Kamis, 28 Maret 2013

TIGA PERKARA

RASULULLAH PERNAH BERSABDA, “ADA TIGA PERKARA APABILA TERDAPAT PADA DIRI SESEORANG, MAKA DIA AKAN MERASAKAN MANISNYA IMAN. IA MENJADIKAN ALLAH DAN RASUL-NYA LEBIH DICINTAINYA DARIPADA SELAIN KEDUANYA, IA MENCINTAI SESEORANG HANYA KARENA ALLAH, IA SANGAT BENCI KEMBALI PADA KEKUFURAN SEBAGAIMANA IA BENCI DICAMPAKKAN KE DALAM API” (HR. BUKHARI DAN MUSLIM).

Hadits ini menunjukkan bahwa jika kita mencintai seseorang, usahakan jangan sampai melebihi cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya, agar cinta kita tidak menggelincirkan diri kita dalam dosa. Jatuh cinta kepada seorang wanita, mungkin semua pria pernah mengalaminya. Rasanya hampir tak terkatakan. Ada kalanya cinta itu membahagiakan, tapi tak jarang juga menyakitkan. Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah membagi cinta kepada wanita ini dalam tiga bentuk.

• Mencintai wanita dengan maksud ketaatan dan taqarrub kepada Allah. Hal ini merupakan cinta kepada istri dan budak wanita yang dimiliki. Merupakan cinta yang bermanfaat dan dapat mengantarkan kepada tujuan yang disyariatkan Allah dan pernikahan, dapat menahan pandangan mata dan hati untuk melirik wanita selain istrinya. Orang yang mencintai semacam ini dipuji di sisi Allah dan di tengah manusia.

• Cinta yang dibenci Allah dan menjauhkan dari rahmat-Nya. Cinta yang hanya memperturutkan hawa nafsu. Demi cinta, seorang hamba mau melanggar dyariat Allah. Cinta seperti merupakan yang paling berbahaya bagi seorang hamba, yang dapat mengancam agama dan dunianya. Barangsiapa yang memiliki cinta ini, dia hina di hadapan Allah, dia orang yang hatinya paling jauh dari Allah, dan cinta ini merupakan tabir penghalang antara dirinya dengan Allah. Untuk mengobatinya adalah dengan memohon per tolongan kepada Allah yang membolak-balikkan hati, bersungguh-sungguh untuk kembali kepada-Nya. Sibuk mengingat-Nya, menyibukkan diri dan mengganti cinta itu dengan cinta hanya pada-Nya. Memikirkan derita dan sengsara yang akan dialami lantaran cinta itu, dan menggambarkan keindahan sebenarnya dengan melupakan cinta itu.

• Cinta yang mubah. Cinta yang tiba-tiba datang, seperti mencintai wanita cantik yang sifatnya dikatakan kepadanya, atau dilihat dengan tak sengaja, lalu hati pun tertambat padanya. Tapi cinta ini tak sampai menjerumuskan dirinya hingga melakukan maksiat dan kedurhakaan (seperti berhubungan atau berpacaran dengan wanita itu). Yang ini tak menimbulkan siksaan. Yang paling bermanfaat adalah membuang jauh-jauh cinta ini dan menyibukkan diri dengan hal yang lebih bermanfaat. Dan juga harus menyembunyikan perasaannya, menjaga kehormatan dirinya, dan sabar dalam menghadapi ujian cinta ini. Sehingga dengannya Allah memberinya pahala. Yang mesti dilakukan adalah mengganti cintanya itu dengan kesabaran karena Allah, tidak patuh pada bisikan nafsu dan lebih mementingkan keridhaan Allah dan apa yang ada di sisi-Nya.

Dari tiga bentuk cinta di atas, dapat dipahami bahwa seandainya bara cinta itu -yang lahir karena keindahan wajah seorang wanita mampu dipendam (bahkan diredam), dan tidak melanjutkannya pada tahapan yang melanggar syariat (seperti pacaran), kemudian bersabar dan memohon ketabahan kepada Allah, dan lebih memilih keridhaan Allah walau harus bertarung dengan perasaan sendiri, maka ini yang dibolehkan. Dan satu hal yang tak boleh terlupakan bagi seorang muslim, bahwa Allah tak mungkin menyianyiakan hamba-Nya yang lebih memilih cinta dan kasih sayang-Nya, meski harus merelakan sang kekasih menjadi milik orang lain. Mungkin dengan ujian cinta dan sikap kita yang seperti itu (lebih memilih keridhaan Allah), Allah ingin kita menjadi hamba pilihan yang kelak akan merasakan indahnya bersanding dengan bidadari nan menawan di jannah-Nya. Andaikan memilih bentuk cinta kedua, maka ini yang disebutkan Imam Ibnul Qayyim, bahwa permulaannya suatu yang ringan dan manis. Pertengahannya kekhawatiran, kesibukan hati dan siksaan. Dan kesudahannya adalah kebinasaan dan kematian. Obat untuk mengatasi cinta seperti ini adalah berpuasa dan menyibukkan diri pada hal-hal yang mampu menjauhkan fikiran ke arah “sana”, dan jika puasa sudah tak bisa untuk meredam gejolak cinta itu, maka tak ada jalan lain lagi selain yang kedua yakni menikah. “Menikah dengan wanita yang dicintai merupakan obat cinta yang paling mujarab, yang dijadikan Allah sebagai penawar yang sejalan dengan ketetapan syariat,” demikian Ibnul Qayyim meyakinkan. (SK 28032013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar