TIGA PERKARA
RASULULLAH
PERNAH BERSABDA, “ADA TIGA PERKARA APABILA TERDAPAT PADA DIRI
SESEORANG, MAKA DIA AKAN MERASAKAN MANISNYA IMAN. IA MENJADIKAN ALLAH
DAN RASUL-NYA LEBIH DICINTAINYA DARIPADA SELAIN KEDUANYA, IA MENCINTAI
SESEORANG HANYA KARENA ALLAH, IA SANGAT BENCI KEMBALI PADA KEKUFURAN
SEBAGAIMANA IA BENCI DICAMPAKKAN KE DALAM API” (HR. BUKHARI DAN MUSLIM).
Hadits ini menunjukkan bahwa jika kita mencintai seseorang, usahakan
jangan sampai melebihi cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya, agar cinta
kita tidak menggelincirkan diri kita dalam dosa. Jatuh cinta kepada
seorang wanita, mungkin semua pria pernah mengalaminya. Rasanya hampir
tak terkatakan. Ada kalanya cinta itu membahagiakan, tapi tak jarang
juga menyakitkan. Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah membagi cinta kepada
wanita ini dalam tiga bentuk.
• Mencintai wanita dengan maksud
ketaatan dan taqarrub kepada Allah. Hal ini merupakan cinta kepada istri
dan budak wanita yang dimiliki. Merupakan cinta yang bermanfaat dan
dapat mengantarkan kepada tujuan yang disyariatkan Allah dan pernikahan,
dapat menahan pandangan mata dan hati untuk melirik wanita selain
istrinya. Orang yang mencintai semacam ini dipuji di sisi Allah dan di
tengah manusia.
• Cinta yang dibenci Allah dan menjauhkan dari
rahmat-Nya. Cinta yang hanya memperturutkan hawa nafsu. Demi cinta,
seorang hamba mau melanggar dyariat Allah. Cinta seperti merupakan yang
paling berbahaya bagi seorang hamba, yang dapat mengancam agama dan
dunianya. Barangsiapa yang memiliki cinta ini, dia hina di hadapan
Allah, dia orang yang hatinya paling jauh dari Allah, dan cinta ini
merupakan tabir penghalang antara dirinya dengan Allah. Untuk
mengobatinya adalah dengan memohon per tolongan kepada Allah yang
membolak-balikkan hati, bersungguh-sungguh untuk kembali kepada-Nya.
Sibuk mengingat-Nya, menyibukkan diri dan mengganti cinta itu dengan
cinta hanya pada-Nya. Memikirkan derita dan sengsara yang akan dialami
lantaran cinta itu, dan menggambarkan keindahan sebenarnya dengan
melupakan cinta itu.
• Cinta yang mubah. Cinta yang tiba-tiba
datang, seperti mencintai wanita cantik yang sifatnya dikatakan
kepadanya, atau dilihat dengan tak sengaja, lalu hati pun tertambat
padanya. Tapi cinta ini tak sampai menjerumuskan dirinya hingga
melakukan maksiat dan kedurhakaan (seperti berhubungan atau berpacaran
dengan wanita itu). Yang ini tak menimbulkan siksaan. Yang paling
bermanfaat adalah membuang jauh-jauh cinta ini dan menyibukkan diri
dengan hal yang lebih bermanfaat. Dan juga harus menyembunyikan
perasaannya, menjaga kehormatan dirinya, dan sabar dalam menghadapi
ujian cinta ini. Sehingga dengannya Allah memberinya pahala. Yang mesti
dilakukan adalah mengganti cintanya itu dengan kesabaran karena Allah,
tidak patuh pada bisikan nafsu dan lebih mementingkan keridhaan Allah
dan apa yang ada di sisi-Nya.
Dari tiga bentuk cinta di atas,
dapat dipahami bahwa seandainya bara cinta itu -yang lahir karena
keindahan wajah seorang wanita mampu dipendam (bahkan diredam), dan
tidak melanjutkannya pada tahapan yang melanggar syariat (seperti
pacaran), kemudian bersabar dan memohon ketabahan kepada Allah, dan
lebih memilih keridhaan Allah walau harus bertarung dengan perasaan
sendiri, maka ini yang dibolehkan. Dan satu hal yang tak boleh
terlupakan bagi seorang muslim, bahwa Allah tak mungkin menyianyiakan
hamba-Nya yang lebih memilih cinta dan kasih sayang-Nya, meski harus
merelakan sang kekasih menjadi milik orang lain. Mungkin dengan ujian
cinta dan sikap kita yang seperti itu (lebih memilih keridhaan Allah),
Allah ingin kita menjadi hamba pilihan yang kelak akan merasakan
indahnya bersanding dengan bidadari nan menawan di jannah-Nya. Andaikan
memilih bentuk cinta kedua, maka ini yang disebutkan Imam Ibnul Qayyim,
bahwa permulaannya suatu yang ringan dan manis. Pertengahannya
kekhawatiran, kesibukan hati dan siksaan. Dan kesudahannya adalah
kebinasaan dan kematian. Obat untuk mengatasi cinta seperti ini adalah
berpuasa dan menyibukkan diri pada hal-hal yang mampu menjauhkan fikiran
ke arah “sana”, dan jika puasa sudah tak bisa untuk meredam gejolak
cinta itu, maka tak ada jalan lain lagi selain yang kedua yakni menikah.
“Menikah dengan wanita yang dicintai merupakan obat cinta yang paling
mujarab, yang dijadikan Allah sebagai penawar yang sejalan dengan
ketetapan syariat,” demikian Ibnul Qayyim meyakinkan. (SK 28032013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar