Jumat, 15 Maret 2013

KAIDAH FIQH

A.    Pendahuluan
Pernahkah kita dihadapkan pada pertanyaan: “Apakah setelah mandi besar mesti wudlu lagi ketika hendak shalat?”, atau pertanyaan: “Berapa kalikah kewajiban mandi besar, bagi wanita yang telah melahirkan dan selesai menjalani masa nifas?”, untuk menjawabnya, minimal kita perlu membuka-buka referensi kitab yang sudah barang tentu akan menyita banyak waktu, belum lagi kalau ternyata kita tidak menemukan sedikit pun keterangan di dalamnya. Inilah salah satu bukti faktual sulitnya mencari jawaban bagi persoalan-persoalan fiqh, ketika seseorang tidak memiliki perbendaharaan kaidah-kaidah atau dlawâbith fiqh. Dan sebaliknya, bagi yang sudah mumpuni dalam memahami kaidah-kaidah tersebut, dengan mudahnya ia bisa menjawab persoalan-persoalan fiqh secara cermat.
Di samping itu, jika kita hanya mempelajari satuan hukum fiqh dalam kitab-kitab klasik konvensional tanpa disertai rumusan-rumusan kaidahnya, maka yang akan kita peroleh adalah keruwetan yang tak berujung pangkal. Sebab dinamika kehidupan manusia terus ber­kembang seiring pergantian waktu dan peralihan generasi, sementara rumusan-rumusan hukum tersebut dibuat oleh para ulama yang hidup ratusan abad yang lalu, yang mana konstruksi sosial dan masyarakatnya jauh berbeda dengan masa kini. Sebagai contoh ketika menelaah konsep kafa’ah dalam perkawinan, sepintah kita akan dipusingkan dengan kapan dan dalam kondisi seperti apa, kafa’ah itu dapat menjadi mawâni’ luzumiyah atau bahkan membatalkan keabsahan perkawinan tersebut, sementara di era modernitas sekarang ini, di mana sekat-sekat sosial sudah hampir luruh, penerapan konsep kafa’ah tersebut serasa malah kontra produktif dengan image Islam sebagai agama egaliter.
Demikian pula menurut Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani,[1] jika kita hanya belajar hukum-hukum yang sudah “jadi” dalam kitab-kitab fiqh konvensional, maka berapa waktu yang kita butuhkan? Berapa lama kita bisa bertahan? Berapa kitab yang harus kita hafal? Seberapa cerdas memori otak mampu mengolahnya? Walaupun kita telah mengeluarkan biaya bermiliar-miliar dan menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya, tapi kita masih bertahan dengan metode pembelajaran hukum secara parsial partikular tanpa disertai prinsip­-prinsip dasarnya, maka yang dapat kita kuasai hanya materi hukum yang kebetulan kita pelajari, sementara di luar itu tidak ada yang kita pahami.
Bahkan menurut Musthafa al-Zarqâ, “Seandainya kaidah fiqh tidak ada, maka hukum-hukum fiqh (juru’) akan tetap menjadi ceceran-ceceran hukum yang secara lahir (zhahir) saling bertentangan”.[2] Dus, antara satu hukum dengan hukum lainnya seringkali tampak ruwet dan kontradiktif, bak benang kusut yang teramat sulit untuk diurai.
Ya, Musthafa al-Zarqâ tidak bisa disangkal, sebab bila kita terus-menerus berkutat mempelajari hukum-hukum fiqh secara parsial (sepotong-sepotong), maka akan kita rasakan adanya kontradiksi antara satu hukum dengan hukum lainnya. Kita sering dibuat bingung saat mempelajari persoalan-persoalan hukum yang karakternya sama tapi ketentuan hukumnya berbeda. Tak heran bila al-Qarrafi dalam mukadimah bukunya al-Furûq menulis:
وَمَنْ جَعَلَ يُخْرِجُ الْفُرُوعَ بِالْمُنَاسَبَاتِ الْجُزْئِيَّةِ دُونَ الْقَوَاعِدِ الْكُلِّيَّةِ تَنَاقَضَتْ عَلَيْهِ الْفُرُوعُ وَاخْتَلَفَتْ وَتَزَلْزَلَتْ خَوَاطِرُهُ فِيهَا وَاضْطَرَبَتْ، وَضَاقَتْ نَفْسُهُ لِذَلِكَ وَقَنَطَتْ
“Barang siapa yang menganalisa furû’ fiqh dengan telaah parsial-partikular (juz’iyyah) tanpa menggunakan kaidah-kaidah universalnya, maka ia akan menemukan banyak perbedaan dan kontradiksi. Hatinya akan gundah­ gulana memikirkannya sampai ia menjadi putus asa. Dia harus menghafal beragam persoalan yang tak ada ujung pangkalnya, dan umurnya habis sebelum ia sempat memperoleh apa yang diharapkan, tidak akan pernah puas terhadap apa yang diinginkan, bahkan bisa jadi putus asa”.[3]
Ketika menurut al-Qarrafi, Syari`ah yang agung ini terdiri dari Ushûl dan Furû’, serta Ushûl itu sendiri terdiri dari Qawâ’id Ushûliyah dan Qawâ’id Fiqhiyah,[4] berarti salah satu solusi untuk mengurai “benang kusut” itu adalah dengan mengetahui substansi dan esensi hukum-hukum syariat. Jadi, selain kita harus mempelajari hukum-hukum yang instant (furû’ al-fiqh), kita juga dituntut untuk menguasai pangkal atau substansi hukumnya. Cara satu-satunya untuk mencapai hal itu tidak lain adalah dengan mempelajari kaidah-kaidah pokok, baik kaidah ushûliyah maupun fiqhiyah. Dengan mengetahui dua jenis kaidah ini, maka kontradiksi hukum yang biasa menghantui perasaan kita tidak akan kita dapati lagi. Sebab pada dua ranah metodologis itu,[5] nilai-nilai esensial syariat terurai dengan sangat lugas, logis, tuntas, dan rasional, sehingga sesuatu yang dulunya kita sangka sebagai pertentangan akan menjadi sirna tatkala kita menelisik konsepsi dua kaidah tersebut.
Persoalannya, untuk menguasai kaidah-kaidah ushûliyah secara paripurna sebagaimana para mujtahid masa lalu adalah sebuah harapan yang sulit digapai. Selain ketatnya syarat menjadi mujtahid, seperti keharusan mengetahui seluruh isi al-Quran dan asbâb al-nuzûl-nya, atau menghafal ratusan ribu hadits beserta asbâb al-wurûd-nya, juga penguasaan kaidah-kaidah ushûl oleh masyarakat non-Arab sering dihadapkan pada masalah kendala bahasa. Ketidakmahiran berbahasa Arab bagi orang non-Arab akan menyulitkan dia dalam menyelami kandungan al­Quran dan Hadits. Padahal problematika yang dihadapi masyarakat terus berkembang, sementara dalam al-Quran dan Hadits -yang notabene berbahasa Arab- jawabannya pun belum tentu pernah disinggung secara langsung (sharîh).
Kendala seperti di atas, tidak akan kita temui bila kita mem­pelajari kaidah-kaidah fiqhiyah (bukan Ushûliyah). Sebab dalam kaidah fiqhiyah tidak terdapat persyaratan seketat syarat-syarat dalam kaidah ushûliyah, di samping penguasaan bahasa Arab tidak menjadi patokan utama. Yang menjadi titik pijak dalam kaidah fiqhiyah adalah upaya pemahaman atas prinsip-prinsip dasar syariat dan rumusan-­rumusan hukum secara general. Selama upaya pemahaman itu terus kita perjuangkan, maka selama itu pula kita berkesempatan untuk menguasai kaidah-kaidah fiqhiyah hasil kreasi ijtihad para salaf al­-shâlih tersebut.
1.     Posisi Kaidah Fiqhiyah
Sebagaimana di singgung di atas, al-Qarrafi dalam mukadimah kitab al-Furûq memilah syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. dalam dua bagian, yakni ushûliyah (hukum dasar) dan furû’iyah (hukum cabang). Hukum­-hukum yang bersifat ushûliyah adalah sejenis prinsip-prinsip dasar atau kaidah-kaidah pokok atas bangunan hukum syariat. Sementara hukum-hukum yang bersifat furû’iyah merupakan “buah” yang dihasilkan dari penerapan prinsif-prinsif dasar tersebut, dan jumlahnya terus berkembang seiring pegeseran waktu dan peralihan generasi dengan beragam problematika yang dihadapi.
Hukum-hukum ushûliyah sendiri masih terpilah lagi dalam dua bagian; yakni kaidah ushûliyah (ushûl al-fiqh) dan kaidah fiqhiyyah (kaidah fiqh). Bagian pertama (ushûl al-fiqh) adalah disiplin ilmu model deduktif yang menekankan kajiannya pada unsur-unsur kebahasaan (linguistik-semantik) atas dalil-dalil nash (al-Quran/Hadits), seperti kajian tentang kata perintah (amar), larangan (nahy), kalimat umum (‘âm), khusus (khâsh), di samping juga memuat kajian seputar metode penggalian hukum (istinbath al-ahkâm), seperti metode analogi hukum (qiyas), ijmâ’, syarat-syarat mujtahid, dan lain sebagainya. Studi ushûl al-fiqh inilah yang kemudian melahirkan produk-produk hukum yang dinamakan dengan “fiqh” .
Bagian kedua (kaidah fiqh) adalah kajian induktif yang menekan­kan pada pembahasan kerangka-kerangka hukum yang bersifat umum, yang dirumuskan berdasarkan adanya dalil atau kesamaan ‘illai dan karakteristik persoalan. Dengan kata lain, kaidah fiqh merupakan sebuah rumusan umum dari beragam persoalan furû’iyah yang tak terhitung jumlahnya dan memiliki keserupaan ‘illah (ratio legis),  yang mana keserupa­an ‘illat itu bersesuaian dengan dalil nash dan prinsip-prinsip dasar syariat. Hukum-hukum hasil generalisasi itu kemudian dirumuskan dalam sebuah prinsip dasar yang berfungsi untuk menelaah kembali persoalan-­persoalan lain yang memiliki kesamaan ‘illah, Contohnya, Nabi saw. pernah bersabda:
ما اجتمع الحلال والحرام إلا غلب الحرام الحلال
“Tidaklah perkara halal dan haram berkumpul kecuali yang haram akan mengalahkan yang halal. “
Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa, apabila unsur haram dan halal berkumpul dalam satu persoalan, maka aspek haramnya pasti lebih dominan. Dari sini para ulama kemudian merumuskan keharam­an daging hewan sembelihan yang telah bercampur dengan daging bangkai, sebab di sini sudah terdapat percampuran (ijtima’) antara unsur halal dan unsur haram. Daging sembelihan yang pada mulanya adalah halal, akan menjadi haram gara-gara bercampur dengan daging bangkai yang notabene haram. Kesimpulan ini merupakan hasil ijtihad ulama saat menggali substansi hadits Nabi Saw., tersebut.
Hal yang sama berlaku pada anak binatang yang dilahirkan dari proses pembauran antara induk (jantan/betina) yang dagingnya halal dimakan, dengan induk lain yang dagingnya haram dimakan. Anak hasil pembauran itu dihukumi haram karena salah satu induknya adalah “binatang haram”. Sebab ia tercipta dari hasil percampuran antara sperma/ovum yang haram dengan yang halal. Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lain yang memiliki kemiripan karakter dengan dua contoh di atas, yang mana semua itu menghasilkan satu kesimpulan hukum, yaitu haram.
Dari beragam persoalan itulah para fuqaha kemudian merumus­kan sebuah kaidah:
إذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
“Bila perkara halal dan haram berkumpul, maka yang dimenangkan adalah yang haram.”
Kaidah ini merupakan rumusan general dari beragam persoalan tersebut di atas dan menjadi prinsip dasar penggalian hukum pada persoalan-persoalan serupa lainnya. Setiap kali terjadi percampuran antara unsur halal dan haram, maka hukumnya menjadi haram, sesuai substansi kaidah tersebut. Rumusan-rumusan hukum seperti inilah yang dinama­kan dengan istilah “Kaidah Fiqh” atau al-Qawâ’id al-Fiqhiyah”.
2.     Definisi Kaidah
Dalam etimologi Arab, kaidah dimaknai sebagai dasar, asas, pondasi, atau fundamen segala sesuatu. Bila dalam bahasa Arab terdapat kalimat” qawâ’id al-bayt”,[6] maka yang dimaksud adalah pondasi. Hal ini ter­cermin dalam firman Allah Swt.:
øŒÎ)ur ßìsùötƒ ÞO¿Ïdºtö/Î) y‰Ïã#uqs)ø9$# z`ÏB ÏMøt7ø9$# ã@ŠÏè»yJó™Î)ur ….. ÇÊËÐÈ  
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail…”
Term “al-qawâ’id” (jamak dari qâ’idah) yang berarti “dasar” atau “fundamen” dalam ayat ini, akhirnya dijadikan pijakan oleh para ahli bahasa untuk mendefenisikan arti “kaidah” secara etimologis (lughawiy).
Sedangkan bila ditinjau dari kacamata terminologis (ishthilâhiy), maka istilah “kaidah” mempunyai makna yang berbeda sesuai istilah masing-masing bidang studi. Ulama Ushul Fiqh mengarti­kan kaidah sebagai ketentuan dasar yang bersifat tetap dan kulliyah, Contohnya adalah kaidah:
الأمر إذا جرد عن القرائن افاد الوجوب
” Bila kata perintah (amar) berdiri sendiri (mutlak), maka ia menunjukkan arti wajib”
Ketentuan di atas berlaku hanya pada kata perintah (amar) yang berdiri sendiri dan tidak beserta adanya indikator-indikator lain (qarînah) yang dapat mengalihkan maknanya menjadi tidak wajib. Selama qarînah itu tidak ada, maka selama itu pula kata perintah mempunyai makna wajib.[7] Inilah yang dimaksud oleh Ushûliyyin sebagai ketentuan yang bersifat kulliyah.[8]
Sementara di kalangan Fuqaha masih terjadi perbedaan pandangan dalam mendefinisikan arti kaidah. Sebagai contoh, Tajuddin al-Subuki (w. 771 H.), memaknai kaidah sebagai sebuah rumusan hukum yang bersifat menyeluruh (kulliyah) dan merangkum pelbagai permasalahan furû’iyah yang tak terhitung jumlahnya, serta ber­fungsi untuk mengetahui ketentuan hukum pada persoalan serupa. Sementara itu Dr. Musthafa al-Zarqâ,[9] mengartikan kaidah sebagai kerangka hukum mayoritas (aktsâriyah atau aghlâbiyah, dan bukan kulliyah) yang merangkum banyak permasalahan serta berfungsi untuk mengetahui hukum-hukumnya.[10]
Bila dilihat dengan seksama, sebenarnya tidak ada perbedaan prinsifil antara dua pendapat di atas. Titik perbedaannya hanya berkisar pada obyek cakupan kaidah; apakah bersifat kulliyah (universal­ komprehensif) atau aktsariyah/aghlâbiyah (mayoritas-representatif)? Fuqaha yang mengklaim bahwa cakupan kaidah bersifat aktsariyah menyatakan, walaupun satu kaidah memuat banyak persoalan furû’iyah, namun pasti terdapat pengecualian (mustatsnayât). Karena itu, kaidah tidak dapat dikatakan sebagai perangkat hukum yang bersifat menyeluruh, karena dalam realitasnya masih terdapat permasalahan yang tidak dicakupnya. Sedangkan pihak yang menganggap bahwa kaidah adalah prinsip hukum yang bersifat kulliyah berpendapat, walaupun terdapat pengecualian bukan berarti kaidah itu sendiri yang tidak mampu merangkulnya, melainkan karena persoalan yang dikecualikan itu termasuk Furû’ dari kaidah yang lain.
Dalam analisa Dr. Muhammad Shidqi al-Burnu’, timbulnya pengecualian-pengecualian tersebut ditemukan oleh fuqaha setelah mereka melakukan proses istiqrâ’ (riset/penelitian) pada beragam persoalan yang menjadi cabang kaidah tertentu. Dalam beragam persoalan yang secara implisit memiliki karakter serupa itu, para fuqaha menemukan sebagian persoalan furû’iyah yang apabila dimasuk­kan sebagai cabang kaidah tersebut maka akan bertentangan dengan tradisi yang berkembang (atsar), batasan-batasan umum (qayyid), sebab-sebab hukum (‘illat), dan prinsip-prinsip dasar lainnya. Hal ini mengharuskan mereka untuk tidak memberlakukannya sebagai cabang kaidah tertentu. Solusinya, fuqaha kemudian menjadikannya sebagai pengecualian (mustatsnayât) dan memalingkan dari rukun-rukun analogi (qiyas).[11] Akan tetapi, pengecualian-pengecualian tersebut dalam pandangan fuqaha tidak menjadikan kaidah menjadi keluar dari sifat kulliyah­nya. Meskipun terdapat pengecualian, bukan berarti kaidah-kaidah itu tidak memiliki cakupan ‘âm yang menyeluruh, hal ini pun diakui pula oleh al-Zarqâ’.[12]
Dari semua uraian di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa kaidah fiqh adalah sejenis rumusan-rumusan hukum yang bersifat umum dan dibentuk berdasarkan adanya kesamaan ‘illat’dan karak­teristik persoalan. Atau dengan kata lain, kaidah fiqh merupakan rumusan general dari beragam persoalan hukum yang banyak jumlahnya dan memiliki keserupaan ‘illat dan karakter hukum, serta berfungsi menjadi rujukan dalam menelaah persoalan-persoalan lain yang mempunyai ‘illat serupa. Karena sifatnya yang umum dan general, maka kaidah-kaidah itu kemudian dikenal sebagai rumusan hukum yang bersifat kulliyah (universal), walaupun terkadang ada sebagian permasalahan yang menjadi pengecualiannya.
3.     Historisitas Kaidah Fiqhiyah
Berbicara sejarah lahirnya kaidah fiqhiyah, paling tidak terdapat dua kurun yang meliputinya, yaitu kurun pertama: kemunculan dan pembentukan, kurun kedua: perkembangan dan pembukuan.
Untuk kurun kemunculan dan pembentukan ini, diidentifikasi semenjak pensyariatan hukum Islam, yaitu ketika Rasulullah Saw. menyampaikan risalah yang diterimanya dari Tuhan. Dari sekian sabda beliau yang nota benenya adalah dari Tuhan, terdapat banyak kalimat yang mengandung kaidah-kaidah umum, yang darinya dapat lahir bercabang-cabang hukum turunan. Seperti contoh hadis yang memuat kalimat (الخراج بالضمان),[13] (لا ضرار ولا ضرار),[14] atau juga (البينة على المداعي واليمين على من أنكر).[15]
Demikian pula, lontaran-lontaran “kebijakan” dari beberapa Sahabat sepeninggal Rasulullah Saw., contohnya apa yang diucapkan oleh `Umar bin al-Khaththab: (مَقَاطِعُ الحُقُوقِ عِنْدَ الشُّرُوطِ),[16] terkait putusnya hak seseorang ketika sudah dibatasi oleh syarat dari pihak lain.
Kemudian pada masa berkembangnya ilmu fiqh, ditenggarai terdapat kaidah-kaidah fiqh yang tercecer dalam kitab-kitab fiqh, terselip di antara penjelasan runut tentang masalah furû`. Seperti dalam kitab al-Kharrâj, karya Abu Yusuf al-Hanafiy (w. 182 H), beliau menulis beberapa kaidah fiqh, terutama kaidah-kaidah yang berkaitan dengan masalah siyasah atau politik-pemerintahan. Contohnya ketika muncul polemik tentang batas maksimal takzir, Abu Yusuf menulis kaidah yang berbunyi:[17]
أَن التَّعْزِير إِلَى الإِمَامِ عَلَى قَدْرِ عِظَمِ الجرم وصغره
“Bahwasanya takzir tergantung sang Imam, berdasarkan besar dan kecilnya tindakan pelanggaran”
Dan sebagaimana dikutip oleh Taqiyyudin al Hishniy (w. 869 H),[18] dalam kitab al-Umm dan juga Ikhtilâf al-Hadîts, misalnya, ketika menyinggung tentang klaim adanya ijmak, Imam al-Syafi’i (w. 204 H) menguncinya dengan suatu kaidah:[19]
وَلَا يُنْسَبُ إلَى سَاكِتٍ قَوْلُ
“Tidak boleh menisbatkan sebuah pendapat kepada orang yang diam”.
Atau ketika berbicara masalah batasan-batasan rukhshah, beliau mengeluarkan kaidah:[20]
يَجُوزُ فِي الضَّرُورَةِ مَا لَا يَجُوزُ فِي غَيْرِهَا
Apa yang diperbolehkan dalam kondisi darurat, tidak diperbolehkan dalam kondisi normal
Pencantuman prinsip pokok ini oleh al-Syafi’i hanya dijadikan sebagai- sisipan di antara kandungan kitab al-Umm lainnya.
Kemudian dalam kurun kedua, yaitu saat perkembangan dan pembukuan, pada masa ini merupakan awal Kaidah Fiqhiyah menjadi sebuah disiplin ilmu yang independen, terjadi pada kisaran abad ke-4 Hijriyah. Dalam rekaman Ibn Khaldun, pada masa ini masyarakat muslim sudah terpetakan ke dalam madzhab-madzhab fiqh, pintu ijtihad dan qiyas seolah telah tersumbat, sehingga solusi pemecahan masalah hukum untuk kasus-kasus baru yang tidak ada keterangannya, praktis hanya menggunakan saluran al-ilhâq melalui kaidah-kaidah fiqhiyah madzhabnya. Oleh karenanya dalam kurun ini, mulai bermunculan kitab-kitab kaidah yang khusus berkutat sesuai madzhab fiqh yang dianutnya.
 Pionir pengumpul kaidah-kaidah fiqhiyah madzhabiyah, adalah Imam Abu Thâhir al-Dabbâs, seorang fâqih Hanafiyah yang mengumpulkan 17 Kaidah Kuliyah. Selanjutnya diadopsi oleh ulama Syafi`iyah ke dalam 5 kaidah, yaitu oleh Abû Sa`d al-Harawiy. Selanjutnya dalam kurun ini lahirlah banyak kitab-kitab kaidah fiqhiyah. Di antaranya yang paling terkenal adalah:
  • Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Ibnu al-Wakîl al-Syâfi`iy (w. 716 H)
  • Kitâb al-Qawâ’id, al-Muqarri al-Mâlikiy (w. 758 H)
  • Al-Majmû’ al-Muhadzdzab fiy Dlabth Qawâ`id al-Madzhab, al-`Alâ’iy al-Syâfi`iy (w. 761 H)
  • Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Tajjuddîn al-Subkiy al-Syâfi`iy (w. 771 H)
  • Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Jamâluddîn al-Isnâwiy al-Syâfi`iy (w. 772 H)
  • Al-Mantsûr fiy al-Qawâ`id, Badruddîl al-Zarkasyiy al-Syâfi`iy (w. 794 H)
  • Al-Qawâ`id fiy al-Fiqh, Ibn Rajab al-Hanbaliy (w. 795 H)
4.         Fungsi dan Manfaat Kaidah Fiqhiyah
Selain berguna untuk menghindari pemahaman yang kontradik­tif, seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, kaidah fiqh juga mengandung manfaat lain yang tak terhitung jumlahnya. Al-Suyuthi, misalnya, menyatakan bahwa dengan menguasai ilmu kaidah fiqh, maka kita akan mengetahui hakikat fiqh, dasar-dasar hukumnya, landasan pemikirannya, dan rahasia-rahasia terdalamnya. Selain itu, kita akan mudah mengingat dan menghafal sebuah kaidah, kemudian meng-ilhâq-kan,[21] men-takhrîj,[22] serta mengetahui hukum-hukum beragam persoalan aktual dari kaidah itu, dimana hukum-hukum tersebut tidak disebutkan dalam kitab-kitab fiqh konvensional.rs
Dengan ungkapan sedikit berbeda, Syaikh Yasin bin Isa al­-Fadâniy menyatakan bahwasanya buah yang akan kita petik dari mempelajari kaidah fiqh adalah diperolehnya kemudahan mengetahui hukum-hukum kontemporer yang tidak mempunyai nash sharîh (dalil pasti) dalam al-Quran maupun Hadits. Di samping itu, dengan menguasai banyak kaidah fiqh maka kita akan mampu me-manage beragam persoalan furû’iyah yang terus berkembang dan tak terhitung jumlahnya hanya dalam waktu singkat dan dengan cara yang mudah, yakni melalui sebuah ungkapan yang ringkas tapi padat (baca; kaidah).
B.    Pembahasan Qawâ`id al-Fiqhiyah
(إِتْلَافُ الْمُتَسَبِّبِ كَإِتْلَافِ الْمُبَاشِرِ فِي أَصْلِ الضَّمَانِ)
a.     Makna Kaidah
“Pelaku kerusakan tidak langsung, sama tanggung jawabnya dengan pelaku langsung”
b.     Penjelasan Kaidah
Ini merupakan kaidah utama yang berkaitan dengan masalah pokok tanggung jawab dalam hukum Islam. Yang mana siapa pun pihak yang memiliki andil terhadap rusaknya suatu benda, baik langsung maupun tidak, maka ia wajib bertanggung jawab terhadap kerugian yang diterima oleh sang pemilik benda. Dengan catatan, jika ia bukan pelaku langsung, maka tanggung jawab baru dapat dibebankan, jika terbukti bahwasanya ia melakukan keteledoran yang berujung pada rusak/hilangnya benda dimaksud.
Sebagai contoh, pengelola parkir/penitipan, jika saja di tempat parkirnya terdapat kendaraan yang rusak/hilang, seandainya terbukti ada unsur kelalaian dalam pekerjaannya mengelola parkir/penitipan, maka ia dapat dituntut untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diterima oleh pemilik kendaraan.
Sementara itu, al-Qarrafi, ketika mengurai tiga unsur yang menjadi kunci adanya tanggung jawab atas kerugian, yaitu: Kesengajaan (al-`udwân), keterlibatan (al-tasabbub), dan kelalaian (laysat bi mu’tamanah).[23] Yang menarik dalam penjelasan detail terhadap unsur keterlibatan, beliau menyatakan, ketika seseorang mengeluarkan kata-kata (umumnya instruktif), kemudian ditindak lanjuti oleh orang lain dalam bentuk eksekusi yang menimbulkan kerugian bagi korban, maka pemberi instruksi tersebut dapat dituntut pertanggungjawaban atas kerugian tersebut.
(أَنَّ الإِجَازَةَ إِذَا لَحِقَتِ الْعَقْدَ الْمَوْقُوْفَ كَانَ لِحَالَةِ الإِجَازَةِ حُكْمُ الإِنْشَاءِ)
a. Makna
“Persetujuan yang diberikan atas transaksi yang ditangguhkan, maka pada saat persetujuan tersebut keluar, sama dengan melakukan transaksi itu sendiri”.
b. Penjelasan
Dalam situasi normal, izin atau persetujuan itu hanyalah sebatas kabar (khabar), namun ia berpotensi untuk memunculkan muatan hukum (insyâ’) secara khusus. Berdasarkan kaidah tersebut, ketika terdapat akad/transaksi yang keabsahannya masih ditangguhkan karena terkait belum adanya izin, atau dalam kata lain belum luzûm, maka begitu muncul izin, pada saat itu pula izin tersebut berfungsi sebagai penentu keabsahan. Contohnya, ketika seseorang ditunjuk menjadi wakil untuk menjual barang dengan harga 1 juta, tapi kemudian karena sesuatu hal tidak laku dengan harga tersebut, dan hanya laku dengan harga 900.000 ribu, kemudian jika si wakil menjualnya dengan harga tersebut, tetapi belum mendapat persetujuan pemilik barang, maka keabsahan transaksinya ditunggukan sampai mendapat persetujuan. Dan ketika persetujuan itu ada, maka dengan adanya persetujuan tersebut, transaksi pun menjadi sah dan luzum tanpa memerlukan akad lagi.
(الإِجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِمِثْلِهِ)
a. Makna
“Ijtihad tidak bisa dianulir oleh ijtihad yang sejenisnya”
b. Penjelasan
Secara legal historis, kaidah ini berlandaskan kasus yang terjadi pada masa Khalifah Umar ra., beliau terkenal sebagai orang yang banyak menelorkan produk hukum yang ‘tidak sesuai’ dengan keputusan yang pernah diambil pendahulunya, Abu Bakar al-Shiddiq ra. Akan tetapi, Umar ra. bersikap sangat bijak dengan tidak menganulir hukum yang telah ditetapkan Abu Bakar. Bahkan, Umar juga pernah merubah keputusan hukum yang telah diambilnya sendiri pada tahun pertama dengan keputusan baru pada tahun berikutnya. Saat dimintai kejelasan tentang sikapnya ini, Umar mengatakan:[24]
ذَلِكَ عَلَى مَا قَضَيْنَا وَهَذَا عَلَى مَا قَضَيْنَا
“Ketentuan hukum yang pernah aku cetuskan itu adalah atas keputusanku. Sementara ini (ketentuan hukum yang baru) adalah hal yang sekarang aku putuskan”.
Dari statemen ini, secara tidak langsung Umar ra. telah memberikan ketegasan bahwa segala keputusan yuridis yang sebelumnya telah diambil oleh pendahulunya, Abu Bakar ra., tetap dihukumi sah sebagaimana keputusan yang pernah diambilnya lalu diubahnya sendiri. Berangkat dari perspektif inilah, para ulama kemudian mengambil penafsiran hukum bahwa ijtihad Umar ra. tidak dapat mengubah hasil ijtihad Abu Bakar. Dan dari sisi ini pula, tercetuslah sebuah konsensus (ijmâ’) shahabat, bahwa al-Ijtihâd lâ yunqadlu bi al-Ijtihâd, sebagaimana dilansir oleh al-Suyuthi.[25]
Disamping landasan Ijmâ’ yang telah dikemukakan di atas, alasan tiadanya penganuliran hasil adalah karena ijtihad kedua belum tentu lebih kuat dibandingkan ijtihad pertama, disamping karena keduanya sama-sama diperoleh dari proses ijtihad yang sulit dan berbelit-belit. Hal yang membedakan keduanya cuma konteks waktu yang tidak bersamaan ketika diputuskan. Selain itu, jika sering terjadi penganuliran produk hukum, maka yang akan timbul adalah tiadanya kepastian hukum bagi masyarakat, sebagai­mana telah dijelaskan di muka. Hal ini juga akan berdampak pada goyahnya tatanan lembaga peradilan yang menangani masalah-masalah yuridis.[26]
Meski ijtihad merupakan elemen penting dalam konstruksi hukum Islam, namun harus pula diakui bahwa ijtihad merupakan faktor utama pemicu perbedaan pendapat dan kontradiksi hukum (khilafiyah) antar ulama. Pertentangan yang selama ini berlangsung di kalangan yuris Islam (fuqaha) misalnya, adalah akibat perbedaan metodologi ijtihad yang mereka gunakan. Tapi justru dari situ lah khazanah keilmuan Islam terlihat begitu kaya dan anggun di tengah polemik­intelektual yang variatif dan semarak. Dan hal itu tidak perlu disesal­kan, sebab perbedaan metodologi yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat telah mendapat legitimasi syariat.
Persoalannya, ketika ijtihad telah mendapat legitimasi, akankah produk hukum yang dicapai melalui proses ijtihad dapat dianulir oleh ijtihad lain? Jika menilik konsep kaidah ini, maka produk hukum yang dihasilkan ijtihad dinilai memiliki kekuatan hukum yang bersifat konstan. Sekali hukum itu terbangun atas landasan ijtihad, maka ia telah diakui eksistensinya sehingga tidak dapat digusur oleh hasil ijtihad baru.
Sebagai contoh kecil, orang yang hendak mendirikan shalat Zhuhur tapi tidak tahu arah kiblat, kemudian ia berupaya (ijtihad) untuk mengetahui arah kiblat, selanjutnya dari upaya tersebut ia memiliki persepsi kuat (zhan) pada salah satu arah mata angin sebagai arah kiblat yang benar. Dari hasil ini, dalam melakukan shalat tentunya dia harus menghadap ke arah yang sesuai dengan hasil ijtihadnya.
Namun tatkala memasuki waktu shalat Ashar, ternyata zhan­nya berubah. Arah yang semula diasumsikan sebagai arah kiblat kini mulai diragukan. Dalam kondisi demikian ia dituntut melakukan ijtihad lagi. Nah, jika hasil ijtihad kedua ini betul-betul berubah, maka ia harus shalat Ashar sesuai dengan hasil ijtihad yang kedua. Ia tidak boleh shalat menghadap ke arah yang dihasilkan oleh ijtihad pertama. Akan tetapi perlu dicatat, meski terjadi “perubahan arah kiblat”, bukan berarti shalat zhuhur yang telah dilaksanakannya menjadi batal atau tidak sah. Akan tetapi, shalat zhuhurnya tetap sah, karena telah berlandaskan hasil ijtihad yang pertama. Namun untuk shalat Ashar ia harus menghadap ke arah kiblat yang dihasilkan dari ijtihad yang kedua.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, walaupun hasil ijtihad pertama secara de facto sudah tidak diberlakukan lagi (karena sudah ada hasil ijtihad yang kedua), namun secara de jure tetap diakui keabsahannya. Inilah yang dimaksud dengan” al-Ijtihâd lâ yunqadl bi al-ijtihâd”.
Dari uraian di muka mungkin akan timbul kejanggalan; kenapa ijtihad kedua tidak dapat ‘merubah’ hasil ijtihad pertama, padahal dari kedua proses tersebut hasilnya jelas berbeda. Menurut fuqaha, alasan yang paling utama adalah karena pembatalan ijtihad akan memantik ketidakpastian hukurn.’ Jika setiap ijtihad bisa dihapus maka akan terjadi tasalsul; yakni mata rantai hukum yang tak berujung pangkal. Hal ini tentunya akan mengakibatkan kesulitan baik bagi para pegiat hukum maupun bagi masyarakat umum untuk men­dapatkan hukum yang pasti. Berdasarkan premis ini pula, para ulama sepakat bahwa hukum ijtihadi hasil upaya seorang hâkim tidak dapat diubah dengan hasil ijtihad lain, walaupun pada hakikatnya hukum yang benar hanyalah satu.
(الأَجْرُ وَالضَّمَانُ لَا يَجْتَمِعَانِ)
a. Makna
“Upah dan tanggung jawab tidak dapat berkumpul”
b. Penjelasan
Kaidah ini merupakan salah satu di antara sekian banyak kaidah madzhabiah, yang mana kaidah ini hanya berlaku dalam madzhab Hanafiyah saja.[27] Dan tepatnya termasuk ke dalam kategori dlâbith, karena hanya berlaku dalam bab al-Dlamân (tanggung jawab) saja. Pesan pokoknya adalah tidak ada upah dalam masalah yang harus ada pertanggungjawabannya, demikian pula sebaliknya.
Contoh kasus, jika seseorang menyewa kendaraan, kemudian dalam pemakaian normal, kendaraan tersebut mengalami kerusakkan, maka si penyewa tidak perlu mengganti rugi kerusakan tersebut. Namun sebaliknya, jika seseorang memakai kendaraan orang lain tanpa izin (ghashab), maka ketika terdapat kerusakan pada kendaraan tersebut, si pemakai wajib mengganti kerugian si pemilik kendaraan.[28]
(الإحتياط في الخروج من الحرمة إلى الإباحة أشد منه في العكس)
a. Makna
“Lebih berhati-hati dalam masalah keluar dari wilayah haram ke wilayah mubah, dibandingkan dengan sebaliknya”
b. Penjelasan
Dalam rahasia pensyariatan hukum Islam (asrâr al-tasyrî`), seluruhnya bermuara pada orientasi kemaslahatan bagi umat manusia, baik untuk kehidupannya di dunia, maupun kelak di akhirat.
Ketika syariat memberi label haram terhadap sesuatu, maka sejatinya di sana terdapat hal yang membahayakan atau dapat menimbulkan kerusakkan (mafsadah) bagi manusia, dan demikian sebaliknya. Oleh karena itu, para ahli ushul membuat sebuah kaidah yang memuat pesan untuk senantiasa lebih berhati-hati jangan sampai terjebak ke dalam wilayah yang diharamkan.
Sebagai tindak lanjut dari kaidah tersebut, maka tata aturan dalam rangka keluar dari wilayah haram (yang dipenuhi berbagai larangan) ke wilayah mubah (yang terbebas dari berbagai larangan) adalah lebih diperketat, supaya resiko tergelincir ke dalam larangan menjadi lebih kecil. Dan sebaliknya, tata aturan untuk keluar dari wilayah haram ke wilayah mubah justeru diperlonggar. Di antara contohnya adalah shighat tazwîj yang menjadi salah satu rukun nikah, benar-benar dibatasi, sehingga tidak semua kata bisa dijadikan shighat tazwîj, sedangkan untuk cerai, shighat thalâq justeru lebih luwes dengan diperbolehkannya menggunakan kalimat yang tidak jelas (kinayah), bahkan dalam fiqh Malikiyah, kalimat apa pun, dapat dijadikan shighat thalâq, termasuk tahlîl dan tasbîh, meskipun dengan ditambah syarat harus disertai niat cerai.[29]
(أَحْكَامُ الْأُصُوْلِ مُرَاعَاةٌ فِيْ أَبْدَالِهَا, فَرْضًا كَانَتْ أَوْ نَفْلًا)
a. Makna
“Hukum asal sesuatu terpelihara dalam penggantinya, apakah itu fardlu maupun sunat”.
b. Penjelasan
Hukum asal dari sebuah ibadah adalah tetap sama meskipun ibadah tersebut statusnya hanya sebagai pengganti. Salah satu contohnya seperti dijelaskan oleh al-Khathâbiy sebagai pencetus kaidah tersebut, adalah ketika udlhiyah seseorang yang dilakukan sebelum waktunya, dihukumi tidak sah, kemudian diganti (qadlâ’), maka hukum udlhiyahnya tetap sama, yaitu sunnah, tidak menjadi wajib.[30] Demikian pula, puasa Ramadlan yang ditinggalkan, karena hukum asalnya adalah wajib, maka ketika ia akan diganti di lain waktu, hukumnya tetap wajib sebagaimana hukum asalnya. Dan tidak boleh dibatalkan tanpa ada halangan, sebagaimana hukum puasa asalnya yang tidak boleh dibatalkan secara sembarangan.
(الأحكام إنما هي للمعاني)
a. Makna
“Bahwasanya hukum itu menjangkau makna kalimat”
b. Penjelasan
Kaidah ini termasuk kaidah fiqh madzhab, karena ia hanya berlaku untuk madzhab tertentu saja dan tidak berlaku di madzhab lainnya. Yang menggunakan kaidah fiqh ini adalah ulama Malikiyah, sebagaimana berkali-kali diulas oleh Ibn Rusyd (w. 520 H). Maksud dari akidah ini menjelaskan bahwasanya hukum yang dikehendaki itu terletak pada makna hakikat dari sebuah nash, bukan hanya redaksi luarnya saja, dan bukan pula makna majazi.
Sebagai contoh, dalam hukum batalnya wudlu karena persentuhan laki-laki  dengan perempuan dewasa lain mahram, al-Qur’an (al-Nisâ’, 43) menggunakan redaksi lams. Secara makna, yang dimaksud dengan lams al-nisâ’ adalah al-iltidzâdz bihinna (mendapatkan kenikmatan dengannya), oleh karena itu dalam madzhab Mâlikiy, dengan persentuhan saja meskipun tanpa jimak, apa bila didapatkan indikator taladzdzudz, maka sudah membatalkan wudlu.[31]
(الأحكام لا تجب إلا بيقين لا شك فيه)
a. Makna
“Hukum suatu ibadah tidak diwajibkan kecuali dengan keyakinan tanpa keraguan”
b. Penjelasan
Jika menilik penjelasan dari shâhib al-kalâm kaidah ini, yaitu Ibn `Abd al-Barr dalam kitabnya al-Tamhîd, beliau menyatakan bahwa tidak boleh puasa Ramadlan di hari yang masih diragukan apakah ia termasuk bulan Ramadlan atau bukan.[32] Ini dikarenakan, kewajiban puasa Ramadlan belum muncul, hingga diperoleh keyakinan kapan mulainya bulan Ramadlan.
(الأحكام المترتبة على العوائد تتبع العوائد وتتغير عند تغيرها)
a. Makna
“Hukum yang menjadi implikasi dari suatu kebiasaan, akan mengikuti kebiasaan tersebut, dan akan ikut berubah ketika terjadi perubahan kebiasaan”
b. Penjelasan
Kaidah ini disinggung oleh al-Qarrafiy ketika membahas tentang sumpah dengan menggunakan al-Qur’an. Ketika bersumpah dengan selain Allah adalah dilarang, maka ketika seseorang bersumpah dengan al-Qur’an, selain hukumnya haram, juga pada saat ia melanggar sumpah tersebut, ia tidak bisa dibebani oleh kifarat sumpah. Namun jika di daerah tertentu terdapat kebiasaan kebiasaan bahwasanya yang dimaksud kalimat al-Qur’an itu adalah kalamullâh yang qadim, maka sumpah dengan al-Qur’an itu menjadi boleh dan dapat berimplikasi terhadap kifarat.[33]
(الأخذ بالوثيقة والعمل بالإحتياط في باب العبادات أولى)
a. Makna
“Memilih berdasarkan keyakinan dan mengaplikasikannya dengan hati-hati dalam masalah ibadah adalah lebih utama”
b. Penjelasan
Kaidah ini dikemukakan oleh al-Khathâbiy ketika memberikan penjelasan terhadap hadis yang isinya menyuruh membasuh terlebih dahulu kedua tangan sebelum dicelupkan ke dalam bejana berair sedikit, ketika hendak wudlu selepas tidur malam.[34]
Ilat diharuskan membasuh terlebih dahulu karena dimungkinkan tangan tersebut telah bersentuhan dengan najis (biasanya bekas istinja) pada saat sedang terlelap tidur, karena jika benar, maka ketika tangan dicelupkan ke dalam bejana yang airnya sedikit, maka air tersebut bukannya dapat menyucikan, malah sebaliknya berubah menjadi mutanajis.
Dalam kasus ini sebenarnya tidak bisa dipastikan kenajisan tangan tersebut, namun demi kehati-hatian dalam masalah ibadah yang mesti diutamakan, maka tetap saja diharuskan terlebih dahulu dibasuh sebelum dicelupkan ke dalam bejana.
 (إذا اتحد الحق سقط بإسقاط أحد المستحقين)
a. Makna
“Jika banyak hak menyatu, maka dengan lepas sebagian menjadi lepas seluruhnya”
b. Penjelasan
Terkadang hak seseorang berada di tangan beberapa pihak. Ketika orang yang memiliki hak tersebut membiarkan haknya lepas dari pihak-pihak tertentu, maka seluruh haknya yang berada di pihak lain pun bisa menjadi lepas.
Contohnya seperti hak qisas bagi keluarga korban yang dibunuh oleh lima orang pelaku, jika saja keluarga korban memaafkan hak qisas dari sebagian pelaku, maka secara otomatis hak qisas yang ada di pelaku lainnya pun ikut terlepaskan, sehingga semua pelaku terbebas dari sanksi qisas.[35]
(إذا اتسع الأمر ضاق)
a. Makna
“Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat)”
b. Penjelasan
Berdasar kaidah ini keadaan lapang akan membuat hukum menjadi sempit dan terbatas. Contohnya, ketika melaksanakan shalat, kita tidak diperboleh­kan melakukan gerakan. Sebab kondisi kita saat itu tidak menuntut dilakukannya suatu gerakan. Akan tetapi, jika gerakan itu dilakukan untuk menghindari serangan ular berbisa, kalajengking, dan binatang berbisa lainnya, maka pergerakan tersebut diperbolehkan. Dengan kata lain, shalat yang kita lakukan tanpa adanya gangguan termasuk kategori keadaan lapang (ittasa’a), sehingga hukumnya menjadi sempit dan terbatas (dlâqa), yakni tidak boleh melakukan pergerakan yang berlebihan.
(إذَا اجْتَمَعَ أَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُودُهُمَا دَخَلَ أَحَدُهُمَا فِي الْآخَرِ غَالِبًا)
a. Makna
“Ketika dua perkara sejenis berkumpul dan maksudnya tidak berlawanan, maka secara umum salah satunya akan masuk pada yang lain”.
b. Penjelasan
Seringkali, aktifitas-aktifitas yang dilakukan manusia memiliki persamaan ciri dan karakteristik dari sisi wujud (eksistensi) tujuan serta hukum yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana mandi yang dikerjakan setelah terputusnya darah haid dengan mandi setelah berhentinya darah nifas, dimana keduanya me­rupakan kewajiban dengan pertalian karakteristik dan praktek yang serupa antara satu dengan yang lain, serta memiliki maksud yang selaras pula. Atau contoh lain, seperti mandi sunah Hari Raya yang serupa bentuk dan maksudnya dengan mandi sunah pada hari Jumat. Dalam hal ini antara satu dengan yang lain dapat tergabung menjadi satu (tadâkhul). Sehingga ketika akan melakukan mandi untuk dua maksud di atas, maka yang dilakukan cukup sekali dan dengan satu niat saja.[36]
Namun hukum penggabungan satu aktifitas dengan yang lain, ternyata tidak secara mutlak berlaku pada semua masalah. Dan-yang terjadi adalah pemberlakuan secara mayoritas (akomodatif universal), layaknya kaidah aghlabiyah yang lain.
Diantara pengecualian kaidah ini, sebagaimana contoh seseorang yang melakukan thawâf ifâdlah yang merupakan salah satu rukun haji. Seorang yang melakukan ibadah haji tidak diperbolehkan meng­gabungkan thawâf ifâdlah -menjadi satu- dengan thawâf wadâ’; yaitu thawâf yang wajib dilakukan pada saat seseorang hendak meninggalkan kota Mekah.
Dalam al-Ma’tsûr,[37] al-Zarkasyi menyatakan bahwa tadâkhul yang masuk pada permasalahan ibadah wajib, terbagi menjadi dua bagian: Pertama adalah dua ibadah wajib yang di dalamnya sama­sama terdapat tuntutan, namun maksudnya berbeda. Maka tidak terjadi tadâkhul. Kedua, dua ibadah wajib yang diperintahkan, namun memiliki maksud yang sama. Bagian ini bisa digabungkan menjadi satu pekerjaan (tadâkhul).
Bagian pertama dapat dicontohkan sebagaimana thawâf wadâ’ dan thawâf ifâdlah yang memiliki tujuan sendiri-sendiri.s thawâf ifâdlah, merupakan salah satu rukun haji yang dilakukan setelah melakukan berdiam atau wuquf di Arafah. Sedangkan thawâf wadâ’ adalah adalah jenis thawaf yang wajib dilakukan karena hendak mening­galkan kota Mekah. Dengan demikian thawâf ifâdlah ini tidak dapat dijadikan sebagai pengganti thawâf wadâ’, Esensi tujuan thawâf ifâdlah yang merupakan salah satu rukun haji ini, tidak dapat diganti dengan thawâf wadâ’ yang bukan merupakan salah satu rukun haji. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang telah bermalam di Mina dan setelah itu hendak meninggalkan kota Mekah tanpa melakukan thawâf wadâ’, thawaf ifiidlah yang telah ia lakukan setelah melakukan wuquf di ‘Arafah tidak dapat menggantikan thawâf wadâ’ yang juga wajib dilakukan sebagai tanda perpisahan dengan Masjid al-Hararn.
Untuk bagian yang kedua dapat dicontohkan sebagaimana mandi karena telah mengeluarkan darah haidl dan mandi karena mengeluarkan cairan sperma. Keduanya dapat digabungkan dalam satu kali pelaksanaan. mandi. Dua ibadah ini adalah dua bentuk ibadah yang disyariatkan, namun karena mempunyai maksud yang sama yaitu sama-sama bertujuan menghilangkan hadats besar, maka dapat terjadi tadâkhul.
Begitu juga orang yang berhadats kecil atau besar dan terkena najis sebagian organ tubuhnya, hal ini menurut pendapat Imam al­Nawawi (qawl ashab:) dicukupkan dengan satu kali basuhan saja. Ia tidak perlu melakukan dua kali basuhan untuk menghilangkan hadats dan najis yang melekat pada anggota tubuhnya.[38]
Sebagai catatan tambahan, selain tadâkhul dapat terjadi pada dua kewajiban seperti di atas, tadâkhul juga masuk dalam praktek ibadah-ibadah sunah. Dalam hal ini, tadâkhul terperinci menjadi dua bagian: pertama, jika ibadah sunah masih termasuk jenis ibadah wajib yang dilakukan, maka ibadah sunah dapat masuk di dalamnya. Seperti salat sunah tahiyah al-masjid yang dapat ber-tadâkhul dalam salat fardlu. Dalam arti, dengan hanya melakukan salat fardlu saat kita masuk ke dalam masjid, salat tahiyah al-masjid yang berhukum sunah sudah dianggap cukup.[39] Karena salat tahiyah al-masjid termasuk dalam jenisnya salat.
Dan jika tidak termasuk jenis ibadah yang dilaksanakan, maka tidak bisa masuk ke dalam ibadah dimaksud. Seperti orang yang masuk Masjidal-Hararn Mekah dan melakukan salat berjama’ ah yang kebetulan baru dilaksanakan, maka ia tidak mendapat keutamaan tahiyah al-bayt (baca; thawaf qudum). Karena tahiyah al-bayt bukan termasuk dalam jenisnya ibadah (shalat) yang ia lakukan.
Sama dengan hal di atas (hukuman yang satu jenis) adalah beberapa kafarah dan beberapa pertanggungjawaban terhadap barang yang dirusak (gharamat). Sebagai contoh apabila ada seseorang yang berulang kali melakukan hubungan intim pada siang hari bulan Ramadlan, maka kafarah yang dikenakan padanya cuma satu kali. Dan menurut keterangan yang diambil dari madzhab Hanbali bahwa, apabila terdapat banyak hal hal yang menuntut terhadap kafarah, maka kafarah yang diwajibkan hanya satu. Hal ini agak berlainan dengan pendapat kebanyakan ulama yang mengatakan bahwa hal yang menuntut kafarah hanyalah hubungan intim yang pertama, dan bukan perbuatan yang dilakukan pada saat setelahnya.
(إذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَامُ)
a. Makna
“Apabila sesuatu yang halal berkumpul dengan yang haram, maka yang menang adalah yang haram”
b. Penjelasan
Disebabkan perkara yang haram itu sudah barang tentu menyimpan kerusakan, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya sebagai langkah prefentif untuk menghindar dari kerusakan tersebut, ketika barang haram berkumpul dengan barang halal, langkah yang benar adalah dengan cara menghukumi haram terhadap semua barang yang telah bersatu tersebut. Dengan kata lain, lebih baik melepaskan barang yang halal, dari pada mengonsumsi barang haram yang dianggap halal.
Contoh dari pemberlakuan kaidah ini adalah jika terdapat dua bejana, bejana pertama berisi daging bangkai dan bejana kedua berisi daging binatang sembelihan (mudzakka), sementara kita tidak mengetahui dimana yang berisi daging sem­belihan dan dimana yang berisi bangkai. Dalam kondisi demikian, kita tidak boleh mengambil salah satunya hanya dengan alasan diantara daging itu terdapat daging yang halal. Sebab saat terjadi percampuran antara unsur halal (daging sembelihan) dengan unsur haram (daging bangkai), maka ketentuan hukum yang mendominasi adalah pada unsur yang haram.
Sekedar untuk diketahui, sebenamya terdapat kebalikan (‘aks­antitesa) kaidah ini, yaitu
الحرام لا يحرم الحلال
“Perkara haram tidak dapat mengharamkan perkara halal”.
Bunyi kaidah ini, sebenamya adalah petikan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Daruquthniy dari Ibnu Umar Ra., yang berarti perkara yang haram tidak akan pemah merubah materi perkara yang halal menjadi haram. Pada tahap awal mungkin akan ada pra-asumsi adanya kontradiksi antara bunyi hadits atau kaidah ini dengan redaksi kaidah pertama yang disebutkan dalam awal pembahasan. Namun, secara substansi dua kaidah yang telah disebutkan ini tidaklah berlawanan, sebagaimana yang diungkapkan al-Subuki.
Sedangkan makna kaidah idzâ ijtama’a al-halâl wa al-harâm ghuliba al-haram adalah pemberlakuan status haram pada perkara yang halal sebagai langkah antisipatif (ihtiyâth) atau dapat dikatakan makna ghuliba al-harâm ini hanya sekedar “dominasi” haram terhadap perkara yang halal.[40]
Sebagai bukti, ketika ada keraguan yang dialami seseorang pada saat hendak menentukan dua .keping matauang, mana yang halal dan mana yang haram. Dalam kondisi seperti ini, ia diperbolehkan untuk berijtihad untuk menentukan mana uang yang halal. Seumpama dikatakan perkara yang haram dapat menjadikan perkara yang halal menjadi haram, tentu tidak ada kesempatan sama sekali untuk mengambil uang dengan cara berijtihad. Dalam contoh ini terbukti bahwa yang halal akan tetap dihukumi halal, yang haram tetap seperti semula.
Pengecualian Kaidah:
1)     Diperbolehkan berijtihad untuk menentukan antara bejana yang suci dengan yang najis, walaupun melakukan tayammurn sebagai upaya menghindari keraguan dianggap lebih baik, karena hal ini oleh para ulama dianggap tindakan yang lebih hati-hati.
2)     Diperbolehkan berijtihad dalam menentukan baju yang suci tatkala bercampur dengan baju yang najis, dengan pertimbang­an seperti kasus bejana di atas.
3)     Dihalalkan bagi kaum lelaki memakai baju yang ditenun dari bahan-bahan campuran, seperti sutra (haram bagi laki-laki) dengan kapas (halal), dengan catatan jika kain sutra yang digunakan relatif lebih sedikit dibanding dengan kain kapasnya.
4)     Dihalalkan untuk memakan burung hasil buruan yang terjatuh karena terkena panah atau alat berburu lainnya. Hukum halal ini tetap berlaku meskipun burung tersebut mati setelah jatuh ke tanah. Dalam kasus ini ada dua titik tekan yang berlawanan; pertama, luka akibat terkena panah adalah sesuatu yang menghalalkan; kedua, jatuhnya burung tersebut ke tanah merupakan suatu hal yang mengharamkan. Akan tetapi karena jatuhnya burung ke tanah merupakan suatu hal yang tidak mungkin dihindari, maka hukumnya dima’fUw (dimaafkan).
5)     Diperbolehkan melakukan transaksi bisnis dengan orang yang mayoritas uangnya adalah uang haram, dengan catatan bahwa nilai nominal uang halal dan uang haram itu tidak diketahui secara pasti berapa jumlahnya. Namun, hal ini menurut al­Ghazali hukumnya tetap haram sebagai langkah ib#yath (berhati-hati). Pendapat senada juga pernah ditegaskan oleh ‘Izzuddin bin Abd al-Salam dan Adzra’ i.
6)     Dimakruhkan menerima pemberian pemerintah yang telah diketahui bahwa mayoritas uangnya adalah haram, jika memang penerima belum sampai tahap yakin bahwa apa yang diterimanya diperoleh dengan cara-cara haram. Jika diyakini uang itu memang benar-benar diperoleh dengan cara haram, seperti korupsi, pungli (pungutan liar), dan lain sebagainya, ataupun diambil dari perbuatan maksiat, maka hukum meneri­manya haram.
7)     Kambing yang pernah memakan barang haram (milik orang lain), susu dan dagingnya dihukumi halal, walaupun barang haram itu telah bercampur dengan daging dan susunya. Dalam kasus seperti ini, pemilik hewan sebenarnya diwajibkan meng­ganti rugi segala sesuatu yang telah dimakan kambing­nya. Namun al-Ghazali menyarankan agar kita tidak memakan­nya. Sebab menurut sang Hujjah al-Islam ini, tidak memakan daging atau meminum susu. kambing tersebut merupakan tin­dakan warâ’,
(إذَا اجْتَمَعَ للمضطر محرمان, كل واحد منهما لا يباح بدون الضرورة وجب تقديم أخفهما مفسدة وأقلهما ضرارا)
a. Makna
“Jika dihadapan orang yang terpojok berkumpul dua hal yang diharamkan, kedua-duanya tidak dapat dibolehkan kecuali dalam kondisi darurat, maka wajib baginya mendahulukan salah satunya yang lebih ringan efek kerusakannya dan lebih sedikit bahayanya”.
b. Penjelasan
Dalam kondisi normal, sudah barang tentu apa pun yang sifatnya dilarang mesti ditinggalkan. Namun dalam kondisi tertentu, adakalanya dihadapkan pada situasi darurat, dengan harus memilih dari dua hal yang sama-sama dilarang, namun mesti dilakukan salah satunya demi menyelamatkan hal lain yang jauh lebih penting.
Di antara contohnya adalah ketika orang yang sedang ihram kelaparan tidak menemukan makanan yang halal, ia dihadapkan pada dua pilihan antara memakan bangkai atau daging hewan buruan. Dalam situasi ini, menurut Imam Ahmad adalah lebih baik memakan bangkai, dengan pertimbangan jika memakan daging buruan, maka terdapat tiga delik, yaitu berburu, menyembelih, dan memakannya, sedangkan jika memakan bangkai hanya satu delik saja, yaitu memakannya.
Contoh lain, jika siang hari di bulan Ramadlan, suami yang beristri dua orang, baru datang dari rantau sudah tidak tahan ingin berhubungan intim, dihadapkan pada dua pilihan antara berhubungan intim bersama istrinya yang sedang berpuasa (berarti harus membatalkan puasanya) atau berhubungan dengan istrinya yang tidak puasa namun sedang haid, maka yang lebih utama adalah memilih istrinya yang sedang puasa, karena bisa dibatalkan dengan alasan darurat, dari pada dengan istrinya yang sedang haid.[41]
(إذَا اجْتَمَعَ المباشر والمتسبب يضاف الحكم إلى المباشر)
a. Makna
“Jika berkumpul antara pelaku langsung dengan penyebab tidak langsung, maka hukuman dikenakan kepada pelaku langsung”.
b. Penjelasan
Jika dalam satu peristiwa hanya terdapat dua latar belakang; sabab dan mubâsyarah maka yang dianggap sebagai faktor utamanya adalah mubâsyarah. Misalnya seseorang yang dilempar dari tempat yang tinggi, namun sebelum sampai ke bawah ia ditusuk dengan mengunakan sebilah pedang oleh orang lain, sehingga ia tewas seketika. Dalam permasalahan ini, terdapat pergumulan sebab dan mubâsyarah. Yang dimaksud dengan sebab dalam konteks ini adalah pelemparan dari atas tebing, sedangkan mubâsyarah adalah penusukan dengan pedang.
Sesuai dengan kaidah ini, pelaku penusukan lah yang bertanggungjawab atas peristiwa pembunuhan yang sejatinya dilakukan oleh dua orang ini. Karena dialah yang menjadi penyebab langsung kematian itu. Tusukan yang dilakukannya dinilai telah menutup resiko kematian yang diakibatkan pelemparan pelaku pertama, walaupun sebenarnya kedua orang ini sama-sama berperan atas kematian korban.
Mubâsyarah dalam khazanah fiqh dianggap lebih kuat, karena mubâsyarah, seperi yang terlihat dalam contoh ini, di samping berpredikat sebagai faktor munculnya peristiwa (mu’atstsirah), ia juga menjadi penyebab utama (muhashshilah) atas timbulnya kematian korban. Berbeda dengan sabab berupa pelemparan dari tempat tinggi; ia hanya dianggap sebagai faktor yang tidak begitu kuat dan dominan. Karena secara nalar bisa saja korban selamat saat sampai di bawah, jika tidak terjadi penusukan.
Begitu juga dalam permasalahan seseorang yang mengambil, makanan orang lain dengan cara gasab kemudian makanan yang ia ambil disuguhkan kepada pemiliknya dan langsung dimakan, maka secara otomatis si pemilik sudah dianggap mengambil haknya sendiri, walaupun si pemilik tidak tahu bahwa yang ia makan adalah miliknya sendiri. Dan karena telah mengambil haknya, ia tidak dapat menuntut agar makanannya dikembalikan oleh si penggasab. Hal ini juga sangat beralasan, karena pemilik adalah subjek utama habisnya makanan. Tindakan (mubasyarah) yang dilakukan pemilik makanan lebih mendapatkan tekanan sebagai perbuatan yang mengakibatkan makanan itu habis, daripada tindakan gasab yang menjadi penyebab (sabab) habisnya makanan. Alasan yang melatarbelakangi kurang lebih sama dengan permasalahan di atas.
Lebih menjelaskan pembagian berkumpulnya mubâsyarah dan sabab dalam pembunuhan, Dr. Musthafa Dib al-Bugha memilahnya dalam 3 (tiga) kategori:
1)     Peristiwa yang di dalamnya lebih mendahulukan faktor sebab daripada faktor mubâsyarah. Contohnya seperti perbuatan bohong beberapa saksi yang menyatakan bahwa ada seseorang yang melakukan pembunuhan. Setelah melalui proses persidangan akhirnya diputus-kan bahwa tertuduh harus dihukum. Namun setelah proses eksekusi selesai, saksi-saksi tersebut mengaku bahwa mereka telah berbohong dalam memberikan kesaksian. Dalam persoalan ini, yang harus menanggung hukum qishas adalah orang-orang yang menjadi saksi palsu (sabab), bukan pelaku eksekusi pada pihak tertuduh (qadlf/hakim). Hal ini apabila hakim betul-betul tidak tahu jika para saksi melakukan persaksian yang keliru.
2)     Kasus yang didalamnya mubâsyarah lebih dimenangkan untuk mengalahkan unsur penyebab. Seperti halnya sese­orang yang menjatuhkan orang lain dari tempat yang tinggi, namun sebelum sampai ke dasar lantai ia ditusuk sebanyak dua kali yang menjadi penyebab kematiannya. Dalam hal ini yang berhak mendapat qishas adalah orang yang menusuk, sementara orang yang menjatuhkan hanya layak mendapat hukuman ta’zir; hukuman yang sesuai dengan keputusan seorang imam (pemimpin negara).
3)     Posisi antara mubâsyarah dan sebab yang seimbang. Seperti halnya seseorang yang memaksa -dengan ancaman tertentu­pada orang lain untuk membunuh. Kedua pihak, baik pe­maksa dan yang dipaksa, patut mendapat hukuman qishas. Pihak pemaksa dihukum karena dia pada dasarnya-secara tidak langsung- juga melakukan hal yang dapat mem­binasakan dengan cara memaksakan hal-hal yang dapat menghilangkan nyawa orang lain. Sedangkan pihak yang. dipaksa adalah pelaku pembunuhan dengan cara zhalim.
Pengecualian
Seseorang yang menggasab kambing orang lain dan ia serahkan pada tukang jagal untuk disembelih, sementara si tukang jagal tidak tahu. bahwa kambing itu adalah hasil gasaban (baca; ada gharar). Daldm hal ini/ ulama sepakat bahwa yang wajib mengganti adalah orang yang menggasab, bukan si tukang jagal. Semestinya, kalau kita akan menerapkan kaidah ini tentu yang membayar denda adalah pelaku penyembelihan (tukang jagal=mubâsyir), bukan orang yang memberikan kambing.
Contoh lainnya adalah orang sudah layak dan mampu berfatwa? memberikan fatwa kebolehan merusak barang, dan ternyata apa yang diputuskannya adalah keliru, padahal barangnya sudah terlanjur dirusak oleh orang yang menuruti fatwa mufti tersebut. Dalam kondisi semacam ini, pihak yang harus mengganti rugi kerusakan adalah si mufti, walaupun yang melakukan perusakan adalah orang yang meminta fatwa. Lain halnya bila yang mengeluarkan fatwa adalah orang yang belum layak berfatwa, maka si pemberi fatwa tidak berkewajiban mengganti barang yang telah rusak, karena orang yang meminta fatwa dianggap sebagai orang ceroboh, karena ia meminta fatwa pada orang yang bukan ahlinya.[42]
(إذَا بطل الأصل يصار إلى البدل)
a. Makna
“Apabila hukum asal telah batal, maka dialihkan ke hukum penggantinya”
b. Penjelasan
Jika hukum asal telah batal atau tidak mungkin untuk dipenuhi, maka tidak berarti menjadi tidak ada hukum sama sekali. Sebagai contohnya adalah ketika seseorang menggasab barang milik orang lain, namun barang tersebut hilang di tangan penggasab, maka ia tetap harus mengembalikan penggantinya. Jika penggantinya itu sama persis, disebut dengan istilah al-qadlâ’ al-kâmil, tapi jika penggantiannya itu dengan harganya, disebut dengan istilah al-qadlâ’ al-Qâshir.[43]
Tetapi jika barang yang digasab tersebut masih ada di tangan penggasab, maka penyerahan barang tidak boleh diganti dengan yang lain. Sama halnya dalam kasus tanah menjadi pengganti air untuk menyucikan hadas, jika air masih ada dan atau tidak dalam keadaan darurat, maka tanah tersebut tidak bisa menjadi pengganti air, dengan kata lain wudlu tidak bisa diganti dengan tayamum.
(إذَا بطل المتضمِّن بطل المتضمَّن)
a. Makna
“Jika telah batal sesuatu yang mengandungnya, maka batal pula apa yang dikandungnya”
b. Penjelasan
Yang dikandung (mutadlamman) adalah implikasi hukum dari yang mengandung (mutadlmmin), oleh karenanya, jika yang mengandung tersebut dihukumi batal atau tidak menimbulkan efek hukum, maka apa yang dikandungnya pun sama-sama batal atau tidak memiliki efek hukum.
Sebagai contohnya, ketika suami isteri mengulangi akad nikah tanpa terlebih dahulu cerai (dikenal dengan istilah tajaddud), dalam kondisi seperti ini, akad nikah yang kedua dinilai tidak sah, oleh karenanya tidak perlu ada mahar, sebab mahar merupakan mutadlamman sebagai implikasi hukum dari sahnya akad nikah  yang menjadi mutadlammin-nya.[44]
(إذَا تعذر إعمال الكلام يهمل)
a. Makna
“Jika sulit memberlakukan suatu instruksi, maka ia tidak dapat diberlakukan”
b. Penjelasan
Jika sebuah ucapan sama sekali tidak mungkin untuk diartikan sesuai makna hakiki maupun makna majasnya, maka ucapan itu di­anggap sebagai gurauan, sehingga tidak perlu diperhitungkan keber­adaannya.
Contohnya, seorang suami yang berkata kepada sang istri yang tidak ada hubungan nasab dengan sang suami, “Wanita ini adalah anakku”. Maka, ucapan ini tidak memberi pengaruh apapun bagi ter­talaknya sang istri, walaupun dari perkataan ‘anakku’ seakan suami tersebut seolah tidak menganggap dia sebagai istri. Hal ini berlaku baik sang istri lebih tua atau lebih lebih muda umurnya. Artinya, ucapan itu hanya, dianggap seakan hanya kelakar saja. Hal ini dilatar­belakangi sulitnya menangkap makna yang dikehendaki. Karena jika kita artikan secara hakiki, rasanya mustahil sang istri adalah anaknya sendiri. Apalagi realita menunjukkan bahwa umur sang istri lebih tua. Demikian pula jika sudah sangat masyhur diketahui publik, bahwa wanita itu tidak senasab dengan sang suami, meskipun sang istri lebih muda.[45]
(إذَا تقابل عملان أحدهما ذو شرف في نفسه ورفعته وهو واحد والآخر ذو تعدد في نفسه وكثرة فأيهما يرجّح؟)
a. Makna
“Jika dihadapkan pada dua pekerjaan, yang satu lebih baik tampilannya namun hanya satu, sementara yang lainnya lebih banyak, maka mana yang lebih diunggulkan?”
b. Penjelasan
Kaidah ini intinya membandingkan mana yang lebih unggul antara perbuatan yang sepintas lebih baik secara kualitas dengan perbuatan lain yang sepertinya kalah baik, namun dengan kuantitas yang lebih banyak. Dalam hal ini, Imam Ahmad cenderung lebih memilih perbuatan yang kedua, yaitu yang berorientasi kuantitas.
Seperti contoh, shalat sunat dua rakaat dengan bacaan surat yang panjang-panjang dibandingkan dengan shalat empat rakaat tapi bacaan suratnya pendek-pendek, namun waktu pengerjaannya sama. Menurut pendapat yang masyhur cenderung lebih memilih shalat sunat empat rakaat meskipun bacaannya pendek.[46]


[1]Bernama lengkap Abu al-Faydl ‘Alam al-Din Muhammad Yasin ibn Muhammad ‘Isa al-Fadani. Ulama keturunan Padang, mufti (pemberi fatwa) madzhab Syafi’i di Mekah, dan penulis beberapa literatur khazanah keislaman. Lahir pada tahun 1335 H. di Makkah. Menimba ilmu, mula-mula dari ayahnya sendiri; Syaikh ‘Isa al-Fadani, lalu kepada pamannya, Syaikh Mahmud al-Fadani. Setelah itu melanjutkan pendidikannya di Madrasah Shawlathiyyah (1346 H.) dan terakhir di Dar al-Tllurn al-Diniyyah, Makkah (tamat 1353 H.). Selain pendidikan formal, Syaikh Yasin juga banyak berguru kepada ulama’-ulama’ besar Timur Tengah. Diantaranya belajar ilmu Hadits pada Syaikh ‘Umar Hamdan, pada Syaikh Muhammad ‘Ali bin Husain al-Maliki, Syaikh ‘Umar Ba Junaid, mufti Syafi’iyyah Makkah, lalu pada Syaikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani, dan Syaikh Hasan al-Yamani. Dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh, beliau menimba ilmu diantaranya pada Syaikh Muhsin bin ‘Ali al-Palimbani al-Makki (ulama keturunan Palembang yang tinggal di Mekah), Sayyid ‘Alwi bin ‘Abbas al-Maliki al-Makki (ayah kandung Sayyid Muhammad ulama Sunni Kontemporer dari Arab Saudi) dan banyak ulama’ berpengaruh lainnya. Bahkan disebutkan bahwa jumlah gurunya mencapai kisaran 700 orang, laki-laki maupun perempuan. Selama bertahun-tahun Syaikh Yasin aktif mengajar dan memberi kuliah di Masjidil Haram dan di Dar al-Tllurn al-Diniyyah, Makkah, terutama pada mata kuliah ilmu Hadits. Pada tiap-tiap bulan Rarnadlan selalu membaca dan mengijazahkan salah satu diantara Kutub al-Sittah (6 kitab utama ilmu Hadits). Hal itu berlangsung selama ± 15 tahun. Syaikh Yasin juga menulis banyak kitab hingga mencapai lebih dari 60 buah, diantaranya ‘Al-Durr al-Mandi ud Syar!l Sunan Abi Dawud’ 20 juz, ‘Fath al-’Alldm Syarh Bulugh al-Mardm’ 4 jilid, ‘Nay! al-Ma ‘mul ‘ala Lubb al­UshUl wa Gbayab al-WushU!, ‘Al-Fawd’iad al-Janiyyah’ dan lain sebagaimnya, termasuk tulisannya tentang ilmu periwayatan hadits. Syaikh Yasin wafat pada Jum’at dini hari, 28 Dzu al-Hijjah 1410 H. dan dimakamkan selepas shalat Jumat di Pemakaman Ma ‘Id, Makkah. Lihat dalam mukadimah al-Fawd’id al-Janiyah, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, cet. L 1997, h. 25.)
[2]Musthafa Ahmad al-Zarqa’ al-Halbi, al-Madkhal al-Fiqhiy al-’Am, (Damaskus: Dar al-Qalam: 1998), j. II, h. 967.
[3]Abu al-’Abbas Ahmad bin Idris al-Shanhaji al-Qarrafi, al-Furûq wa Anwâr al­-Burûq fiy Anwâ’ al-Furûq, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998) j. I, h. 6-7.
[4]Ibid, j. I, h. 2.
[5]Kaidah Ushûlliyah berada pada tataran Takhrîj al-Ahkâm (Istinbâth al-Ahkâm), sedangkan Kaidah Fiqhiyah diletakkan pada tataran Tathbîq al-Ahkâm.
[6] AI-Shihah 1/252, Mu’am Maqâyîs al-Lughât, V/109, Lisan al-Arab, III/361, dikutip oleh Abdurrahman bin Abdullah al-Sya’lani dalam Dirasah wa Tahqiq Kitab al­-Qawa’id li Taqiy al-Din Abi Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu ‘min al-Hishni, (Riyad: Maktabah al­-Rusyd, 1997), j. I. h. 21.
[7]Tetapi bila terdapat qarînah, maka kata perintah atau amr dapat mempunyai implikasi makna selain wajib, baik berupa sunnah, tahdid, ibahah, dan lain sebagainya. Namun “kebersamaan” amr dengan qarînah-qarînah ini tidaklah menjadikan kaidah ini keluar dari dimensi kulliyah-nya, karena garis ketentuan kaidah di atas hanya berlaku pada amr yang tidak bersamaan dengan qarînah.
[8]Sebagai perbandingan, dalam ilmu logika (manthiq) dikenal istilah kulliy dan kulliyah. Dalam Sullam al-Munawraq, misalnya, diterangkan bahwa yang dinamakan kulliy adalah sebuah ketentuan yang menunjuk pada kumpulan (al-majmû’) hal-hal yang bersifat partikular. Sebagai ilustrasi, suatu ketika Nabi saw, pernah mendirikan shalat zhuhur hanya dengan dua raka’at, kemudian sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apakah shalat Anda diringkas (qashr) atau Anda telah lupa?” Lalu Nabi Saw. menjawab: “Kullun Laysa bi Wâqi’” (Semuanya tidak terjadi). Jika kata “semua” (kullun) dalam hadits ini dikategorikan sebagai kata yang bermakna kulliy, maka maksudnya adalah tidak terjadinya gabungan qashr dan lupa secara bersamaan (mungkin qashr saja atau lupa saja). Sedangkan jika digolongkan sebagai kata yang bersifat kulliyah, maka yang dimaksudkan adalah bahwa masing-masing dari keduanya tidak terjadi. Namun perbedaan kulliy dan kulliyah ini tidak berlaku dalam pengertian kulli atau kulliyah dalam kaidah fiqh. Sebab, demikian menurut al-Syathibi, penilaian kullliyah dalam kaidah fiqh dihasilkan dari proses riset atau penelitian (istiqra’iyah), sementara istilah kulliy/kulliyah dalam ilmu logika (manthiq) berasal dari proses penalaran logis-rasional (‘aqliyah).
[9]Musthafa Ahmad al-Zarqa’ al-Halbi, al-Madkhal…j. II, h. 966.
[10]Rangkuman berbagai defenisi kaidah versi fuqaha disertai berbagai penjelasan, argumen, dan analisa masing-masing, dikupas secara tuntas dan elegan oleh Abdurrahman bin Abdullah al-Sya’lani. Lihat Dirasah wa Tahqîq Kitâb al-Qawâ’id, Op. Cit., h. 21-24.
[11]Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu’, al-Wajîz fiy Îdlâh Qawâ’id al-Fiqh al-­Kulliyah, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1996), h. 16.
[12]Musthafa Ahmad al-Zarqa’ al-Halbi, al-Madkhal…j. II, h. 967.
[13]Muhammad bin `Isâ al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, (Mesir: Maktabah Mushthafa, 1975), j. III, h. 573. Abu Dawud Sulayman bin al-Asy`ats, Sunan Abû Dâwud, (Beirut: al-Maktabah al`Ashriyah, T.Th), III, h. 284. Abu `Abdurrahman al-Nasâ’iy, al-Mujtabâ min al-Sunan, (Halabiy: Maktabah al-Mathbû`ât al-Islâmiyah, 1986), j. VII, h. 254. Ibn Majah, Sunan Ibn Mâjah…j. II, h. 754.
[14]Malik bin Annas, Muwaththa’, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, 1985), j. II, h. 145. Abu `Abdullah Muhammad Ibn Majah, Sunan Ibn Mâjah, (Halabiy: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-`Arabiyah, T.Th), j. II, h. 784.
[15]Ahmad bin al-Hasan Abu Bakr al-Bayhaqiy, al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Alamiyah, 2003), j. VIII, h. 213. Abu al-Hasan `Aliy al-Daruquthniy, Sunan al-Dâruquthniy, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2004),j. IV, h. 114.
[16]Muhammad bin Isma`il al-Bukhariy, Shahîh al-Bukhâriy, (T.T: Dâr Thwq al-Najah: 1422), j. VII, h. 20. Ahmad bin al-Hasan Abu Bakr al-Bayhaqiy, al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Alamiyah, 2003), j. VII, h. 407.
[17]Abu Yusuf Ya`qub bin Ibrahim, al-Kharrâj, (Kairo: al-Mathba`ah al-Salafiyah wa Maktabatuh, T.Th), 182.
[18]Taqiyuddin al-Hishniy, Kitâb al-Qawâ`id, (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1997), j. I, h. 40.
[19]Abu `Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi`iy, al-Umm, (Beirut: Dâr al-Ma`rifah, 1990), j. I. H. 178.
[20]Op. Cit., j. IV, h. 177.
[21]Ilhâq secara sederhana bisa diartikan sebagai upaya penyamaan dan pemaduan (sintesis) antara satu persoalan dengan persoalan lainnya. Sedangkan secara terminologis, ilhâq dimaknai sebagai upaya sintesis antara persoalan cabang (al-far`u) yang tidak diterangkan hukumnya oleh nash, dengan persoalan asal (al-ashl) yang telah mempunyai kepastian hukum dari nash. Faktor yang mengharuskan sintesa antara keduanya adalah karena masing-masing memiliki sebab hukum (‘illat/ratio legis) yang sama. Melalui defenisi ini, ilhâq terkadang disamakan dengan qiyas.
Ilhâq dalam ushul fiqh berbeda pengertiannya dengan ilhâq dalam kaidah fiqh. I1hâq dalam ushul fiqh diartikan sebagai metode penyamaan hukum cabang (al-far`u) dengan hukum asal (al-ashl) dalam dalam satu titik temu karena adanya kesamaan sebab hukum (‘illat). Dengan demikian, ilhâq berfungsi untuk mengidentifikasi masalah cabang yang belum dijelaskan hukumnya oleh nash.
Sementara ilhâq dalam konsep kaidah fiqh tidak hanya diartikan sebagai upaya sintesis antara satu persoalan juz’iyah dengan persoalan juz’iyah lainnya, melainkan juga ­antara persoalan juz’iyah dengan kaidah asalnya. Artinya, persoalan juz’iyah yang disamakan itu bisa disesuaikan hukumnya dengan persoalan juz’iyah yang lain (seperti dalam ushul fiqh), tapi bisa pula disesuaikan dengan substansi kaidahnya saja. Di samping itu, teori ilhâq ala Ushuliyyin hanya dapat dilakukan oleh para mujtahid, sementara ilhâq dalam kaidah fiqh bisa dilakukan oleh siapa pun, termasuk oleh mereka yang belum mencapai derajat rnujtahid. Periksa dalam Mawsu’ah al-Fiqhiyyah, cet, Wizarah al-Awqaf wa al-Syu’un bi al-Kuwait. Dan rnukaddirnah Muhammad al-Mu’tashirn Billah dalam Dirâsah wa Tahqîq al­-Asybâh wa al-Nazhâ’ir li al-Suyûthiy, Op. Cit, h. 31.
[22]Takhrîj adalah kebalikan ilhâq. Artinya, takhrîj adalah upaya mengeluarkan satu persoalan furû’iyah dari kaidah asalnya. Dalam ungkapan lain, takhrîj adalah upaya mengeksplorasi kaidah asal sehingga mampu menelorkan hukum baru. Bahkan sebagian ulama mengartikan takhrîj sebagai upaya yang dilakukan seorang mujtahid untuk menelorkan hukum-hukum furû’iyah dari ucapan atau metodologi imam madzhab. Dari sini dapat disimpulkan bahwa’ takhrîj pasti diawali dengan istinbâth atau usaha mencetuskan hukum dari nash. Karena itulah wewenang takhrîj hanya dimiliki seorang mujtahid. Orang yang belum mencapai kapasitas mujtahid tidak berwenang melakukan takhrîj. Untuk lebih lengkapnya, silahkan periksa kembali dalam ibid., h. 31-32.
[23]Abû al-`Abbâs Syihâbuddîn al-Qarrâfiy, Anwâr al-Burûq fiy Anwâ’ al-Furûq, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Alamiyah, 1998), j. II, h. 335-337.
[24]`Abd al-Rahmân Jalâluddîn al-Suyûthiy, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1990), h. 101.
[25]Ibid.
[26]Abu al-Faydl Muhammad Yasin ibn ‘Isa al-Fadani, AI-Fawâ’id al-Janiyah, (Beirut: Dar al-Mahajjah al-Baydlâ’, 2008), h. 293.
[27]`Aliy Ahmad al-Nadwiy, al-Qawâ`id al-Fiqhiyah, (Beirut: Dâr al-Qalam, 1998), h. 351.
[28]Muhammad Bakr Isma`îl, al-Qawâ`id al-Fiqhiyah bayn al Ishâlah wa al-Tawjîh, (T.T: Dâral-Manâr, T.Th), h. 209. Bandingkan dengan Ahmad bin Syaikh Muhammad al-Zarqâ, Syarh al-Qawâ`id al-Fiqhiyah, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1989), h. 431.
[29]Dijelaskan secara detail oleh al-Qarrafiy dalam kitabnya al-Furûq serta al-Dakhîrah, (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmiy, 1994), j. IV, h. 398.
[30]Abû Sulaymân Hamad bin Muhammad al-Khathâbiy, Ma`âlim al-Sunan, (Halabiy: al-Mathba`ah al-`Ilmiyah, 1932), j. 2, h. 229.
[31]Abû al-Walîd Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, al-Muqaddimât al-Mumahhidât, (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmiy, 1988), j. I, h. 97-99.
[32]Abû `Umar Yûsuf bin `Abdillah bin Muhammad bin `Abdil Barr, al-Tamhîd limâ fiy al-Muwaththa’ min al-Ma`âniy wa al-Asânîd, (Maghrib: Wizârah `Umûm al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyah, 1387), j. 2, h. 39.
[33]Abu al-’Abbas Ahmad bin Idris al-Shanhaji al-Qarrafi, al-Furûq…., j. 3, h. 58.
[34]Abû Sulaymân Hamad bin Muhammad al-Khathâbiy, Ma`âlim…., j. 1, h. 48.
[35]Abû Bakr bin Abî al-Qâsim al-Ahdal, Syarh al-Farâ’id al-Bahiyah, (Damaskus: Muassasah al-Risâlah Nâsyirûn, 2009), h. 114.
[36]Abu al-Faydl Muhammad Yasin ibn ‘Isa al-Fadani, AI-Fawâ’id al-Janiyah, (Beirut: Dar al-Mahajjah al-Baydlâ’, 2008), h. 429.
[37]Abu Abdillah Badruddin Muhammad bin Bahadur al-Zarkasyi, al-Mantsûr fi al-Qawâ’id Fiqh Syâfi’iy, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), j. 1, h.154.
[38]Ini apabila najis yang melekat adalah najis yang tidak berbentuk, tidak berbau dan tidan berasa (hukmryyah) atau najis biasa (ainryyah) yang bisa hilang dengan satu kali basuhan.
[39]Al-Zarkasyi, Op.cit., h. 155.
[40]Muhammad Yasin al-Fadani, Op.Cit., h. 371
[41]Abû al-Faraj `Abdurrahmân bin Ahmad bin Rajab, al-Qawâ`id fiy al-Fiqh al-Islâmiy, (Kairo: Maktabah al-Kulliyât al-Azhariy, 1971), h. 265-266.
[42]Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi, al-Mawhîb al-Saniyah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), hal. 603.
[43]Muhammad Bakr Isma`îl, al-Qawâ`id……., h. 134.
[44]Zaynuddîn bin Ibrâhîm bin Muhammad bin Nujaym, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir `alâ Madzhab Abiy Hanîfah al-Numân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), h. 338-339.
[45]Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu’, al-Wajîz….h. 321.
[46]Abû al-Faraj `Abdurrahmân bin Ahmad bin Rajab, al-Qawâ`id…..h. 22.

1 komentar:

  1. Ada penjelasan lebih detail tentang kaidah "akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan".. mohon referensinya..

    BalasHapus