Minggu, 03 Maret 2013

NIKAH MUT’AH: KERUGIAN TERBESAR DI PIHAK WANITA


A. Pengantar

Konon, menjelang wafatnya Ibnu Abbas berdo’a:” Ya Allah sesungguhnya aku bertobat kepadaMu atas segala ucapanku (pendapatku) tentang nikah mut’ah. Dan dengan ini aku tarik segala pendapatku terdahulu tentang nikah mut’ah”. Memang masyhur diberitakan  bahwa sebelumnya Ibnu Abbas memperbolehkan nikah mut’ah. ’Ammar—salah seorang sahabat—bertanya kepada beliau:”Apakah mut’ah  itu sebuah perzinaan ataukah sebuah pernikahan?”. Ibnu Abbas menjawab: ”Bukan zina, juga bukan nikah”. ”Kalau begitu, lantas apa?”. Dengan lugas, beliau menjawab: ” Ya mut’ah, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah”. Lebih lanjut Ammar bertanya:”Apakah  dalam mut’ah berlaku ’iddah?”. ”Ya, ’iddahnya satu kali haidh”. ”Apakah keduanya saling mewarisi?”. Ibnu Abbas menjawab:”Tidak”.

Tak pelak, ”fatwa” tersebut segera beredar luas di kalangan masyarakat. Menyadari adanya potensi  terjadi kesimpangsiuran atas fatwanya, dengan segera beliau melakukan klarifikasi. Dalam klarifikasinya beliau berkata: ”Demi Allah, saya tidak menyatakan bahwa mut’ah itu boleh secara mutlak. Yang saya maksudkan adalah mut’ah itu boleh dalam keadaan terpaksa (darurat) sebagaimana kebolehan makan bangkai, darah, serta daging babi (dalam keadaan darurat)”.[1]

Demikianlah pada akhirnya beliau menarik pendapatnya dan menyatakan bahwa kebolehan mut’ah—termasuk dalam keadaan darurat-- telah dihapus (mansukh). Dan atas ’kesalahannya’, beliau meminta ma’af kepada Allah. Semoga Allah memaafkan segala kesalahan sepupu Nabi yang bergelar tarjuman Al-Qur’an ini. Amin.

 

B. Nikah Mut’ah dan Idealisme Sebuah Keluarga

Tujuan dasar dari suatu pernikahan adalah untuk mengembangbiakkan keturunan manusia secara sah (Q.S. 4.1; 16.72). Al-Qur’an menyebut akad nikah dengan sebuah sebutan istimewa yang tidak sama dengan akad lainnya, yakni mitsaqan ghalidzan / perjanjian yang amat kokoh (Q.S. 4.21) yang didasari oleh mawaddah dan rahmah (Q.S. 30.21). Keistimewaan tersebut juga tergambar dalam melakukan ikrar nikah, dimana ijab qabul baru dipandang sah jika menggunakan apa yang diistilahkan oleh Rasul dengan Kalimat Allah, sebagaimana sabdanya:

استحللتم فروجهن بكلمات الله

 “Hubungan seks kalian menjadi halal atas dasar Kalimat Allah”

Rasulullah bahkan menyatakan bahwa perkawinan adalah amanah Allah sebagaimana sabdanya:

اخذتموهن بامانة الله

”Kalian menerima isteri berdasarkan amanah Allah”[2]

Sebagai sebuah amanah, maka wajar jika perkawinan mengakibatkan timbulnya  hak dan kewajiban secara timbal balik dan seimbang antara suami isteri. Suami berkewajiban memberikan nafkah, tempat tinggal, dan perlindungan kepada isterinya. Adapun kewajiban isteri adalah mengurus dan mengatur rumah tangga, serta memelihara dan mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya.

Dengan demikian maka tujuan perkawinan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat biologis yang menghalalkan hubungan seksual antara kedua belah pihak, tetapi lebih luas, meliputi segala aspek kehidupan rumah tangga, baik lahiriah maupum batiniah.

Dalam pandangan Islam, perkawinan pada prinsipnya bersifat kekal, tidak dibatasi oleh rentang waktu tertentu. Meskipun demikian, jika hak dan kewajiban salah satu pihak atau keduanya tidak terpenuhi, maka perkawinan itu dapat diakhiri dengan perceraian. Demikian pula jika perkawinan putus karena salah satu meninggal dunia, pasangannya yang masih hidup diperkenankan menikah dengan pasangan lain.

Gambaran tentang esensi pernikahan di atas, tidak dapat ditemukan dalam pernikahan mut’ah. Dalam pernikahan mut’ah, perkawinan ditentukan untuk jangka waktu tertentu, tanpa ada kewajiban memberi nafkah dan segala sesuatu yang diperlukan seperti tempat tinggal, obat-obatan, pakaian, dan lain-lain. Kehamilan hanya didasarkan pada kesepakatan. Tidak ada saling mewarisi, tidak ada lafadz talak, tidak disyaratkan adil jika ”dipoligami”. Wanita hanya berhak mendapatkan mahar.[3] Alhasil, dalam nikah mut’ah tidak ada tanggung jawab perkawinan. Pernikahan itu dilakukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis, ketika seorang laki-laki atau wanita harus berada di suatu tempat untuk jangka waktu tertentu.

Ahmad Amin—seorang cendekiawan asal Mesir—dalam bukunya Dhuha al-Islam berkata: ”Yang dapat kita anggap sebagai sebuah keluarga ideal adalah apabila seorang laki-laki hanya beristrikan satu orang atau sebaliknya dengan tali perkawinan yang kuat dan langgeng, kemudian dapat menghasilkan anak laki-laki atau perempuan. Alangkah jauhnya gambaran seperti itu dalam perkawinan mut’ah”. [4]

 

C. Nikah mut’ah dan Kerugian Wanita

Islam sejak awal telah menunjukkan komitmen yang besar untuk memberdayakan martabat perempuan. Hal itu terlihat dari berbagai ketentuan agama yang menghapuskan kebiasaan buruk pra Islam, seperti menjadikan wanita sebagai barang waris, mengubur wanita hidup-hidup, menjadikan wanita sebagai gundik, berbagai bentuk perkawinan seperti nikah syighar, dan lain-lain.

Mencermati hakikat sebuah perkawinan mut’ah, spirit pemberdayaan tersebut sangat jauh dari cita-cita Islam. Yang terjadi adalah menempatkan wanita  pada posisi yang paling dirugikan.  Perkawinan ’berjangka’, menempatkan wanita tidak lebih dari sebuah barang sewaan. Bahkan sebuah piala bergilir. Bermodal sejumlah uang yang dijadikan mahar (upah?), seorang pria dapat ’menyewa’ wanita tanpa tanggung jawab apapun. Ia bisa menyewanya satu jam, dua jam, satu minggu, satu tahun, dan seterusnya. Sementara bekas ’suami’nya hengkang entah kemana, sang wanita kesulitan membangun harga dirinya di hadapan masyarakat. Ia tidak akan bisa melepaskan diri dari imej sebagai  ’wanita tak berharga’. Jika perkawinan tersebut melahirkan seorang anak, akan muncul persoalan sosial baru yakni lahirnya anak-anak dari ’ibu sewaan’.

Ketika media ramai memberitakan banyaknya praktek mut’ah yang dilakukan wanita-wanita di beberapa wilayah di Jawa Barat  dengan laki-laki Timur Tengah beberapa waktu lalu, secara berkelakar Bapak Jusuf Kalla menyatakan ’restu’nya dengan  alasan ’untuk memperbaiki keturunan’. Tentu saja ini hanya sebuah kelakar, sebab beliau segera melakukan klarifikasi setelah menjadi bulan-bulanan media.

Namun demikian, peristiwa tersebut setidaknya menyisakan sejumlah fakta di hadapan kita. Pertama; bahwa praktek mut’ah tidak pernah bisa diterima oleh nurani dan akal pikiran sehat, terbukti praktek tersebut selalu melahirkan gelombang penolakan yang luar biasa. Dalam rentang waktu dan ruang yang sangat berbeda, fatwa Ibn Abbas dan Yusuf Kalla melahirkan reaksi yang sama. Kedua; rentannya posisi wanita. Ketika lahir anak-anak dari perkawinan mut’ah sementara masa perjanjian mut’ah sudah berakhir, tidak mudah bagi wanita tersebut untuk menuntut ’suami’nya bertanggung jawab membesarkan dan membiayai hidup sang anak. Apalagi jika laki-lakinya berada di negeri nun jauh di sana. Alhasil, bukan perbaikan keturunan yang terjadi, tetapi anak-anak yang diasuh oleh orang tua tunggal yang tidak jelas siapa bapaknya. Sang wanita tidak hanya akan menanggung beban moral, tetapi sekaligus beban materi yang tidak kecil.

Tanpa kelahiran seorang anak pun, secara materi wanita sangat dirugikan, karena  ia harus menanggung seluruh biaya hidupnya sendiri selama menjalani masa mut’ah. Kalau diandaikan wanita tersebut terkena penyakit akibat penyakit yang ditularkan oleh ’suami’nya, seluruh biaya pengobatan dan perawatan pun harus ditanggungnya sendiri. Belum lagi tekanan psikis yang muncul dari perasaan sebagai wanita tak berharga serta pandangan sosial yang sering tidak berpihak kepada perempuan, tentu akan berdampak serius bagi kesehatan jiwa wanita dimaksud.

Alhasil, terlalu besar ongkos sosial yang harus dikeluarkan oleh sebuah perkawinan mut’ah. Model pernikahan ini hanya akan menjadi kampanye terburuk Islam di hadapan masyarakat dunia. Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi  jika wanita muslim banyak yang dinikahi secara mut’ah??

 

D. Penutup

Perkawinan mut’ah tidak akan pernah memberikan kemaslahatan kepada siapapun terutama bagi wanita.  Yang muncul adalah persoalan-persoalan sosial yang sangat merugikan. Praktek mut’ah sangat tidak sesuai dengan akhlak agama serta nurani dan pikiran  sehat. Benar di awal Islam nikah mut’ah diperbolehkan. Nampaknya hal  tersebut dalam rangka tadrij (penahapan hukum) sebagaimana yang terjadi dalam kasus khamr. Situasi sosial pada saat itu tidak memungkinkan dilakukan larangan sekaligus. Kalau Islam membenarkan nikah mut’ah, bukankah itu akan sangat bertentangan dengan missi Islam sendiri dalam menempatkan wanita pada posisi terhormat?

Allah A’lam bi al-Shawab

 



*.
[1] Muhammad al-Razi Fakr al-Din, Tafsir Fakhr al-Razi, j.5, juz 10 (tt:Dar al-Fikr, tt), 51
[2] Hadits dikutip dari Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 1998), 206
[3] Ja’far Murtadha Al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, terj. Abu Muhammad Jawad (Jakarta: Yayasan As-Sajjad, 1992), 19-20
[4] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, j.3 (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, t.t),  229

Tidak ada komentar:

Posting Komentar