Minggu, 03 Maret 2013

KALAU ADA MUT’AH KENAPA HARUS PAKAI KONDOM


A. Prolog
Nikah secara bahasa (Etimologi) berarti mengumpulkan, senggama, akad. Secara
umum, jumhur ulama pada umumnya lebih condong untuk mengartikan nikah dengan defenisi yang mengarah pada suatu akad untuk menghalalkan bersetubuh1. Meski
demikian penulis pada dasarnya lebih sepakat dengan rumusan defenisi perkawinan
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Artinya bahwa yang ingin penulis tekankan adalah bahwa dalam dimensi
pernikahan ada dua sisi penting yang saling terkait dan harusnya saling mendukung.
Pertama dimensi ibadah, kedua dimensi mu’asyaroh (pergaulan antar manusia). Dalam dataran ibadah, tolak ukur yang digunakan adalah sah atau tidaknya suatu perbuatan berdasarkan rukun dan syarat yang ada dalam nash. Sedang dalam ranah muasyaroh persoalan yang muncul kemudian adalah patut atau tidak perbuatan tersebut untuk
dilakukan (ranah moral atau etika).
Dengan begitu, pernikahan kemudian harusnya tidak lagi dihadapkan an sich
pada persoalan sah atau tidak, tetapi lebih pada sejauh mana pernikahan tersebut telah bermoral dan sesuai dengan etika. Termasuk dalam konteks nikah mut’ah yang akan
penulis bahas dalam lembaran-lembaran ini. Bila berbicara hanya dalam konteks nash
maka tentu tidak akan ditemukan titik temunya. Namun dalam hal etika, diharapkan akan lahir beberapa tawaran pemikiran dan perbandingan yang bisa jadi masih bisa didiskusikan lebih lanjut.
B. Defenisi Nikah Mut’ah
Mut’ah berasal dari mata’a, yamta’u, mat’an wa mut’atan yang berarti kesenangan
atau kenikmatan. Secara umum nikah mut’ah bisa diartikan sebagai pernikahan yang
nikah atau perkawinan dengan akad dan jangka waktu tertentu. Ada pula ulama fikih yang mendefinisikannya dengan “akad seorang laki-laki kepada wanita tertentu, seperti
sehari, seminggu, atau sebulan”.2
Defenisi lain yang hampir sama juga dikemukakan oleh ulama madzhab Syafi’i3
dan Maliki4, yang pada dasarnya menunjuk adanya pembatasan waktu tertentu.
Menurut ulama madzhab Syafi’i, madzhab Hanbali, dan Madzhab Maliki, nikah mut’ah
disebut juga dengan nikah muaqat (nikah yang dibatasi waktunya). Akan tetapi, ulama 1 Lihat Misalnya defenisi yang diajukan Imam Syafi’I, Maliki, dan Hanafi dalam Syaikh Humaidy
bin Abdul Aziz Al-Humaidy. 1992. Kawin Campur dalam Syariat Islam. Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka
Alkautsar, hal. 14
2 Dalam kitab At-Ta’rifat yang terdapat dalam CD Al-Maktabah asy-Syamilah, nikah mut’ah
didefinisikan sebagai ucapan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikah dalam jangka waktu tertentu.
ونكاح المتعة: هو أن يقول الرجل لامرأة: ذه العشرة وأتمتع بك مدة معلومة، فقبلته ه خذي .
3 Lihat dalam karya terbesar Syafi’I kitab Al-Umm dalam CD Maktabatul Fiqhi Wa Ushuluhu Juz V hal. 52
4 Lihat dalam Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani, Risalah Ibnu Zaid Ma’a Tsamriddani, Beirut: Dar al-
Fikr, Juz II hal. 56. kitab ini termasuk dalam kategori fikh Maliki dalam CD Maktabatul Fiqhi Wa Ushuluhu.
----------------------------------------------------------Kalau Ada Mut’ah Kenapa Harus Pakai Kondom
Pondok Pesantren
Universitas Islam Indonesia
- 2 -
madzhab Hanafi ada perbedaan antara nikah mut’ah dan muaqqat. Akad dalam nikah mut’ah menggunakan kata-kata mut’ah seperti kalimat mata’tuka nafsi. Sedangkan pada
nikah muaqqat tidak demikian5. Nikah mut’ah disebut juga nikah munqati’ (terputus)
C. Sejarah Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah merupakan warisan dari tradisi masyarakat pra Islam. Tradisi ini
dimaksudkan untuk melindungi wanita di lingkungan sukunya. Pada masa Islam, nikah
seperti ini mengalami pasang surut. Pada masa Rasulullah SAW, nikah mut’ah
mengalami beberapa kali perubahan hukum, dua kali dibolehkan dan dua kali dilarang, dan akhirnya diharamkan untuk selamanya. Pada masa sahabat, larangan Rasulullah SAW pada dasarnya tetap menjadi pegangan jumhur sahabat. Akan tetapi, ada sebagian kecil di antara mereka yang masih membenarkan, bahkan melakukan praktek nikah
mut’ah, seperti yang dilakukan oleh Jabir bin Abdullah.
Pada masa kekhalifahannya, Umar bin Al-Khattab (581-644) secara tegas melarang siapa saja yang melakukan nikah mut’ah dengan ancaman hukum rajam6.
Larangan Umar ini dapat menghentikan secara total praktek nikah mut’ah. Keadaan ini
tetap terpelihara sampai generasi berikutnya. Pada masa pemerintahan al-Ma’mun (Khalifah ke-7 Abbasiyah, 813-833 M), nikah mut’ah secara formal dibolehkan kembali.
Akan tetapi nikah mut’ah ini dilarang kembali oleh khalifah berikutnya, al-Mu’tashim
(833-842 M). Berbeda dengan aliran Sunni, aliran Syi’ah yang sejak semula membolehkan nikah seperti ini tetap mempertahankannya sampai sekarang, dan menjadi bagian dari
aturan hukum perkawinan yang mereka anut.
D. Hukum Nikah Mut’ah
Ulama sepakat bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan dan menjadi salah satu bentuk perkawinan pada periode awal pembinaan hukum Islam. Mereka berpendapat bahwa nikah mut’ah diperbolehkan karena pada saat itu umat Islam jumlahnya sedikit
dan keadaan ekonominya terbatas, sedangkan tenaganya dikonsentrasikan untuk
menghadapi musuh Islam. Keadaan seperti ini tidak memungkinkan mereka dapat hidup berkeluarga sebagaimana dikehendaki dari sebuah perkawinan.
Ulama fikih kemudian berselisih pendapat dalam dua hal pokok. Pertama, apakah nikah mut’ah itu diperbolehkan untuk seterusnya atau ada larangan yang
berlaku unuk selamanya. Kedua, ulama yang memandang nikah mut’ah itu dilarang
untuk selamanya berbeda pendapat tentang kapan larangan itu disampaikan Rasulullah
Saw.
Mengenai persoalan pertama, menurut ulama madzhab empat serta jumhur
sahabat dan tabi’in, yang dirujuk oleh kaum Sunni nikah mut’ah untuk selanjutnya
dilarang. Ada beberapa hal yang menjadi dasar larangan itu:
5 Dalam pandangan Hanafi, keharaman mut’ah telah menjadi ijma’ sahabat. Hanafi juga
mengemukakan beberapa penjabaran mengenai perbedaan hadis dan penafsiran sahabat tentang mut’ah.
Lebih lengkap lihat dalam kitab fikih hanafi, As-Sarkhosyi, 1993, Al-Mabsuth, Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, Juz V hal. 155.
6 Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam suatu riwayat yang dinukil dalam kitab Al-Mabsuth
روى عن عمر رضي الله عنه أنه قال: رجمت قبره ل اتيم جل تزوج امرأة إلى أجل إلا رجمته ولو أدرآته رب تي وأ لا
Diriwayatkan dari Umar. Ra. Bahwa ia berkata : aku tidak akan mendatangi seseorang yang menikahi wanita sampai batas waktu tertentu kecuali aku akan merajamnya, apabila aku menemukannya telah meninggal, aku akan merajam kuburnya. Lihat dalam Al-Mabsuth, Ibid.
----------------------------------------------------------Kalau AdaMut’ah Kenapa Harus Pakai Kondom
Pondok Pesantren
Universitas Islam Indonesia
- 3 -
1. larangan Rasulullah Saw dalam beberapa hadis. Menurut Ibnu Rusyd7 larangan tersebut diketahui secara mutawatir8. Seluruh hadis yang memuat larangan ini
menurut ahli hadis adalah sahih9. Diantaranya adalah hadis riwayat Ibnu Majah, Rasulullah bersabda, “wahai sekalian manusia, aku telah membolehkan kalian melakukan nikah mut’ah. Ketahuilah! Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat nanti.”10
2. sebagian ulama berpendapat bahwa keharaman nikah mut’ah dalam Islam sudah
merupakan hasil ijmak.
3. dilihat dari tujuannya, nikah mut’ah hanya untuk memenuhi kebutuhan syahwat, bukan untuk menjaga kesejahteraan dan kelangsungan keturunan, sebagaimana diharapkan dari perkawinan11.
Beberapa ulama lainnya dikalangan sahabat dan tabi’in, antara lain Ibnu mas’ud
dan Ibnu Abbas memandang sebaliknya, yakni nikah mut’ah masih boleh dilakukan. Hal
ini didasarkan pada surah an-Nisa’ (4) ayat 24
􀂵􀃊􀀄􀀇􀁖􀁻􀂵􀁐􀁀􀀜􀀇􀀆 􀁡􀁇􀂵􀀥 􀀰􀂡􀂆􀁀􀁖􀂧􀃙􀂌􀃅☺􀃞􀀜􀀇􀀆􀂋􀂈 
􀃜􀀱􀃆􀀙􀃉􀁀􀂡􀁠☺􀃝􀁥 􀃚􀀰􀂌􀀖􀂄􀀠􀂍􀀥 􀀇􀂍􀀥 􀁸􀂊􀂴􀀌 􀂈􀀉 􀁖􀀠􀂡􀂍􀀪􀂵􀀑 􀀋
􀃜􀀱􀃊􀀖􀃞􀁭􀂄􀀠􀂍 􀂐􀀄􀀇􀀆 􀃌 􀂅􀀣􀂵􀂁􀃏 􀀗 􀀉􀂋􀂈 􀀇􀂅􀀥 􀀱􀃊􀀖􀂌􀀜
􀂋􀃊􀀄􀀆􀂋􀁳􀂋􀂈 􀃜􀀱􀃆􀀙􀂵􀀜􀂠􀂌 􀁮 􀀋􀀆􀂉􀃊􀃙􀂍􀀩􀃜􀀙􀂌􀀢 􀁉􀂈􀀉
􀀱􀃊􀀖􀂵􀀜􀂠􀂋􀂉􀃞􀀥􀂈􀀊􀂴􀀒 􀂋􀁰􀃜􀁯⌧􀃔 􀂍􀀸􀀹􀂵􀁀􀂫􀂧􀃞􀂍􀁴􀀦
􀀇􀁠 􀀗 􀁛􀃠􀀹􀂫􀂌􀂵􀃡􀂡􀁖􀁻􀃉􀀥 ☺􀂌􀃟 􀀯􀃊􀃐􀃝􀃎􀂍􀀪􀃚☺􀂍􀀪􀃙􀁚􀀇􀀆
􀁽􀁇􀃎􀁋􀂉􀃎􀀢􀀇􀂍􀂐􀂌􀃟 􀁽􀁇􀃋􀁒􀃝􀁄􀂵􀀥 􀂤􀂵􀂁􀂴􀀒
􀁠􀁠􀀇􀂆􀁀􀃉􀁆 􀁹􀂊􀂋􀂈 􀀗 􀁁􀂇􀁹􀂸􀁥􀂲􀁯􀂌􀃟 􀂂􀂬􀃎􀁋􀂋􀁳􀂉􀃉􀁆􀃏􀀉
􀃜􀀱􀃊􀀖􀃞􀁭􀂄􀀠􀂍􀃌 􀀇􀁠☺􀁬 􀂵􀃟 􀂤􀂵􀂁􀂴􀀒 􀀲􀃍􀀩􀃝􀁱􀁖􀂰􀂠􀂍􀁯􀂌􀀢
􀀑􀁇􀂵􀀥 􀂎􀀄􀀇􀀆 􀂅􀁉􀂴􀀌 􀀗 􀂵􀂇􀁹􀂸􀁥􀂲􀁯⌧􀃡􀃞􀀜􀀇􀀆 􀂵􀁫􀃝􀃎􀂍􀀒
􀀇􀂞☺􀁬􀂴􀀠􀂍 􀂍􀁉􀀈⌧􀀑 􀃉 􀀇􀀽☺ 􀁬􀂫􀀖􀁠􀂁 􀂭􀂱􀂳􀂮
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
7 Lihat dalam fikih muqarin Ibnu Rusyd, Tanpa Tahun, Bidayatul Mujatahid Wa Nihayatul Muqtasid, Tanpa Tempat Penerbit: Dar Al-Ma’rifat, Juz II hal. 259.
8 Artinya berita larangan Rasulullah terhadap nikah mut’ah diketahui secara luas oleh banyak orang
dan diterima dari banyak orang pula, sehingga mustahil diantara mereka terjadi kesepakatan untuk berdusta.
Lebih lanjut tentang defenisi mutawatir dapat dilihat di Abul Faidl al-Katany, 1997, Nadmul Mutanasir Fi
al-Ahadits Al-Mutawatir, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, hal. 1
9 Terkait dengan defenisi hadis shahih, jumhur ulama sepakat bahwa defenisi dan indikasi hadis shahih ada lima hal: Sanad yang tersambung, perawi yang adil dan dhabith dalam semua tingkatan, tidak
syadz (langka) dan tidak ada cela (illat) di dalamnya. Lihat Misalnya dalam Ibnu Sholah, 1997, Muqaddimah Ibnu Sholah, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, hal 3. صحيح لا يث دحلا أما : نقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ب ذي يتصل إسناده لا حديث المسند، لا هو ف
ًلالعملاو ،ًاذاش ولايكون
10 Hadis lain yang juga sering digunanakan oleh empat madzhab adalah perkataan Ali yang disampaikan pada Ibnu Abbas tentang pengharaman nikah mut’ah. Lihat dalam Abu Laits as-Samarqandi,
Al-Muhaddzab, tanpa tempat Penerbit, Dar Ihya’ at-Turats Al-Araby, Juz II hal. 68.
11 Mengenai tujuan dan konsep perkawinan dapat dilihat misalnya dalam Al-Quran surat Annisa’: 3; Surat Al-Baqarah 230; atau surat ar-Rum ayat 30 yang berbunyi مٍْوَقِّل تٍ اَيَلأ كَ ِلَذ يِ ف نَّ ِإ ةً َمْحَرَو ةً َّدَوَّم مُ كَنْيَب لَ َعَجَو اَ هْيَلِإ ا وُنُكْسَتِّل ا ًجاَوْزَأ مُكِسُفنَأ نْ ِّم مُ كَل قَ َلَخ نْ َأ هِ ِتاَياَء نِمَو
----------------------------------------------------------Kalau Ada Mut’ah Kenapa Harus Pakai Kondom
Pondok Pesantren
Universitas Islam Indonesia
- 4 -
tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dalam satu qiraatnya, mereka menambahkan kalimat ilaa ajal musamma (sampai
batas waktu tertentu), sehingga ayat tersebut dapat dijadikan acuan hukum dalam
memperbolehkan nikah mut’ah. Menurut Ibnu Abbas, nikah mut’ah diperbolehkan
sejauh dibutuhkan dan dalam situasi darurat atau terpaksa12.
Adapun mengenai persoalan kedua, ulama berbeda pendapat karena terdapat
beberapa hadis yang berbeda satu sama lain.menurut hadis riwayat Ali Bin Abi Thalib, nikah mut’ah itu diharamkan pada saat perang khaibar (628 M), bersamaan dengan diharamkannya memakan daging himar. Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Abu Dawud dari ar-Rabi bin Saburah, larangan itu terjadi pada saat haji wadak Nabi
Saw. Adapun menurut hadis yang diriwayatlan oleh Imam Muslim dari Ilyas bin Salamah dari ayahnya, Rasulullah Saw melarang pada sahabat pada hari ketiga setelah
perang autas.
Imam Nawawi (ahli hadis) menegaskan kronologi terjadinya perubahan dari dibolehkan sampai dilarangnya nikah mut’ah oleh Rasulullah Saw. Pertama, nikah mut’ah dibolehkan sebanyak dua kali, yaitu sebelum perang khaibar dan ketika futuh
(penaklukan) mekah atau perang Autas sampai hari ketiga. Kedua, larangannya juga
dua kali, yaitu pada masa perang khaibar dan setelah futuh Mekah. Setelah itu, menurutnya lebih lanjut, Nabi Saw mengharamkan untuk selamanya sampai hari
kiamat.
E. Nikah Mut’ah di Kalangan Syi’ah
Menurut Syi’ah, nikah mut’ah tetap dibolehkan atau dihalalkan sampai sekarang, sama halnya dengan nikah permanen (nikah daim). Hal ini didasarkan pada beberapa
hal13:
1. Surat An-Nisa’ (4) ayat 24 menurut qiraah Ibnu Mas’ud yang didalamnya
disisipkan kalimat ilaa ajal musamma. Mereka menolak pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut hukumnya sudah dinasakhkan oelh dalil lain
atau ijmak ulama.
2. Hadis yang membolehkan nikah mut’ah, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim dari ar-Rabi’ bin Saburah dari jabir bin Abdullah.
3. Pendapat beberapa orang sahabat (seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Jabir Bin Abdullah, dan abu said al-khudri) dan tabi’in (seperti ata bin Abi Rabah dan Said
bin jubair)
Nikah mut’ah memiliki beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi.
Menurut ulama Syi’ah, syarat-syarat tersebut adalah baligh, berakal, dan tidak ada halangan syar’i untuk melangsungkanya seperti adanya pertalian nasab, saudara sesusuan atau masih menjadi istri orang lain. Adapaun rukun nikah mut’ah yang harus
dipenuhi adalah sighat (ikrar nikah mut’ah), calon istri, mahar/ maskawin, dan batas
waktu tertentu.
12 Bahkan dalam suatu riwayat yang sangat terkenal Ibnu Abbas pernah berkata, ما آانت الم قي ش تعة إلا رحمة من الله عز وجل رحم بها أمة محمد ، ولولا نهي عمر عنها ما اضطر إلى الزنا إلا
“Mut’ah merupakan Rahmat yang diberikan oleh Swt. Kepada umat Muhammad. Jika Umar tidak pernah melarangnya, maka tidaklah pernah akan terjerumus ke lembah zina kecuali orang yang merugi”. Lihat dalam Ibnu Rusyd, Tanpa Tahun, Bidayatul Mujatahid..........Opcit.
13 Abdul Aziz Dahlan (et al.), 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid IV, hal. 1346
----------------------------------------------------------Kalau Ada Mut’ah Kenapa Harus Pakai Kondom
Disamping syarat dan rukun di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan14;
1. calon istri hendaknya wanita muslim atau wanita kitabiyah (beragama nasrani atau yahudi). Dalam hal ini dianjurkan mengawini awnita baik-baik, sedangkan wanita tunasusila dihukumkan makruh.
2. batas waktu harus ditentukan pada saat akad berlangsung.
3. besar kecilnya mahar juga disebutkan pada saat akad, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak
Dalam kehidupan suami istri terdapat beberapa aturan yang hars dipatuhi:
1. apabila saat akad hanya disebutkan besarnya upah, bukan mahar, maka akadnya batal. Apabila mahar disebutkan, tetapi penentuan batas waktu tidak di tentukan, maka hukumnya menjadi nikah biasa.
2. anak yang dihasilkan dari pernikahan ini menjadi tanggung jawab suami dan hanya mempunyai garis keturunan kepada pihak ayah.
3. dalam pergaulan suami istri, pihak istri tidak diperbolehkan menolak melakukan hubungan badan, namun dibolehkan menolak terjadinya kehamilan dengan melakukan langkah-langkah pencegahannya.
4. suami tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya
5. bagi suami dan istri tidak berlaku adanya talak, karena dengan berakhirnya masa yang telah ditentukan, maka berakhir pula ikatan perkawinan mereka tanpa ucapan talak.
6. di antara suami dan istri tidak ada hak waris mewarisi
7. anak memiliki hak mewarisi dari pihak ayah dan ibu, dan keduanya berhak mendapatkan warisan dari anak tersebut
8. berakhirnya masa iddah: a) apabila istri termasuk wanita haid maka iddahnya setelah melewati dua kali haid, b) jika tidak keluar haid maka iddahnya 45 hari, c) apabila istri ditinggal mati suaminya atau dalam keadaan hamil, maka iddahnya san dengan hikah permanen.
Nikah Mut’ah di Republik Islam Iran (yang menganut paham Syi’ah) diatur dalam bab enam Undang-Undang Hukum Perdata. Pelaksanaannya dilakukan secara ketat dan hati-hati. Dalam undang-undang tersebut disebutkan: 1) Perkawinan mut’ah untuk waktu tertentu karena diputuskan untuk suatu jangka waktu tertentu pula, 2) Masa perkawinan sementara itu harus disepakati secara spesifik, dan 3) Hukum yang berkenaan dengan mahar dan pewarisan sama dengan yang disebutkan dalam bab yang berkaitan dengan mahar dan pewarisan. Berdasarkan undang-undang ini, seluruh pasal yang berlaku untuk nikah permanen berlaku pula untuk nikah mut’ah, kecuali untuk pasal-pasal yang menunjuk secara khusus. Begitu pula syarat-syarat yang ditentukan bagi orang-orang yang ingin membuat ikatan nikah permanen berlaku bagi nikah mut’ah15.
F. Dari Mana Perbedaan Itu Muncul
F.1. Tumpang Tindih Hadis
Menurut hemat penulis persoalan mut’ah dan perbedaan pendapat tentang hukumnya hanyalah persoalan tumpang tindih hadis saja16. Belum lagi masalah
14 Ibid
15 Ibid
16 Menurut Al-Mawardi dalam kitab “Al-Hawi”, penentuan posisi pengharaman nikah mut’ah bisa dilihat dari dua hal: pertama, pelarangan mut’ah sengaja dilakukan berulang kali oleh nabi karena tidak semua sahabat berkumpul pada satu majlis dan agar berita pelarangan tersebut meyebar luas sehingga perlu adanya pengulangan. Kedua, nabi memang sempat melakukan pembolehan beberapa kali, sehingga di hadis Pondok Pesantren
Universitas Islam Indonesia
- 5 -
----------------------------------------------------------Kalau Ada Mut’ah Kenapa Harus Pakai Kondom
Pondok Pesantren
Universitas Islam Indonesia
- 6 -
hukumnya, masalah waktu dan sejarah pembolehan dan pelarangan mut’ah oleh nabi
saja, ulama masih berbeda pendapat. Sehingga sangat wajar bila kemudian terjadi
perbedaan yang luar biasa panjang tentang nikah mut’ah, terutama bila dikaitkan
dengan esensi dari pernikahan. Perbedaan ini semakin menjadi-jadi karena kasus
ikhtilaf nikah mut’ah ini terjadi tidak dalam satu rumpun “aliran”, namun dalam dua blok yang dikenal telah bertikai sangat lama, yakni Sunni dan Syi’ah.
Bagi penulis, persepsi umum yang seolah-olah sangat alergi dengan istilah
mut’ah tidak lepas dari sejarah Sunni dan Syi’ah itu sendiri. Mut’ah terlampau begitu
melekat dengan Syi’ah, sedang pengharaman mut’ah begitu lantang didengungkan kaum Sunni. Sementara di sisi lain, dalam dunia Islam sendiri kaum Sunni memiliki jumlah
umat lebih banyak dari pada Syi’ah, meskipun menurut hemat penulis, hal itu tidak
lepas dari faktor politis17. Padahal dengan jelas Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, yang notabene juga dianut oleh Sunni, memperbolehkan mut’ah.
Sementara pengharaman nikah mut’ah oleh Umar pada masa kekhalifahannya, menurut penulis tidak tepat bila merupakan ketentuan hukum yang berlaku absolut.
Pelarangan tersebut lebih bersifat kasuistik dan temporal. Sama persis dengan ijtihad
Umar yang tidak memotong tangan pencuri. Hal itu dapat kita pahami bila kita meneliti
perkataan Jabir yang menyatakan bahwa pengharaman mut’ah pada masa umar dilakukan karena kasus Amru bin Huraits. Bahkan menurut Jabir, Umar lah orang
pertama yang melarang mut’ah secara umum18.
F.2. Konsep Penerimaan Hadis yang Berbeda
Perbedaan penerimaan hadis ini bermula dari perbedaan pandangan kaum Syi’ah
dan Sunni tentang keadilan sahabat (‘Adalat as-Sahabat). Bagi kaum Sunni dalam hal
penelitian hadis, keadilan sahabat adalah suatu hal yang mutlak dan tidak perlu
diperdebatkan. Sehingga Al-Jarhu wa at-Ta’dil tidak berlaku pada kalangan sahabat.
Sementara dalam keyakinan Syi’ah, tidak semua sahabat nabi termasuk orang yang adil.
Sehingga untuk menjaga otentisitas hadis, kaum Syi’ah hanya menerima hadis dari ahlul
bait saja. Itulah mengapa hadis-hadis yang meriwayatkan pengharaman nikah dari
kaum Sunni tidak diakui oleh Syi’ah19.
terakhir nabi menekankan dengan kata-kata Ila Yaumil Qiyamah sebagai bentuk ta’kid. Lihat Al Asqalani.
Fathul Bari bisyarhi Sohihil Bukhori. Jilid 9 .Hal 175. 17 Semenjak kalahnya Ali dalam peristiwa tahkim, maka secara otomatis pihak non Ali yang
berkuasa. Kebetulan penguasa-penguasa tersebut selanjutnya mayoritas beraliran Sunni. Maskipun ada pengecualian bagi beberapa penguasa. Umumnya mereka berprilaku diskriminatif terhadap kaum Syi’ah.
Sehingga sebenarnya posisi tersudutkan dan terkafirkan telah dilekatkan pada Syi’ah oleh sejarah.
18 Lihat dalam pernyataan Jabir berikut ةَِضْبَقْلاِب عِتْمَتْسَن اَّ نُآ لوُقَي هَّللا دِ ْبَع نَ ْب رَ ِباَج نْ َع مَ َّلَسَو هِ ْيَلَع هُ َّللا ىَّ لَص هَّللا لوُسَر دِ ْهَع ىَ لَع ماَّيَأْلا قِ يِقَّدلاَو رِ ْمَّتلا نْ ِم
ثٍْيَرُح نِ ْب وِ رْمَع نِ ْأَش يِ ف رُ َمُع هُ ْنَع ىَ هَن ىَّ تَح رٍ ْكَب يِ بَأَو
Dari Jabir : Kami nikah mut’ah dengan segenggam kurma dan tepung pada zaman Nabi dan
Abubakar dan Umar sampai Umar melarang kami karena masalah Amru bin Huraits. Baca An-Nawawi. Muhyiddin Sohih Muslim Bisyarhin Nawawi. Kitab Nikah Bab Nikahul Mut’ah, wa bayan annahu ubiiha y Tsumma Nusikh Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha Da rul Ma’rifah. Beirut Tanpa Tahun : 9 : 186. Hadits no. 3402
19 Lebih lanjut lihat dalam konsep ‘Adalat as-Sahabat atau penerimaan terhadap perkataan sahabat di kitab Sunni seperti Abdul Wahab Khallaf, 1978, ‘Ilmu Ushul al-Fiqhi, Mesir: Dar al-Qalam, Cet. XII, hal.
94-96. Sementara keyakinan Syi’ah terhadap sahabat dapat dilihat dalam Muhammad Baltaajji, 2004, Manaahij Al Tasyri’ al Islaami fi Al Qurni Al Tsanii Al Hijriy,Kairo: Dar as-Salam, Jilid I, hal. 173
----------------------------------------------------------Kalau Ada Mut’ah Kenapa Harus Pakai Kondom
Pondok Pesantren
Universitas Islam Indonesia
- 7 -
Bagaimana dengan hadis dari Ali, Ahlul Bait dan imam Syi’ah yang
mengharamkan mut’ah?
نََمَز ةِ َّيِلْهَأْلا رُمُحْلا مِ وُحُل نَعَو ةِ َعْتُمْلا نْ َع ىَ هَن مَ َّلَسَو هِ ْيَلَع هَّللا ىَّ لَص يَّ ِبَّنلا نَّ ِإ ساَّبَع نْباِل لاَق هُ ْنَع هُ َّللا يَ ِضَر ا يِلَع نَّ َأ رََبْيَخ
Ali Ra berkata kepada Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi saw melarang mut’ah dan makan daging keledai jinak pada perang khaibar20.
Bagi penulis, yang perlu diperhatikan adalah hadis ini masih melahirkan banyak
pertentangan di antara para ulama. Hadis ini tentu saja ditolak oleh kaum Syi’ah, karena
tidak semua perawinya berasal dari ahli bait. Di sisi lain, setelah keluarnya hadis ini,
ulama sepakat bahwa nabi masih membolehkan melakukan nikah mut’ah kembali. Baru
kemudian terjadi perbedaan apakah nabi melarangnya kembali atau tidak. Asbabul
Wurud (penyebab lahirnya hadis) secara umum menyatakan bahwa hadis ini bermula ketika Ibnu Abbas memberikan ajaran rukhsoh untuk melakukan mut’ah, kemudian Ali
mengingatkannya bahwa nabi pernah melakukan larangan terhadapnya21. Disamping
itu Ibnu Abbas22 sendiri tetap mempertahankan keyakinan yang Ia miliki sampai akhir
hayatnya.
G. Kenapa Mut’ah Terus Bermasalah; Tuduhan dan Jawaban
G.1. Mut’ah melegalkan Zina
Bermut’ah dengan berzina adalah dua hal yang sangat berbeda. Nabi tidak
pernah sekalipun menghalalkan zina. Sementara mut’ah adalah perbuatan yang semua
ulama sepakat bahwa nabi pernah menghalalkannya. Itu artinya ada manfaat syar’iy dan
alasan tertentu yang melatarbelakangi keputusan nabi. Hal ini dapat dilihat dari sejarah
mut’ah itu sendiri.
Sementara bila nikah mut’ah dianggap sebagai pelampiasan nafsu saja (gharizah
jinsiyyah), itu juga adalah satu hal yang tidak sepenuhnya dibenarkan. Karena pada
prinsipnya, nikah jenis apapun namanya memang diarahkan untuk melampiaskan
nafsu. Namun yang jadi masalah adalah apakah nafsu itu dilampiaskan secara syar’iy
(tidak liar) ataukah tidak. Sehingga pelampiasan nafsu bukanlah menjadi tolak ukur
dalam sebuah sahnya pernikahan atau tercapainya tujuan pernikahan. Disamping itu
zina jelas tidak didasarkan pada pondasi yang jelas, karena tidak terikat dengan syarat
dan rukun tertentu. Sementara mut’ah adalah sebaliknya.
G.2. Mut’ah Hanya Menjadikan Wanita Sebagai Korban
Pernyataan ini meskipun sekilas tampak beralasan, namun bila kita paham konsep mut’ah secara baik maka kita sadar bahwa pernyataan tersebut tidak bisa diberlakukan pada nikah mut’ah. Pasalnya, nikah mut’ah lebih menyerupai perjanjian perdata yang mengikat dan mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Sehingga bisa dipastikan bahwa wanita dalam hal ini memiliki hak untuk menentukan hak-hak
yang harusnya ia miliki dan dapatkan dari suaminya.
20 Al Asqalani. Fathul Bari bisyarhi Sohihil Bukhori. Jilid 9 .Hal 166 21 Ibid, hal 169
22 Beliau adalah sahabat yang langsung didoakan oleh nabi, “ya Allah jadikan Ibnu Abbas orang
yang ‘alim dalam ilmu agama dan memiliki pemahaman tentang takwil”. Sehingga beliau adalah tokoh
mufassir yang sangat dipercaya pasca nabi. Lihat misalnya dalam Ibnu Hibban, Tanpa Tahun, Shohih Ibnu Hibban, Beirut: Dar Al- Fikr, Juz VI hal. 329 hadis ke 6491.
----------------------------------------------------------Kalau Ada Mut’ah Kenapa Harus Pakai Kondom
Pondok Pesantren
Universitas Islam Indonesia
- 8 -
Meskipun seorang wanita yang dimut’ah pada dasarnya tidak berhak untuk mendapat warisan atau nafkah dari lelaki yang melakukan mut’ah kepadanya23, namun
hal itu masih boleh diberlakukan sejauh disepakati oleh kedua belah pihak. Seandainya tidak disepakati baru mengacu pada prinsip-prinsip umum mut’ah. Dan yang perlu
menjadi catatan penting adalah bahwa wanita yang telah dimut’ah tidak diperbolehkan
melakukan mut’ah lagi sebelum habis masa yang telah ditentukan. Sehingga jelas tidak
ada unsur keliaran di dalamnya.
G.3. Mut’ah Menyalahi Tujuan Perkawinan
Secara umum tujuan dan fungsi pernikahan adalah:
a. Memperoleh kehidupan sakinah, mawaddah dan rahmah24
b. Menjaga kehormatan
c. Regenerasi/reproduksi25
d. Pemenuhan kebutuhan biologis26
e. Ibadah
Dari poin-poin tersebut yang mungkin dianggap bermasalah adalah poin a dan e. Sedangkan poin yang lain, dengan kasat mata telah terpenuhi oleh mut’ah. Terutama
poin b yang menjadi tujuan utama dari mut’ah, yaitu menjaga kehormatan dan kemaluan
seorang muslim.
Untuk tujuan membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, orang
cenderung memandang sebelah mata dan sisi saja. Orang lebih fokus pada istilah
kontrak dan adanya waktu tertentu saja. Padahal kalau kita berpikir lebih jauh, akan kita
temukan banyak keluarga yang terselamatkan karena mut’ah dan justru terselamatkan
dari perbuatan selingkuh di luar syar’iy. Disamping itu lelaki yang melakukan mut’ah
tidak sepenuhnya lepas dari wanita yang dimut’ah sehabis masa kontraknya. Bila ada anak Ia masih memiliki kewajiban membiayai anak tersebut, atau juga perjanjian
perdata lainnya yang diatur dalam kontrak di awal. Bahkan perubahan dari nikah mut’ah (kontrak) pada nikah da’im (permanen) juga diperbolehkan.
Pada poin e, tampaknya apa yang menjadi keyakinan kaum Syi’ah telah
disampaikan oleh Abu Ja’far dapat dijadikan jawaban
عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ ع قال: قُلْتُ لَهُ: (لِلْمُتَمَتِّعِ ثَوَ بٌا ؟ قَ لَا : إِنْ آَ نَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ وَجْهَ للهِا تَعَ ىَلا وَخِلاَفًا عَ ىَل
مَنْ أَنْكَرَهَا لَمْ يُكَلِّمْهَا آَلِمَةً إِلاَّ آَتَبَ للهُا تَعَ ىَلا لَهُ بِهَا حَسَنَةً، وَلَمْ يَمُدْ يَدَهُ إِلَيْهَا إِلاَّ آَتَبَ هُل حَسَنَةً،
23 Al Sistani. Ali. Minhajusholihin. www.al-shia.com. Tanpa Tahun Jilid 3 hal 8 24 Lihat dalam Surat Ar-Rum Ayat 21
ومن ءاياته أن خلق وا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون نكستل م أزواجا كسفنأ لكم من
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah ia menciptakan untuk isteri-isteri dari jenis sendiri, supaya kamu merasa tentram dengannya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang mengetahui”
25 Lihat Surat an-Nahl ayat 72
ؤمن ي ات أفبالباطل بيطلا والله جعل لكم من أنفسكم أزواجا وجعل لكم من أزواجكم بنين وحفدة ورزقكم من ون وبنعمة الله
هم يكفرون
Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-
isteri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah? 26 Lihat Misalnya Al-Baqarah 187 dan 223
أنتم لباس لهن و هن لباس لكم
نساؤآم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم
----------------------------------------------------------Kalau Ada Mut’ah Kenapa Harus Pakai Kondom
Pondok Pesantren
Universitas Islam Indonesia
- 9 -
فَإِذَا دَنَا مِنْهَا غَفَرَ للهُا تَعَ لَا ى لَهُ بِذَلِكَ ذَنْبًا، فَإِذَ غْا ا تَسَلَ غَفَرَ لَهُ بِقَدْرِ مَا مَََََََََََََََّ ر مِنَ لْا مَ ءِا عَ ىَل شَعْرِهِ،
قُلْتُ: بِعَدَدِ شَّلا عْرِ؟ قَ لَا : نَعَمْ بِعَدَدِ عْرِ))
Dari Sholeh bin Uqbah, dari ayahnya, aku bertanya pada Abu Abdullah, apakah orang yang bermut’ah mendapat pahala? Jawabnya : jika karena mengharap pahala Allah dan tidak
menyelisihi wanita itu, maka setiap lelaki itu berbicara padanya pasti Allah menuliskan kebaikan sebagai balasannya, setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu pasti diberi pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya pasti Allah mengampuni sebuah dosa sebagai
balasannya, jika dia mandi maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi. Aku bertanya : sebanyak jumlah rambut? Jawabnya :
Ya, sebanyak jumlah rambut27.
G.4. Mut’ah Vs Poligami
Sebagian orang mungkin saja bertanya, kalau memang butuh wanita lain sebagai penyaluran nafsu dengan jalan syar’iy kenapa harus mut’ah? bukankah dengan poligami
yang disepakati oleh kedua belah pihak (Sunni dan Syi’ah) bisa jadi jalan keluar? Mana yang lebih baik diantara keduanya?
Yang sering jadi permasalahan, baik dalam poligami ataupun mut’ah adalah
konsep perbuatan adil suami pada perempuan. Yang menjadi tolak ukur biasanya adalah istri pertama dari seorang laki-laki yang berpoligami atau bermut’ah. Artinya
sejauh istri pertama baik-baik saja dan tidak tersakiti, maka itu mengindikasikan
terhadap adanya keadilan suami. Secara konsep, hal ini tidak bisa kita bicarakan dengan
menggunakan pendekatan naqli, karena ada perbedaan yang sangat mendasar. Namun secara logika, bila kita kembalikan pada seorang istri untuk memilih dipoligami atau dimut’ah, maka secara manusiawi tampaknya seorang istri akan lebih menerima untuk
dimut’ah, setidaknya pendapat penulis ini didukung oleh beberapa alasan:
• Secara manusiawi, wanita tidak suka bila cinta suaminya terbagi
• Wanita akan lebih memilih berbagi ranjang dari pada berbagi cinta
• Wanita akan lebih memilih mut’ah karena batas waktu berakhirnya hubungan lebih jelas.
• Istri yang suaminya melakukan mut’ah masih merasa tetap dinomor satukan. Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi dalam poligami, sehingga merasa lebih tenang.
Semua indikasi di atas. Bagi penulis setidaknya dapat memberikan jawaban
terhadap pertanyaan di atas. Sehingga secara umum, dalam hal menjaga eksistensi dan asas keterbukaan dalam sebuah keluarga, maka mut’ah tetap harus menjadi
pertimbangan yang tidak selalu harus dianggap sebagai suatu yang dapat merusak
keluarga.
H. Bagaimana Dengan Tawaran ini
H.1. Pacaran Islami Ala Mut’ah28
Mut’ah secara konseptual ditujukan untuk menjaga kehormatan seorang laki-laki
dan mengarahkan pada hal-hal yang memiliki landasan syar’iy. dalam pandangan
penulis, orang seringkali membentuk opini yang tidak berimbang. Pacaran dengan 27 Al Qummi. Muhammad bin Ali bin Husein bin Babawaih. Man La yahdhuruhul faqih. www.al-
shia.com Tanpa Tahun. Jilid 3. Hal 464 28 Catatan: ide ini merupakan ide yang keluar ketika penulis dalam kondisi jadzab. Hal ini juga sering kali terjadi pada beberapa fakih (ahli fikih) ketika mereka menuangkan pemikiran mereka dalam bentuk tulisan. Sehingga memang agak keluar dari alur pembahasan, namun tetap relevan untuk
didiskusikan.
----------------------------------------------------------Kalau Ada Mut’ah Kenapa Harus Pakai Kondom
berbagai aktivitas didalamnya dianggap hal yang wajar, sedang mut’ah langsung dikonotasikan negatif. Padahal jelas dalam hal epistemologi, mut’ah lebih memiliki landasan yang kuat.
Budaya pacaran yang ada jelas hukumnya haram dan harus dijauhi. Penulis mencoba memberikan penawaran dalam hal ini. Dari pada melakukan budaya pacaran yang sering kali berlandaskan nafsu dan penipuan, maka akan lebih jelas bila pacaran itu dibingkai dalam suatu perjanjian kontraktual (mut’ah). Dalam perjanjian itu, boleh-boleh saja dicantumkan beberapa kesepakatan, termasuk syarat tidak adanya hubungan badan. Bahkan mungkin prasyarat lain yang ingin disepakati dalam kontrak tersebut oleh kedua belah pihak. Sehingga tidak ada yang dirugikan dalam hal ini.
Sekilas memang tampak melegalkan pacaran dan perbuatan-perbuatan negatif di dalamnya, namun bila kita pahami tujuannya untuk menjaga kehormatan maka keduanya akan sangat berbeda. Terlebih lagi dalam kontrak bisa diatur apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama pacaran. Sehingga begitu ada indikasi penipuan, maka bisa dituntut menyalahi perjanjian perdata. Cara ini juga bisa memberikan kepastian kepada kedua keluarga dari pasangan.
H.2. Mut’ah Vs. Nikah Sirri
Budaya nikah sirri bukan merupakan hal yang baru dalam budaya Indonesia. Nikah sirri sendiri telah mengalami pergeseran makna. Awalnya nikah sirri adalah pernikahan yang tidak dipublikasikan luas, hanya orang terdekat saja yang diundang. Sementara saat ini, nikah sirri lebih cenderung dimaknai pernikahan bawah tangan (tidak dimasukkan dalam catatan sipil).
Secara umum, bila kita bandingkan nikah sirri dalam artian bawah tangan dengan nikah mut’ah, maka nikah mut’ah dalam kerangka pikir penulis dirasa jauh lebih baik. bahkan, menurut hemat penulis, pernikahan yang dianggap sah dan sering dipraktekkan kaum Sunni ini hanya merupakan bentuk Hilah Syari’iyyah dari nikah mut’ah saja. Hanya berbeda dalam hal pembatasan waktu saja. Sementara modusnya pada umumnya sama atau paling tidak serupa. Argumentasi penulis ini didasarkan pada beberapa hujjah:
1. Nikah mut’ah meniadakan atau paling tidak meminimalisasi kemungkinan perbuatan arogan dan kesewanang-wenangan dari suami ataupun istri, karena semuanya telah diatur dalam kontrak dengan jelas. Sedang nikah sirri bisa jadi hanya dijadikan kedok oleh suami untuk dapat kemudian melakukan talaq terhadap isterinya ketika telah bosan dan dirasa tidak dibutuhkan kembali, atau istri tidak mengakui pernikahan yang telah dilakukan29.
2. Lebih melindungi hak-hak wanita dan memungkinkan wanita untuk dapat melakukan perlawanan secara hukum.
3. Dalam kondisi laki-laki tersebut telah beristri, maka melakukan perjanjian dengan wanita “simpanan” yang lain penulis rasa jauh lebih aman bagi wanita, karena pada umumnya pernikahan kedua dilakukan secara diam-diam, sehingga
29 Untuk yang ini, lihat dalam kasus mutakhir yang menyita perhatian semua pihak, yaitu kasus Angel Elga dengan Aman Jagau. Angel Elga tidak mangakui pernikahan sirri yang telah ia lakukan dengan pengusaha dari Kalimantan Selatan tersebut. Ia berani melakukan pemungkiran tersebut, karena memang tidak ada bukti otentik tertulis yang dimiliki oleh Ahmad Jagau dalam hal ini kecuali saksi-saksi yang masih bisa dipermasalahkan.
Pondok Pesantren
Universitas Islam Indonesia
- 10 -
----------------------------------------------------------Kalau Ada Mut’ah Kenapa Harus Pakai Kondom
besar kemungkinan terjadinya penipuan dari si suami. Paling tidak dalam hal berbuat adil terhadap sesama istri30.
4. Bila pernikahan tidak dicatatkan atau tidak ada perjanjian, maka secara hukum wanita yang dikamin diam-diam tidak bisa menuntut haknya. Hal ini juga akan sangat berpengaruh terhadap jaminan hak anak yang lahir dari pernikahan diam-diam tersebut.
I. Epilog; Sebuah Jalan Tengah
Untuk menutup diskusi dan perang pemikiran yang terjadi pada diri penulis dan sering kali juga terjadi dalam beberapa tahapan kontemplasi yang dilalui penulis pada nisful lail al-akhir, maka secara umum dalam tulisan ini penulis lebih condong pada pendapat Ibnu Abbas yang membolehkan nikah mut’ah dengan catatan hanya dalam kondisi darurat. Bagi penulis, mut’ah hendaknya tidak dipandang sebagai bentuk pernikahan liar. Mut’ah tetap memiliki beragam persyaratan yang juga sangat ketat. Apalagi bila ditambah dengan sifatnya yang kontraktual (tidak hanya dalam hal waktu, namun juga dalam hak dan kewajiban).
Ruang diskusi tetap harus dibuka selebar-lebarnya dalam kontroversi seputar mut’ah ini. Jangan terlalu mudah untuk mengkafirkan seseorang hanya dia meyakini kehalalan mut’ah. Apakah kita berani menyebut Ibnu Abbas sebagai orang kafir atau sekedar Syi’ah hanya karena dia melakukan mut’ah? Apakah kita berani menyatakan orang-orang Iran, Irak, dan Hizbullah yang berpaham Syi’ah dan jumlahnya jutaan serta melakukan mut’ah akan masuk neraka karena telah melakukan mut’ah? Padahal mereka berada di barisan depan ketika berperang dengan orang kafir yang sebenarnya. Sementara kita yang seringkali hanya bisa menyalahkan mut’ah, apa yang telah kita lakukan?
Buku Bacaan
Al-Asqalani. Fathul Bari Bisyarhi Sohihil Bukhori.dalam CD Hadis. Ariss Islamic Software
Al-Sistani. Ali. Tanpa Tahun, Minhajusholihin. www.al-shia.com.
Al-Katany, Abul Faidl, 1997, Nadmul Mutanasir Fi al-Ahadits Al-Mutawatir, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Al-Qairawani, Ibnu Abi Zaid, Tanpa Tahun, Risalah Ibnu Zaid Ma’a Tsamriddani, Beirut: Dar al-Fikr. dalam CD Maktabatul Fiqhi Wa Ushuluhu.
Al Qummi. Muhammad bin Ali bin Husein bin Babawaih. Tanpa Tahun Man La yahdhuruhul faqih. www.al-shia.com
30 Coba saja kita teliti kasus-kasus pernikahan sirri yang terjadi pada beberapa artis kita dengan beberapa laki-laki yang telah bersuami, sebut saja kasus Macicha Muchtar dan Murdiyono, Angel Elga dan Rhoma Irama, Andi Soraya dan Steve, serta tentu saja orang-orang lain yang tidak terpublikasi dengan luas.
Pondok Pesantren
Universitas Islam Indonesia
- 11 -
----------------------------------------------------------Kalau Ada Mut’ah Kenapa Harus Pakai Kondom
An-Nawawi. Muhyiddin, Tanpa Tahun, Sohih Muslim Bisyarhin Nawawi. Beirut: Dar Al-Fikr.
As-Samarqandi, Abu Laits, Tanpa Tahun, Al-Muhaddzab, Tanpa Tempat Penerbit: Dar Ihya’ at-Turats Al-Araby.
As-Sarkhosyi, 1993, Al-Mabsuth, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Asy-syafi'i. Muhammad bin Idris. Tanpa Tahun, Al Umm. Dari CD Maktabatul Fiqh. Ariss Islamic Software
Baltaajji, Muhammad, 2004. Manaahij Al Tasyri’ al Islaami fi Al Qurni Al Tsanii Al Hijriy, Kairo: Dar al Salaam.
Dahlan, Abdul Aziz, (et al.), 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid IV.
Hibban, Ibnu, Tanpa Tahun, Shohih Ibnu Hibban, Beirut: Dar Al- Fikr.
Humaidy bin Abdul Aziz Al-Humaidy. 1992. Kawin Campur dalam Syariat Islam. Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Alkautsar.
Khallaf, Abdul Wahab, 1978, ‘Ilmu Ushul al-Fiqhi, Mesir: Dar al-Qalam
Kitab At-Ta’rifat dalam CD Al-Maktabah asy-Syamilah.
Sholah, Ibnu, 1997, Muqaddimah Ibnu Sholah, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Rusyd, Ibnu, Tanpa Tahun, Bidayatul Mujatahid Wa Nihayatul Muqtasid, Tanpa Tempat Penerbit: Dar Al-Ma’rifat
Pondok Pesantren
Universitas Islam Indonesia
- 12 -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar