-Arifin,[27] bahwa ada tiga ritual dasar dalam tarekat sufi ini. Yang pertama adalah membaca istigfar, yakni astagfir Allah al-Gafur ar-Rahim, dua puluh sampai dua puluh lima kali, kemudian diikuti pembacaan salawat, yaitu Allahumma salli’ala sayyidina Muhammad wa’ala alih wa sahbih wa sallim, dengan jumlah yang sama dengan istigfar. Yang ketiga adalah melakukan zikir dengan membaca la ilah ilaha Allah (tiada tuhan selain Allah), sebanyak 165 kali, setelah menunaikan shalat wajib lima waktu setiap hari.[28]  
Fat al-Arifin juga memberikan pengajaran untuk metode pembacaan “la Ilaha illa Allah”. Penyelenggaraan zikir harus diawali dengan melafalkan kata “la” sembari secara serempak membayangkan bahwa kata itu diambil dari bawah pusar ke-ubun-ubun kepala, dengan isyarat tarikan kepala ke kanan. Lalu dilanjutkan dengan menarik kalimat “ilaha”  ke bahu kanan, dan akhirnya dengan menggerakkan kepala ke kiri sambil menarik kalimat illallah disertai dengan hentakan yang seolah-olah ditusukkan ke jantung di dada kiri bawah. Zikir ini harus dilaksanakan dengan konsentrasi pikiran penuh. Sementara rumusan la maqsud illa Allah (tiada hasrat kecuali Allah) dibaca sembari menjaga pikiran maknanya. Kemudian terdapat tahap dimana seorang ahli membayangkan rupa syekh yang membantunya dalam tawajjuh (meditasi atau penyatuan ekstatik), yang berarti pengarahan hati terhadap tuhan, pada saat yang sama memohon rahmat dan petunjuk-Nya. Jika syekh benar-benar hadir di hadapannya selama beberapa detik, jika syekh tidak hadir, dia harus membayangkan rupa syekh dalam mata batinnya dan mencari bimbingan spiritualnya. Kemudian disebutkan bahwa zikir ini dikenal dengan zikr nafi isbat (zikir penyangkalan penegasan), dan dipraktekkan secara jahr (suara keras) dan sirr (dalam hati).[29] dan mengucapkan terima kasih kepadanya dalam hati, seraya membayangkan bagaimana karunia Allah dilimpahkan melalui Nabi dan Syeikh kepadanya.
Setelah menyelesaikan zikir menurut jumlah yang ditentukan, kemudian membaca “sayyidina Muhammad Rasul Allah salla Allah alayh wa Sallam” (penghulu kita Muhammad adalah Rasulullah, yang Allah berkati dan beri keselamatan). Kemudian membaca salawat, yaitu, “Allahumma salli ala sayyidina Muhammad salatan tunjina biha min jami’ al-ahwal wa al-afat” (Ya Allah berkatilah penghulu kami Muhammad yang dengan beliau engkau menyelamatkan kami dari segala bencana dan kehancuran), ritual ini diakhiri dengan membaca Surat al-Fatihah.[30]
Martin menunjukkan bahwa ritual dasar ini betul-betul dipengaruhi oleh tarekat Qadiriyah, terutama berkenaan dengan gerakan-gerakan tubuh ketika melakukan zikir. Pengaruh tarekat Naqsyabandiyah atas ritual ini juga substansial. Pengaruh pertamanya adalah atas konsentrasi tentang lata’if, yakni organ-organ fisik dengan mana manusia dilengakapi demi pelaksanaan zikir. Martin berpendapat bahwa lata’if yang digunakan Syeikh Ahmad Khatib Sambas dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, tidak dikenal dalam tarekat Qadiriyah, bahwa istilah tersebut dipinjam dari tarekat Naqsyabandiyah.
Fat al-‘Arifin menggambarkan sepuluh lata’if. Lima di antaranya adalah qalb (hati), ruh (ruh), sirr (batin), khafi (rahasia) dan akhfa’ (paling rahasia) dan yang dikenal sebagai alam al-amr (Alam perintah). Lima lata’if yang lain adalah nafs (kelembutan jiwa) dan empat unsur: air. Udara, tanah, dan api. Ini disebut alam al-khalq (Alam ciptaan).[31]
Di bawah ini adalah terjemahan dari Fat al-Arifin tentang lata’if yang dikutip oleh Al-Attas:
. . .kelembutan hati (latifah al-qalb) ada di bawah dada kiri, dua jari ke kiri, dan warnanya adalah kuning, dan ia adalah tempat kewenangan penghulu Adam, asalnya adalah air, udara, dan tanah. Kelembutan ruh (latifah al-ruh) terdapat di bawah dada kanan, dua jari ke kanan, warnanya adalah merah, dan ia merupakan tempat kewenangan penghulu kita Ibrahim dan Nuh, dan asalnya adalah api. Kelembutan batin (latifah as-sirr) terletak berlawanan dengan dada kiri, dua jari kearah dada, warnanya adalah putih, ia adalah tempat Musa dan asalnya adalah air. Kelembutan rahasia (latifah al-khafi) berlawanan dengan dada kanan, dua jari kearah dada, warnanya adalah hijau, tempat nabi Isa, dan asalnya udara. Kelembutan paling rahasia (latifah alakhfa)terletak ditengah dada, warnanya hitam, ia adalah tempat nabi Muhammad, dan asalnya adalah tanah. Kelembutan jiwa (otak) latifah an-nafs an-natiqah terletak di dahi dan seluruh kepala. [32]
 
Syeikh Ahmad Khatib Sambas mengajarkan zikir jahr (zikir yang diucapkan) dan zikir sirr atau khafi (zikir diam). Praktek zikir diam ini jelas adalah pengaruh lain dari tarekat Naqsyabandiyah, oleh karena tarekat Qadiriyah hanya mengajarkan zikir keras. Pengaruh kuat lainnya dari tarekat Naqsyabandiyah adalah tawajjuh atau rabitah Syeikh sebelum atau selama zikir. Muraqabah atau kedekatan spiritual, yang dijelaskan dalam Fat al-Arifin, adalah pengaruh lain dari tarekat Naqsyabandiyah. 
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pengaruh yang sangat nyata dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terlihat pada daftar silsilah dalam Fath al-Arifin, karena hanya silsilah tarekat Qadiriyah yang didaftar. Silsilah tarekat Naqsyabandiyah tidak disebutkan. Pengaruh lainnya dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, terutama dalam manaqiban.[33] biografi Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani selalu dibacakan, sedangkan biografi Syeikh Baha ad-Din an-Naqsyabandi tidak pernah dibacakan. Tampaknya, ini menjadi indikasi kuat bahwa tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah secara mendasar merupakan tarekat Qadiriyah digabungkan dengan praktek-praktek tertentu dari tarekat Naqsyabandiyah.


[1]  Lihat hasil laporan, M. Nafis, Peranan Tarekat Dalam Dinamika Dakwah Pada Abad Pertengahan Islam, hlm. 13-14.
[2] Lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo  Persada, 1996), hlm. 29.
[3] M. Fudoli Zaini,  “Asal-usul Tarekat dan Penyebarannya di Dunia Islam,   dalam Akademika, Vol. 03 /07 /1998, hlm. 3-5
[4]Adapun yang mendorong lahirnya tarekat menurut Barmawie Umarie ada tiga hal yaitu: Karena dalam diri manusia sebenarnya memang ada bakat mengarah kepada kehidupan rohani; Timbul sebagai reaksi zaman yang anarkhis, misalnya akibat revolusi, kesewenangan kedhaliman dan sebagainya, yang kemudian mereka memilih kepada mengasingkan diri dalam dunia tarekat. Atau sekaligus gerakan tarekat dijadikan pelopor atau pioner dalam menghadapi situasi itu; karena orang jemu terhadap kemewahan dan kemegahan dunia. Lihat Barmawie Umarie, “Sistematika Tasawuf”,(Sala: Ramadhani,1961,), hlm. 116-117. Lihat juga hasil penelitian Slamet Khilmi “Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Kedungparuk Banyumas”, Kajian Historis dan Sosiologis, hlm. 2-4.
[5] Hanaqah merupakan tempat pertemuan para anggota sufi dengan dipimpin oleh seorang administrator. Sedangkan ribaht itu merupakan pembinaan spiritual di bawah bimbingan seorang guru sebagai model bangunannya yang relatif besar. Istilah-istilah itu merupakan padepokan sufi atau tempat pembinaan kerohanian masyarakat dalam kontek dunia Islam. Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, hlm. 65.
[6] Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 3 (Jakarta:  Jambatani, 1993), hlm. 1209.
[7] M. Hasbi Amiruddin, “Tarekat: Sejarah Masuk dan Pengaruhnya Di Indonesia”, dalam Madaniya, No. 2. 2002, hlm. 15. 
[8] Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 135. 
[9] Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,; Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 188.
[10] Mahmud Suyuti, Politik Tarekat, hlm. 54.
[11] Zulkifli, Sufi Jawa: Relasi Tasawuf-Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. 37-36.
[12] Mahmud Sujuti, Politik Tarekat, hlm. 52.
[13] Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 17-18.
[14] Kesembilan guru tersebut adalah: Syekh Dawud Ibn Muhammad al-Fatani; Syekh Syam ad-Din; Syekh Muhammad Salih Ra’is; Syekh Umar Abd ar-Rasul; Syekh Abd al-Hafiz ‘Ajami; Syekh Basir al-Jabiri; Sayyaid Ahmad al-Marzuki; Sayyid Ahmad al-Marzuki; Sayyid Abd Allah al-Mirgani; dan Syekh ‘Usman ad-Dimyati. Lihat Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 38-39.
[15] Bai’at dalam terminologi sufi ialah janji setia yang biasanya diucapkan oleh seorang murid di hadapan mursyid untuk menjalankan segala persyaratan yang telah ditetapkan oleh seorang mursyid dan tidak akan melanggarnya sesuai dengan syarat Islam. Yang menjadi landasan normative ialah surat Al-Fath ayat 10. Bai’at dijadikan acara ritual resmi setelah seseorang menjadi anggota tarekat, yang selanjutnya dijadikan bentuk ikatan setia kepada mursyid dan ajaran-ajarannya. Lihat Bai’at dan Tawassul, www.yahoo.com, tanggal akses 20 Maret 2004.   
[16] Ajaran Wihdatul Wujud ini dicetuskan oleh Ibnul Araby (1165-1240), yang berpendapat bahwa alam ini hanya merupakan bayang-bayang dari realitas yang berada di baliknya. Ajaran ini merupakan pengembangan dari ajaran Al-Hallaj (wafat 921) yang memandang manusia sebagai manifestasi dari cinta tuhan yang azali kepada zatnya, Al-Hallaj ini dalam keadaan tak sadar atau fana, sering menyatakan dirinya Tuhan. Ana-Allah, Anal-Haq. Tim penulis, Ensiklopedi Islam, jilid II (Jakarta: Penerbit Jambatani, 1993), hlm. 339-340. 
[17] Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 42-43. Lihat juga dengan Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 90-91.
[18] Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam Spiritualitas Masyarakat Modern, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), hlm. 100.
[19] Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 14. Lihat juga Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 98. 
[20] Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam Spiritualitas Masyarakat Modern, hlm. 103.
[21] Lihat Ibid.
[22] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Dunia Islam, hlm. 265.
[23] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung, Mizan, 1996), hlm. 366.
[24] Mengenai pemberontakan ini, lihat William, Arit dan Bulan Sabit dalam Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, (Yogyakarta: Syarikat, 2003). Salah seorang pemimpin ulama dari pemberontakan ini, Ahmad Khatib, adalah menantu kyai Asnawi, ia tidak hanya membawa serta putra kyai Asnawi, Emed, memberontak, banyak pengikut-pengikut sang kyai  
[25] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik, hlm. 85.
[26] Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabanduyah di Indonesia, hlm. 79.
[27] Al-Attas berpendapat bahwa Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah pengarang Fath al-‘Arifin setebal dua belas halaman, yang merupakan risalah terpenting dan terpopuler mengenai praktik-praktik sufi dikalangan orang-orang Melayu. Lihat Zulkifli. Sufi Jawa, hlm. 43. Namun demikian, Van Bruinessen menyangkal bahwa buku ini ditulis oleh Syeikh Ahmad Khatib dan berpendapat bahwa penulisan buku ini dilakukan oleh muridnya. Bruinessen mengatakan bahwa Syeikh Ahmad Khatib sendiri tidak menulis satu pun buku, namun dua muridnya dengan setia mencatat ajaran-ajaran dalam sebuah risalah pendek berbahasa Melayu, yang secara eksplisit menjelaskan teknik-teknik dari tarekat sufi ini. Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 90.  
[28] Nawash Abdullah, Perkembangan Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1980), hlm. 187.
[29] Ibid. Pada Dadang Kahmad, Tarekat dalam Islam, hlm. 102. Martin Van Bruinessen, “Tarekar Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jailani di India. Kurdistan dan Indonesia”, dalam Ulumul Qur’an No. 2. 1989. Vol. II: hlm. 73.
[30] Martin, Ibid, hlm. 73. 
[31] Zulkifli, Sufi Jawa, hlm. 48.
[32] Ibid, hlm. 49. 
[33] Manaqiban adalah acara ritual khas tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yaitu peringatan mengenang wafatnya Syeikh Abd al-Qadir Jailani. Upacara tersebut diselenggarakan bulanan bertempat di rumah salah seorang ikhwan yang waktunya telah ditetapkan. Dalam upacara ini, ada zikir berjama’ah diikutu dengan bacaan Manaqib Abd al-Qadir, yaitu cerita klasik mengenai kehidupan dan keajaiban perilaku sang waliyullah.  Bandingkan dengan pengertian istilah itu dalam Ensiklopedia Islam Jilid III, 1994, hlm. 152 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar