A. Pengantar
Konon, menjelang wafatnya Ibnu Abbas berdo’a:” Ya
Allah sesungguhnya aku bertobat kepadaMu atas segala ucapanku (pendapatku)
tentang nikah mut’ah. Dan dengan ini aku tarik segala pendapatku terdahulu
tentang nikah mut’ah”. Memang masyhur diberitakan bahwa sebelumnya Ibnu Abbas memperbolehkan
nikah mut’ah. ’Ammar—salah seorang sahabat—bertanya kepada beliau:”Apakah
mut’ah itu sebuah perzinaan ataukah
sebuah pernikahan?”. Ibnu Abbas menjawab: ”Bukan zina, juga bukan nikah”. ”Kalau
begitu, lantas apa?”. Dengan lugas, beliau menjawab: ” Ya mut’ah, sebagaimana
yang telah difirmankan oleh Allah”. Lebih lanjut Ammar bertanya:”Apakah dalam mut’ah berlaku ’iddah?”. ”Ya, ’iddahnya
satu kali haidh”. ”Apakah keduanya saling mewarisi?”. Ibnu Abbas
menjawab:”Tidak”.
Tak pelak, ”fatwa” tersebut segera beredar luas di
kalangan masyarakat. Menyadari adanya potensi terjadi kesimpangsiuran atas fatwanya, dengan
segera beliau melakukan klarifikasi. Dalam klarifikasinya beliau berkata: ”Demi
Allah, saya tidak menyatakan bahwa mut’ah itu boleh secara mutlak. Yang saya
maksudkan adalah mut’ah itu boleh dalam keadaan terpaksa (darurat) sebagaimana
kebolehan makan bangkai, darah, serta daging babi (dalam keadaan darurat)”.[1]
Demikianlah pada akhirnya beliau menarik
pendapatnya dan menyatakan bahwa kebolehan mut’ah—termasuk dalam keadaan
darurat-- telah dihapus (mansukh). Dan atas ’kesalahannya’, beliau
meminta ma’af kepada Allah. Semoga Allah memaafkan segala kesalahan sepupu Nabi
yang bergelar tarjuman Al-Qur’an ini. Amin.
B. Nikah Mut’ah dan Idealisme Sebuah Keluarga
Tujuan dasar dari suatu pernikahan adalah untuk
mengembangbiakkan keturunan manusia secara sah (Q.S. 4.1; 16.72). Al-Qur’an
menyebut akad nikah dengan sebuah sebutan istimewa yang tidak sama dengan akad
lainnya, yakni mitsaqan ghalidzan / perjanjian yang amat kokoh (Q.S.
4.21) yang didasari oleh mawaddah dan rahmah (Q.S. 30.21). Keistimewaan
tersebut juga tergambar dalam melakukan ikrar nikah, dimana ijab qabul
baru dipandang sah jika menggunakan apa yang diistilahkan oleh Rasul dengan Kalimat
Allah, sebagaimana sabdanya:
استحللتم فروجهن
بكلمات الله
“Hubungan seks kalian menjadi halal atas dasar Kalimat Allah”
Rasulullah bahkan menyatakan bahwa perkawinan
adalah amanah Allah sebagaimana sabdanya:
اخذتموهن بامانة الله
”Kalian menerima isteri berdasarkan amanah Allah”[2]
Sebagai sebuah amanah, maka wajar jika perkawinan
mengakibatkan timbulnya hak dan
kewajiban secara timbal balik dan seimbang antara suami isteri. Suami
berkewajiban memberikan nafkah, tempat tinggal, dan perlindungan kepada
isterinya. Adapun kewajiban isteri adalah mengurus dan mengatur rumah tangga,
serta memelihara dan mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian maka tujuan perkawinan tidak hanya
terbatas pada hal-hal yang bersifat biologis yang menghalalkan hubungan seksual
antara kedua belah pihak, tetapi lebih luas, meliputi segala aspek kehidupan
rumah tangga, baik lahiriah maupum batiniah.
Dalam pandangan Islam, perkawinan pada prinsipnya
bersifat kekal, tidak dibatasi oleh rentang waktu tertentu. Meskipun demikian,
jika hak dan kewajiban salah satu pihak atau keduanya tidak terpenuhi, maka perkawinan
itu dapat diakhiri dengan perceraian. Demikian pula jika perkawinan putus
karena salah satu meninggal dunia, pasangannya yang masih hidup diperkenankan
menikah dengan pasangan lain.
Gambaran tentang esensi pernikahan di atas, tidak
dapat ditemukan dalam pernikahan mut’ah. Dalam pernikahan mut’ah, perkawinan
ditentukan untuk jangka waktu tertentu, tanpa ada kewajiban memberi nafkah dan
segala sesuatu yang diperlukan seperti tempat tinggal, obat-obatan, pakaian,
dan lain-lain. Kehamilan hanya didasarkan pada kesepakatan. Tidak ada saling
mewarisi, tidak ada lafadz talak, tidak disyaratkan adil jika ”dipoligami”.
Wanita hanya berhak mendapatkan mahar.[3]
Alhasil, dalam nikah mut’ah tidak ada tanggung jawab perkawinan. Pernikahan itu
dilakukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis, ketika seorang laki-laki atau
wanita harus berada di suatu tempat untuk jangka waktu tertentu.
Ahmad Amin—seorang cendekiawan asal Mesir—dalam
bukunya Dhuha al-Islam berkata: ”Yang dapat kita anggap sebagai sebuah
keluarga ideal adalah apabila seorang laki-laki hanya beristrikan satu orang
atau sebaliknya dengan tali perkawinan yang kuat dan langgeng, kemudian dapat
menghasilkan anak laki-laki atau perempuan. Alangkah jauhnya gambaran seperti
itu dalam perkawinan mut’ah”. [4]
C. Nikah mut’ah dan Kerugian Wanita
Islam sejak awal telah menunjukkan komitmen yang
besar untuk memberdayakan martabat perempuan. Hal itu terlihat dari berbagai
ketentuan agama yang menghapuskan kebiasaan buruk pra Islam, seperti menjadikan
wanita sebagai barang waris, mengubur wanita hidup-hidup, menjadikan wanita
sebagai gundik, berbagai bentuk perkawinan seperti nikah syighar, dan
lain-lain.
Mencermati hakikat sebuah perkawinan mut’ah, spirit
pemberdayaan tersebut sangat jauh dari cita-cita Islam. Yang terjadi adalah
menempatkan wanita pada posisi yang paling
dirugikan. Perkawinan ’berjangka’, menempatkan
wanita tidak lebih dari sebuah barang sewaan. Bahkan sebuah piala bergilir. Bermodal
sejumlah uang yang dijadikan mahar (upah?), seorang pria dapat ’menyewa’ wanita
tanpa tanggung jawab apapun. Ia bisa menyewanya satu jam, dua jam, satu minggu,
satu tahun, dan seterusnya. Sementara bekas ’suami’nya hengkang entah kemana,
sang wanita kesulitan membangun harga dirinya di hadapan masyarakat. Ia tidak
akan bisa melepaskan diri dari imej sebagai
’wanita tak berharga’. Jika perkawinan tersebut melahirkan seorang anak,
akan muncul persoalan sosial baru yakni lahirnya anak-anak dari ’ibu sewaan’.
Ketika media ramai memberitakan banyaknya praktek
mut’ah yang dilakukan wanita-wanita di beberapa wilayah di Jawa Barat dengan laki-laki Timur Tengah beberapa waktu
lalu, secara berkelakar Bapak Jusuf Kalla menyatakan ’restu’nya dengan alasan ’untuk memperbaiki keturunan’. Tentu
saja ini hanya sebuah kelakar, sebab beliau segera melakukan klarifikasi setelah
menjadi bulan-bulanan media.
Namun demikian, peristiwa tersebut setidaknya
menyisakan sejumlah fakta di hadapan kita. Pertama; bahwa praktek mut’ah tidak
pernah bisa diterima oleh nurani dan akal pikiran sehat, terbukti praktek
tersebut selalu melahirkan gelombang penolakan yang luar biasa. Dalam rentang
waktu dan ruang yang sangat berbeda, fatwa Ibn Abbas dan Yusuf Kalla melahirkan
reaksi yang sama. Kedua; rentannya posisi wanita. Ketika lahir anak-anak dari
perkawinan mut’ah sementara masa perjanjian mut’ah sudah berakhir, tidak mudah
bagi wanita tersebut untuk menuntut ’suami’nya bertanggung jawab membesarkan
dan membiayai hidup sang anak. Apalagi jika laki-lakinya berada di negeri nun jauh di sana. Alhasil, bukan
perbaikan keturunan yang terjadi, tetapi anak-anak yang diasuh oleh orang tua
tunggal yang tidak jelas siapa bapaknya. Sang wanita tidak hanya akan
menanggung beban moral, tetapi sekaligus beban materi yang tidak kecil.
Tanpa kelahiran seorang anak pun, secara materi
wanita sangat dirugikan, karena ia harus
menanggung seluruh biaya hidupnya sendiri selama menjalani masa mut’ah. Kalau
diandaikan wanita tersebut terkena penyakit akibat penyakit yang ditularkan
oleh ’suami’nya, seluruh biaya pengobatan dan perawatan pun harus ditanggungnya
sendiri. Belum lagi tekanan
psikis yang muncul dari perasaan sebagai wanita tak berharga serta pandangan
sosial yang sering tidak berpihak kepada perempuan, tentu akan berdampak serius
bagi kesehatan jiwa wanita dimaksud.
Alhasil, terlalu besar ongkos sosial yang harus
dikeluarkan oleh sebuah perkawinan mut’ah. Model pernikahan ini hanya akan
menjadi kampanye terburuk Islam di hadapan masyarakat dunia. Bisa dibayangkan,
apa yang akan terjadi jika wanita muslim
banyak yang dinikahi secara mut’ah??
D. Penutup
Perkawinan mut’ah tidak akan pernah memberikan
kemaslahatan kepada siapapun terutama bagi wanita. Yang muncul adalah persoalan-persoalan sosial
yang sangat merugikan. Praktek mut’ah sangat tidak sesuai dengan akhlak agama
serta nurani dan pikiran sehat. Benar di
awal Islam nikah mut’ah diperbolehkan. Nampaknya hal tersebut dalam rangka tadrij
(penahapan hukum) sebagaimana yang terjadi dalam kasus khamr. Situasi sosial
pada saat itu tidak memungkinkan dilakukan larangan sekaligus. Kalau Islam
membenarkan nikah mut’ah, bukankah itu akan sangat bertentangan dengan missi
Islam sendiri dalam menempatkan wanita pada posisi terhormat?
Allah A’lam bi al-Shawab
*.
[1] Muhammad al-Razi Fakr al-Din, Tafsir Fakhr al-Razi, j.5,
juz 10 (tt:Dar al-Fikr, tt), 51
[2] Hadits dikutip dari Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an,
(Jakarta: Mizan, 1998), 206
[3] Ja’far Murtadha Al-Amili, Nikah Mut’ah dalam
Islam, terj. Abu Muhammad Jawad (Jakarta: Yayasan As-Sajjad, 1992), 19-20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar