Minggu, 03 Maret 2013

NIKAH MUT’AH: ANTARA YANG REALISTIS DAN IDEALISTIS


Abstrak
Hasrat biologis adalah salah satu kekurangan dalam diri manusia. Agar manusia tidak jatuh pada derajat binatang, maka manusia harus memenuhi kekurangannya tersebut dengan cara yang halal dan baik. Alat pemenuh hasrat tersebut dalam Islam terdapat dua macam, yakni dengan cara nikah permanen (da’im), dan nikah sementara (mut’ah). Terdapat perdebatan panjang dan cukup melelahkan dalam sejarah Islam mengenai boleh atau tidaknya mut’ah. Namun demikian, dibalik seluruh perdebatan tersebut terdapat kesepakatan bersama diantara dua golongan besar dalam Islam, Sunni dan Syi’ah, bahwa mut’ah pernah diperbolehkan pada masa awal sejarah Islam. Dalam neomodernisme, penafsiran atas suatu hukum (yurisprudensi) dan penafsiran Alquran tidak akan terlepas dari konteks historis ketika wahyu atau hukum itu pertama kali diturunkan yang kemudian dikaitkan oleh ratio legis dibalik ketetapan tersebut.


A. Pendahuluan
Manusia memiliki sifat prudensial. Maksudnya, manusia adalah makhluk yang berkurangan dan akan selalu menutupi kekurangannya tersebut. Dengan kata lain, manusia akan selalu menyempurnakan dirinya.
Ciri pokok yang membedakan manusia dengan binatang adalah akal yang dimiliki olehnya. Oleh karenanya, agar manusia tidak terjatuh dalam ketepurukan sifat kebinatangannya atau kehilangan sifat kemanusiaannya maka manusia harus mengendalikan sifat kebintangannya tersebut dengan akal yang dimilikinya.
Menikah adalah salah satu alat yang manusia gunakan dalam menyempurnakan diri dan media yang manusia gunakan dalam mengontrol kebutuhan biologisnya. Melalui nikah, manusia menyempurnakan dirinnya dalam hal memenuhi kekurangan berupa hasrat biologis. Apabila manusia menghayati maksud pernikahan ini maka akan ditemukan tanda-tanda kebesaran Allah swt. dan bimbingan ke arah keinsyafan yang lebih mendalam akan kehadiran-Nya dalam hidup ini (Madjid, 2004: 72). Selain itu, menikah adalah fitrah yang dimiliki manusia karena manusia diciptakan berpasang-pasangan. Dengan demikian, eksistensi manusia bergantung pada pasangannya, dan jika manusia merenunginya akan menemukan “Sesuatu” yang tidak bergantung dengan yang lainnya (ash Shammad).
Dalam sejarah dan ajaran Islam terdapat dua buah pernikahan yang pernah diizinkan oleh Muhammad saw., yakni da’im (permanen) dan mut’ah (sementara). Sebagian besar umat Islam hanya mengakui salah satu pernikahan tersebut, yakni nikah da’im (permanen). Menurut sebagian yang lain, kedua pernikahan tersebut dapat diterima dan memiliki justifikasi yang autentik dalam sumber-sumber ajaran Islam dan alasan-alasan lainnya. Begitupun umat Islam yang menerima salah satu dari jenis penikahan tersebut memiliki alasan dan dalil-dalil justifikasinya.
Walaupun kedua golongan umat Islam terbesar memiliki alasan-alasan yang sama kuat, tetapi tidak dapat diterima jika keduanya sama-sama benar. Kemungkinan diantara keduanya ialah kedua-duanya salah atau diantara keduanya hanya satu yang benar. Selain itu, yang pasti terdapat sesuatu ajaran Islam yang sebenarnya mengenai pernikahan ini, walaupun hingga kini masih kontroversi.
Kontroversi mengenai nikah mut’ah inilah yang kemudian membuat penulis merasa tertarik untuk mengkaji atasnya secara lebih mendalam. Kajian yang penulis lakukan ialah menggunakan metode istimbath hukum atau yurisprudensi serta tafsir Alquran dalam neomodernisme Islam, seperti yang digagas oleh Fazlur Rahman[1]. Kajian atas nikah mut’ah ini penulis tujukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam (SPAI). Dalam penulisan ini, penulis tidak menggunakan sumber-sumber primer, jadi inilah salah satu kekurangan dari tulisan ini. Namun demikian, penulis berusaha menemukan sumber-sumber yang cukup komprehensif dan mewakili dua kubu yang pro-kontra atas masalah ini.
B. Mut’ah: Sebuah Diskursus Awal
Pada pembahasan di bagian ini, penulis akan memaparkan mengenai wacana atau diskursus, yang dimulai dengan penjelasan mengenai mut’ah secara definitif, tahapan-tahapan dalam mut’ah, dan perbedaan mut’ah dengan nikah permanen (da’im). Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, penulis tidak akan membahas lebih mendalam mengenai kontroversi mut’ah. Namun demikian, penulis akan menyinggung sedikit kontroversi tersebut sebatas memperjelas pembahasan.
Dalam sejarah Islam, terbentuk dua buah penggolongan besar umat Islam yang satu sama lainnya memiliki perbedaan cukup mencolok. Penggolongan tersebut lahir dari tahkim yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah dalam Perang Siffin. Adapun penggolongan yang lahir ialah Sunni dan Syi’ah. Perbedaan di antara keduanya kemudian semakin melebar pasca tragedi Karbala, pada masa rezim dinasti Ummayah, dan Abbasyiyah.
Perbedaan yang paling mencolok antara Syi’ah dan Sunni di antaranya ialah pada praktik mut’ah. Umat Sunni menolak praktik tersebut dengan alasan bahwa praktik tersebut telah dihapus (mansukh). Sedangkan umat Syi’ah menolak anggapan tersebut dengan mengatakan bahwa praktik mut’ah tidak pernah di-mansukh.
Dalam bahasa Arab, mut’ah diartikan sebagai kesenangan, kegembiraan, kesukaan. Adapun akar katanya ialah m-t, yang berarti membawa (Murata, 2001: 41). Sedangkan pengertian mut’ah secara istilah dalam referensi Syi’ah ialah “ikatan tali perkawinan antara seseorang lelaki dan wanita, dengan mahar yang telah disepakati, yang disebut dalam akad, sampai pada batas waktu yang telah ditentukan” (al ‘Amili, 2002: 27). Sedangkan pendapat yang berbeda dan lebih mendetail menjelaskan bahwa mut’ah adalah
perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, di mana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya (www.perpustakaan-islam.com)
Tidak hanya istilah mut’ah yang digunakan dalam menyebut pernikahan dengan batas waktu dan syarat tertentu. Istilah al nikah al munqati’ (perkawinan terputus) dan al nikah al muwaqqat (perkawinan terputus) pun digunakan untuk menyebut pahaman tersebut (Muratta, 2001: 42).
Sama seperti nikah da’im, dalam nikah mut’ah terdapat pula ijab-qobul atau ikrar pernyataan dan penerimaan. Tidak hanya memerlukan kerelaan dalam melakukan mut’ah, ikrar pun harus dinyatakan dengan menggunakan penyataan yang dimengerti oleh kedua belah pihak. Namun demikian, ketika salah satu pihak tidak dapat berbicara (bisu) maka ikrar pun dinyatakan dalam bentuk isyarat. Adapun ikrar yang dimaksud dintaranya ialah (al Quzwayni, 1995: 9).
Aku mut’ahkan (matta’tu) = ﻣﺘﻌﺖ
Aku nikahkah (ankahtu) = ﺍﻧﻜﺤﺖ
Aku kawinkan (zawwajtu) = ﺯﻭﺟﺖ
Ikrar mut’ah tidak sah ketika pelaku ikrar tidak benar-benar berkeinginan untuk mewujudkan hubungan perkawinan, tidak mengerti maksud ikrar tersebut, dan tidak sadar dalam menyampainnya. Namun demikian, ikrar mut’ah dianggap sah jika menggunakan pelbagai bahasa yang memiliki pahaman atau makna tersebut di atas dan dimengerti serta diterima oleh kedua belah pihak. Sedangkan ikrar mut’ah tidak sah jika mempergunakan kalimat (al Quzwayni, 1995: 10).
Aku milikkan (mallaktu) = ﻣﻠﻜﺖ
Aku berikan (wahabtu) = ﻭﻫﺒﺖ
Aku sewakan (ajjartu) = ﺃﺟﺮﺖ
Sedangkan mut’ah diterima atau sah walaupun kalimat qabul hanya berupa pernyataan singkat seperti (al Quzwayni, 1995: 11).
Aku terima (qobiltu) = ﻗﺒﻠﺖ
Aku rela (rodhitu) = ﺭﺿﻴﺖ

Mut’ah dapat dilakukan seorang muslim dengan muslimah ataupun perempuan ahli kitab, dan tidak diperbolehkannya dengan orang-orang yang memusuhi ­ahlul bayt Nabi saw. serta seorang muslimah dilarang menikah dengan non-muslim (Murata, 2001: 47). Tidak diperbolehkannya melakukan mut’ah dengan musuh atau yang membenci keluarga Nabi saw. tentu terkait dengan konteks sejarah serta pengalaman sejarah umat Syi’ah. Selain itu, ketika melakukan akad, seorang muslim hanya dapat menikah dengan seorang muslimah yang suci. Maksudnya, seorang perempuan yang tidak pernah melakukan zinah dan menjalankan syari’at dalam kesehariannya (Murata, 2001: 48). Syarat mengenai perempuan yang dimut’ah ini dilandasi oleh pendapat dua Imam Syi’ah, yakni Imam al Ridha dan Imam Ja’far Shiddiq. Selain itu, seseorang tidak boleh melakukan mut’ah dengan seorang perawan karena, menurut pendapat Imam Ja’far, ia adalah tidak patut, karena akan mencemarkan keluargany[2]a. Namun, jika akad itu terlanjur tejadi, maka tidak diperbolehkan si pria menyempurnaannya (menyetubuhi), kecuali pernikahan itu seizin ayahnya. Pendapat ini dilandasi oleh pendapat Imam al Ridha bahwa seorang perawan tidak boleh menikah sementara tanpa izin ayahnya.
Perbedaan yang cukup mencolok mut’ah dengan nikah da’im adalah terletak pada jangka waktu perpisahan atau tenggang pernikahan. Hubungan pernikahan dalam mut’ah hanya dapat berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Sedangkan dalam nikah da’im hubungan pernihakan tidak dibatasi oleh tenggang waktu yang kaku dan disepakati sebelumnya, bisa seumur hidup ataupun sesaat. Dengan kata lain, dalam nikah da’m hubungan pernikahan dapat diputuskan kapan pun. Karena yang membedakan mut’ah dengan nikah da’im adalah tenggang waktunya, maka dalam pernikahan tersebut harus disepakati dengan pemahaman bersama mengenai jangka waktunya.
Berikutnya ialah menyebutkan mas kawin yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan menentukan kadarnya, baik dari segi bentuknya maupun jumlahnya dengan cara-cara yang dapat menghilangkan kesalah-pahaman. Selain itu, mas kawin tersebut harus milik dari suami itu sendiri yang diperolehnya secara halal baik sedikit ataupun banyak bahkan meskipun berupa segenggam makanan (al Quzwayni, 1995: 11-12).
Berikut ini adalah perbedaan antara nikah mut’ah (sementara) dan nikah da’im (permanen) (al ‘Amili, 2002: 11-12).
NIKAH MUT’AH NIKAH DA’IM
1. Kedua belah pihak dapat menentukan jangka waktu pernikahan yang dikehendaki, dan kedua dapat memperpanjang jangka waktu dengan mengulangi akad yang baru, atau berpisah setelah habisnya waktu yang mereka tentukan bersama 1. Yang memagang penentuan waktu pernikahan hanya pihak lelaki dan kaum wanita tidak dapat mencampurinya
2. Segala kebutuhan baik tempat tinggal, pakaian, obat-obatan, makanan, dan lain sebagainya ditentukan menurut perjanjian yang mereka sepakati saat melakukan akad pernikahan 2. Kaum lelaki selalu wajib menanggung nafkah istrinya dan memberinya segala sesuatu yang diperlukan baik tempat tinggal, pakaian, obat-obatan, makanan, dan lain sebagainya
3. Kehamilan atau keinginan untuk mendapatkan keturunan dapat ditentukan dalam perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak 3. Wanita tidak dapat menolak ajakan atau harapan kehamilan yang dikendaki oleh suami
4. Untuk dapat mewarisi ketika salah satu pihak dalam sebuah pasangan masih dapat diatur menurut perjanjian 4. Wanita akan dapat mewarisi walaupun tanpa perjanjian

C. Mut’ah Yes, Mut’ah No
Banyak kontroversi yang terjadi berkenaan nikah mut’ah. Kontroversi tersebut lahir terutama dari golongan muslim Sunni yang menolak adanya praktik nikah tersebut dan golongan muslim Syi’ah yang menerima praktik nikah tersebut[3]. Walaupun demikian, ada pula yang berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak pernah ada dan Islam tidak pernah mengizinkan praktiknya tersebut. Namun demikian, pernyataan ini dapat dibantah dari pelbagai hadis baik dari kalangan Sunni atau Syi’ah yang menyatakan pernah adanya praktik tersebut (sebagaimana yang akan penulis sampaikan pada pembahasan berikutnya). Oleh karena itu, masalah mengenai diperbolehkannya nikah mut’ah hingga kini masih sekitar perdebatan (ikhtilaf). Tetapi, walaupun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kontradiktif di antara Sunni dan Syi’ah, mereka sepakat bahwa praktik mut’ah pernah terjadi dan penah dibolehkan pada masa awal Islam. “Adalah merupakan fakta sejarah yang dan tak dapat dipungkiri bahwa pada permulaan Islam, yaitu antara wahyu pertama hijran Nabi ke Medinah, kawin sementara yang disebut kawin mut’ah, dipraktikkan oleh kaum muslimin di samping kawin tetap” (Thabathaba’i, dan Nasr, 1993: 263). Menurut Jalaludin Rakhmat (http://www.wahid institute.org) perdebatan mengenai boleh atau tidaknya harus dilupakan dan yang harus dipegang teguh oleh umat Islam hingga kini adalah kesepakatan antara Sunni dan Syi’ah mengenai diperbolehkannya praktik nikah tersebut pada masa awal Islam. Namun demikian, pada pembahasan di sini akan penulis kemukakan sedikit mengenai kontroversi tersebut, dan bukan berarti akan memunculkan perdebatan selanjutnya.
Terdapat sebuah riwayat yang mengetakan bahwa mut’ah pernah dilakukan ketika pada masa Muhammad saw., Abu Bakar, dan sebagian masa kekhalifahan Umar bin Khatab. Selain itu, seperti yang dinyatakan oleh Thabathaba’i (1993: 263) bahwa mut’ah pernah dilakukan sebelum Umar bin Khatab melarangnya, dan ini dibuktikan dari putri Abu Bakar yang bernama ‘Asma dinikahkah secara mut’ah oleh Zubair ash Shahabi, yang kemudian melahirkan putra bernama Abdullah bin Zubair dan ‘Urwah bin Zubair.
Namun, umat Islam yang sebagian besarnya adalah penganut Sunni menolak adanya nikah sementara tersebut. Keberatan tersebut di antaranya ialah tidak adanya ayat Alquran yang melandasi atau melegitimasi prektik nikah tersebut. Menurut pihak yang pro terhadap nikah mut’ah mengatakan bahwa praktik tersebut dilandasi oleh surat an Nisaa (4) ayat 24 yang berbunyi:
Terjemahnya: … Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) …
Menurut al Qurthubi, al Syaukani dan orang yang sependapat dengannya mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsrikan ayat tersebut di atas dengan nikah mut’ah yang sudah ditetapkan sejak permulaan Islam (al ‘Amili, 2002; Murata, 2001; Rakhmat, 2003). Selain itu, Ibnu Abbas (paman Nabi saw. dan salah satu penafsir ulung dari kalangan sahabat), Said bin Zubair, Ibnu Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab selalu menambahkan kalimat ila ajalin musamma (sampai waktu yang ditentukan). Dengan demikian, ayat Alquran tersebut berbunyi Famastamta’tum bih minhunna ila ajalin musamma faatuhunna ujurahunna faridhah (al ‘Amili, 2002; Rakhmat, 2003) dan terjemahannya Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) dintara mereka sampai batas waktu yang ditentukan, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna. Namun, menurut Quraish Shihab (2002: 403), perkataan yang ditambahkan oleh Ibnu Abbas tersebut bukanlah lafadz asli Alquran, tetapi penjelasan makna.
Jika kita melihat kitab tafsir Alquran dari kalangan Sunni, misalnya tafsir an Nur yang dikemukakan oleh Hasbi Ash Shiddieqy, surat an Nisaa 24 tersebut tidak ada kaitannya dengan pelegalan mut’ah. Ayat ini berhubungan dengan pemberian mahar kepada istri yang telah dinikahi dan “dinikmati” pada nikah permanen. Begitupun jika kita melihat asbab an nuzul dari ayat ini, maka kesimpulan yang diambil pun tidak ada kaitannya dengan praktik nikah mut’ah. Berikut ini adalah asbab an nuzul dari ayat tersebut.
Dalan suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Muslimin mendapat tawanan wanita yang mempunyai suami dari peperangan Authas. Mereka tidak mau dicampuri oleh yang berhak terhadap tawanan itu. Maka bertanyalah kaum Muslimin kepada Rasulullah saw … dalam riwayat lain dikemukakan … turunnya ayat ini … di waktu perang Hunain, tatkala Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin dan dapat tawanan beberapa wanita ahli kitab. Ketika itu akan dicampuri mereka menolak dengan alasan bersuami, dan kaum muslimin bertanya kepada Rasulullah saw … dalam riwayat lain dikemukakan bahwa orang Hadlrami membebani kaum laki-laki membayar mahar (maskawin) dengan harapan dapat memberatkannya (sehingga tidak dapat membayar pada waktunya untuk mendapatkan tambahan pembayaran). Maka turunlah ayat tersebut … (Saleh, et.al, 1998: 128).
Perdebatan berikutnya ialah mengenai dimasukhnya (dibatalkan atau dihapus) ayat tersebut oleh ayat lainnya. Adapun ayat yang menghapus atau membatalkan hukum dari ayat mut’ah tersebut ialah surat al Ma’arij (70) ayat 29-30 yang menjelaskan tentang menahan atau memelihara kemaluannya kecuali pada istri-istrinya. Namun, menurut pandangan yang mendukung mut’ah, ayat yang membatalkan tersebut termasuk ke dalam ayat Makkiyah (ayat yang turun di Mekkah) oleh karena itu tidak masuk akal jika itu dibenarkan karena tidak mungkin ayat yang turun lebih dahulu menghapus atau membatalkan ayat yang turun setelahnya (al ‘Amili, 2002: 38).
Penolakan atas dibatalkannya ayat tentang mut’ah ini pun diungkapkan dalam tafsir al Thabari yang didasarkan penjelasan dari Syu’bah, dari al Hakam dan al Suyuti, dan Abu Dawud yang mengatakan bahwa:
Aku pernah menanyakan tentang ayat mut’ah (…maka istri-istri yang telah kamu nikmati diantara mereka…) apakah sudah dimansukh atau dibatalkan? Jawabannya: “tidak”. Kemudian al Hakam berkata: “bahwa Sahabat Ali ra. Pernah berkata: “seandainya saja khalifah Umar ra. Tidak melarang mut’ah maka tentu hanya sedikit saja orang yang melakukan perzinahan (al Quzwayni, 1995: 31).
Berikutnya ialah adanya pendapat yang mengatakan bahwa pada awalnya Muhammad saw. membolehkan mut’ah, namun kemudian hari beliau mengharamkannya. Adapun argumen tersebut dilandasi oleh hadis Nabi saw. yang diantaranya adalah sebagai berikut (http://semenit.net/?p=73).
1. Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi),
2. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ‘azza wa jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim),
3. Adapun nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi)
Adapun terdapat hadis-hadis yang berasal dari Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa mut’ah telah dilarang atau diharamkan. Berikut adalah keterangan-keterangan tersebut (http://www.arrahman.com).
1. Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad) dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak saat perang Khaibar. Shahih Muslim, riwayat no 3497
2. Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad) dari Ali bin Abi Thalib, dia mendengar kabar bahwa Ibnu Abbas memperbolehkan nikah mut’ah, lalu Ali mengatakan: tunggu dulu wahai Ibnu Abbas, sungguh Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut’ah dan mengharamkan daging keledai jinak saat perang Khaibar. Shahih Muslim hadits no 3500
3. Dari Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayahnya (Muhammad) , dia mendengar Ali bin Abi Thalib mengatakan pada Ibnu Abbas terkait nikah mut’ah, bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut’ah dan daging keledai jinak saat perang Khaibar. Shahih Muslim hadits no 3501
Al Quzwayni berpendapat mengenai hadis yang dinyatakan oleh Ali tersebut bahwa hadis yang mengatakan bahwa Ali pernah melarang mut’ah pada waktu perang Khaibar adalah tidak benar karena madzhab Imam Ali dan para Imam dari kalangan putera-puteranya telah membolehkan perikahan tersebut dan mengingkari yang melarangnya[4]. Selain itu, tambahnya, hadis tersebut merupakan hadis ahad dan tidak disepakati kesahihannya dan bertentangan dengan pendapat Ali yang membolehkan mut’ah tersebut (al Quzwayni, 1995: 50-51). Selain itu ada pula riwayat dari Ibnu Sabra yang mengatakan bahwa bilau mengharamkan mut’ah. Namun demikian, hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Sabra tersebut adalah hadis yang wahid atau hadis yang berdiri sendiri atau hanya satu sahabat saja yang meriwayatkannya. Oleh karena itu, hadis Ibnu Sabra ini tidak dapat membatalkan ayat Alquran yang membolehkan praktik mut’ah. Adapun hadis-hadis tersebut ditolak oleh pendukung mut’ah dengan beranggapan bahwa (al Quzwayni, 1995: 53-55).
1. Hadis tersebut sanadnya dho’if dan lafadznya muttharib dan termasuk hadis ahad serta bertentangan dengan hadis lain yang shahih baik di kalangan Sunni ataupun Syi’ah,
2. Hadis riwayat Sabrah tersebut memuat pernyataan yang memperbolehkan mut’ah pada waktu pelasanaan Haji Wada’. Sedangkan hadis lain yang dikatakan diriwayatkan Imam Ali telah pula mengharamkannya pada waktu perang Khaibar,
3. Hadis Sabrah tersebut bertentangan dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh al Hakam yang berbunyi seandainya saja khalifah Umar ra. Tidak melarang nikah Mut’ah, pasti hanya segelintir orang yang celaka saja yang mau berzina.
Kontroversi lainnya yang diperdebatkan di antara kelompok yang mendukung tetap berlakunya mut’ah dan tidak berlakunya kembali nikah tersebut berkenaan dengan masalah Rasulullah SAW pernah menghalalkannya, tapi kemudian mengharamkannya; bukan Rasulullah SAW yang mengharamkannya, tapi Umar bin al-Khattab; yang paling penting dari penolakan Sunni ialah karena Sunni merujuk perilaku shahabat yang tidak pernah menjalankannya[5].
Pendapat yang cukup mencengangkan ialah pendapat yang menyamakan mut’ah dengan pelacuran. Pendapat ini dilandasi oleh mut’ah adalah praktik penyewaan tubuh wanita, yang terpenting dalam mut’ah adalah jangka waktu serta mahar, batas waktu yang disepakati, boleh mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali, tidak usaha menyelidiki status istri yang dimut’ah, tidak adanya waris, tidak adanya nafkah untuk istri (http://hakekat.com/content/view/31/1/). Menurut penulis, pendapat yang mengatakan bahwa mut’ah sama dengan pelacuran adalah sungguh sangat dangkal dan keliru. Jika benar mut’ah sama dengan pelacuran, maka Muhammad saw. yang pernah mengizinkan praktik tersebut dapat dinyatakan sebagai penganjur pelacuran! Selain itu, pendapat mengenai disamakannya mut’ah dan pelacuran baiknya dihiraukan saja karena duanya adalah entitas yang berbeda; dan perbandingan tersebut tidaklah seimbang karena entitas yang pertama jelas-jelas dilarang oleh Islam, sedangkan yang kedua pernah diperbolehkan oleh Muhammad saw. pada periode awal Islam.
D. Penutup
Memang benar seperti yang diungkapkan oleh Kang Jalal, yang telah penulis kutip di awal pembahasan, bahwa perdebatan mengenai boleh atau tidaknya, haruslah dilupakan karena tidak akan pernah berkesudahan. Oleh karena itu, cukuplah kiranya jika kita berpegang teguh pada sesuatu yang sudah pasti dan tidak dipertentangkan, yakni mut’ah diperbolehkan pada masa awal Islam. Penulis tidak akan memaparkan atau memperkeruh pernah dihapus atau tidak pada masa lalau, tetapi penulis akan memaparkan mengenai mut’ah dalam perspektif kekinian.
Walaupun pernah diperbolehkan pada masa awal Islam dan dilandasi oleh pernyataan dalam surat an Nisaa 24 kemudian tidak serta merta praktiknya berlaku umum. Nampaknya bagi pihak yang mendukung keumuman praktik nikah ini dilandasi pada teori asbab an nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) yang menjelaskan bahwa suatu pelegalan syari’at oleh Alquran disebabkan oleh situasi-situasi spesifik yang mengitarinya, namun lafadz tersebut tetap berlaku umum. Selain itu, pendapat ini dilandasi pula oleh hadis yang cukup populer dikalangannya dan terdapat pula di buku-buku hadis dari kalangan Sunni mengenai pendapat Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa seandainya saja khalifah Umar ra. tidak melarang Nikah Mut’ah; pasti hanya segelintir orang yang celaka saja mau berzina.
Jika kita mencoba membedah persoalan mut’ah dengan menggunakan perangkat metodologi yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman maka akan berkaitan dengan teori atau metode sebuah gerakan ganda (a double movement). Penjelasan metode tersebut ialah sebagai berikut.
Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Alquran tersebut merupakan jawabannya … dalam sinaran situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam khususnya di Makkah … jadi, langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna Alquran sebagai suatu keseluruhan disamping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respons terhadap situasi-situasi khusus. Langkah kedua adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latarbelakang sosio-historis dan ratio-legis yang sering dinyatakan … sementara gerakan pertama terjadi dari hal-hal yang spesifik dalam Alquran ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjangnya, yang kedua harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditumbuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang kongkret di masa sekarang (Rahman, 2005: 7-8).
Menurut Fakhr al Din ar Razi (dalam Murata, 2001: 96), mut’ah pernah diperbolehkan oleh Muhammad saw. ketika melaksanakan umrah ke Mekkah, dan wanita di Mekkah mempersiapkan diri secara khusus untuk acara ini dan kemudian para sahabat mengeluh karena jauh dari istri mereka untuk beberapa lama, dan kemudian Muhammad saw. membolehkannya. Dan ada pula yang mengatakan bahwa ayat Alquran berupa Al Baqarah yat 190, al Ma’idah ayat 87, dan an Nisaa ayat 24 adalah ayat yang melandasi praktik mut’ah, dan dalam penyebab turunnya ayat-ayat tersebut karena terdapat sahabat yang ketika berperang tidak dapat menahan hasrat biologisnya dan menyatakan kepada Muhammad saw. untuk melakukan kebiri (al Quzwayni, 1995:21-28). Dengan demikian, pada langkah pertama penafsiran berdasarkan metode sebuah gerakan ganda yang dioperasikan pada kasus nikah mut’ah dinyatakan bahwa mut’ah diperbolehkan oleh Muhammad saw. ialah ketika terjadi peperangan dan ada sebagian dari sahabat yang tidak dapat menahan hasrat bilogisnya dan menanyakan kepada Nabi saw. apakah diizinkan jika mereka melakukan kebiri. Berkenaan dengan konteks adat istiadat atau lembaga Arab pra-Islam, terdapat beberapa praktik nikah atau perkawinan seperti poligami, poliandri, mut’ah, al Sabyu (perkawinan antara laki-laki yang menag perang dengan perempuan dari suku yang kalah), perkawinan dengan budak, al Maqtu (perkawinan antara anak laki-laki dengan ibu tirinya setelah bapaknya meninggal), al Istibda’ (seorang laki-laki menyuruh istrinya untuk disetubuhi oleh laki-laki yang dipilih olehnya), al Syighar (perkawinan silang antara dua orang laki-laki yang sama-sama mempunyai perempuan di bawah perwaliannya, dan mengawini dua orang perempuan bersaudara (Sodiqin, 2008: 58-59). Sedangkan pada langkah kedua, dapat dinyatakan bahwa mut’ah dilaksanakan ketika seorang lelaki tidak dapat menahan hasrat biologisnya karena jauh dari istri dan dilakukan untuk menjaga kemaluannya (agar tidak berzinah ataupun melakukan onani, masturbasi, ataupun kebiri) .
Berikutnya, pada gerakan kedua dilakukan dengan melakukan kontekstulisasi atas generalisasi yang telah dilakukan pada langkah kedua dalam gerakan pertama. Dengan demikian, generalisasi bahwa mut’ah dilakukan ketika seorang lelaki tidak dapat menahan hasrat biologisnya karena jauh dari istri dan dilakukan untuk menjaga kemaluannya (agar tidak berzinah ataupun melakukan onani, masturbasi), harus dikontekstualisasikan pada masa sekarang. Jadi, tidak relevan kiranya jika mut’ah bebas dilakukan pada masa sekarang tanpa mempertimbangkan makna yang telah disaring pada langkah kedua dalam gerakan pertama. Mut’ah hanya dapat dilakukan ketika konteks atau kondisi pada masa sekarang memiliki keotentikan (tidak berarti identik) atau kemiripan dengan konteks atau kondisi ketika mut’ah dinyatakan.
Wallahu’alam bishawab.
E. Daftar Pustaka
Abbas, S. (2000). I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah
Al ‘Amili, J M. (2002). Nikah Mut’ah dalam Islam: Kajian Ilmiah dari Berbagai Madzhab. Surakarta: Yayasan Abna’ al Husain.
Madjid, N. (2004). Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam kehidupan Masyarkat. Jakarta: Paramadina.
Majelis Ulama Indonesia. (1997). Fatwa Nikah Mut’ah. [online]. Tersedia: http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa/nikah_mut’ah.php [24 Desember 2008]
Murata, S. (2001). Lebih Jelas tentang Mut’ah: Perdebatan Sunni Syiah. Jakarta: Srigunting.
Hartono, P. (2002). Pokok-Pokok Kesesatan Syi’ah. [online]. Tersedia: http://www.perpustakaan-islam.com [24 Desember 2008]
Al Quzwayni, A M. (1995). Nikah Mut’ah antara Halal dan Haram. Jakarta: Yayasan As Sajjad.
Al Shabbagh, M. (1994). Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Prince of Jihad. (2008). Ustad Syi’ah Doyan Mut’ah. [online]. Tersedia: http://www.arrahman.com [24 Desember 2008].
Rahman, F. (1994). Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam. Bandung: Mizan.
Rakhmat, J. (2003). Ushul Fiqh Progresif: Nikah Mut’ah dalam Pandangan Sunni dan Syi’ah. [online]. Tersedia: http://www.wahidinstitute.org [24 Desember 2008].
Shihab, Q. (2002). Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran Volume 2 Surah Ali Imran dan An Nisaa. Jakarta: Lentera Hati.
Sodiqin, A. (2008). Antropologi Alquran: Model Dialektika Wahyu dan Budaya. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Thabathaba’i, A M H. (1993). Islam Syiah: Asal-Usul dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Thabathaba’i, A M H. dan Nasr, S H. (1993). “Mut’ah”, dalam Islam Syiah: Asal-Usul dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Al-Qur’an. (2005). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI.
_________. (2007). Haram Nikah Mut’ah. [online]. Tersedia: http://semenit.net/?p=73. [24 Desember 2008].

[1] Fazlur Rahman adalah pemikir Islam yang cukup berpengaruh. Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di Hazara (sebelum terpecahnya India, kini merupakan bagian dari Pakistan). Pendidikan akademisnya diperoleh di Punjab University dan memperoleh gelar M. A dalam bidang Sastra Arab pada tahun 1942. Rahman kemudian melanjutkan studinya ke Oxford University di Inggris pada tahun 1946, dan mendapatkan gelar doktor dalam bidang filsafat pada tahun 1950. [2] Jika seseorang memiliki seorang istri tetap dan hendak melakukan mut’ah maka ia wajib untuk meminta izin kepada istri tetapnya, jika tidak, akad mut’ah nya tidak sah atau ditangguhkan sampai istri tetapnya mengizinkan.
[3] Menurut Kang Jalal (sapaan Jalaludin Rakhmat), sebetulnya perdebatan tentang haram atau halalnya nikah mut’ah akibat dari fanatisme kelompok Sunni maupun Syi’ah, ketimbang pada dasar-dasar al-Qur’an maupun hadits Nabi http://www.wahidinstitute.org
[4] Menurut Syaikh al Tusi, hadis Ali tersebut autentik, tetapi ia menambahkan bahwa Ali ra sedang melakukan taqiyah. Lihat Murata 2001 hal 111.
Hadis tersebut berbunyi Aku mendatangi Rasulullah saw. pada waktu shubuh … sedang bersandar pada Ka’bah. Dia berkata “wahai kalian semua! Aku perintahkan kamu untuk “mencari kesenangan” (istimta’) dari wanita-wanita ini, tetapi kini Allah telah melarangnya sampai hari kiamat. Jadi jika engkau memiliki istri sementara, biarkan dia pergi; jangan ambil kembali apa pun yang telah engkau berikan kepadanya.
[5] Latar belakang pengharaman mut’ah oleh Umar bin Khattab diantaranya ialah banyaknya orang yang berlebihan dalam melakukan mut’ah, yang Umar haramkan ialah nikah yang tidak disaksikan oleh saksi-saksi adil atau yang tidak sempurna syarat-syaratnya, penyalahgunaan praktik mut’ah (syari’at), yang menjadikan Umar berpendapat demikian karena beliau pernah melihat suatu kejadian yang menjadikan beliau marah dan dengan nada keras beliau beranggapan lebih baik mut’ah dilarang secara mutlak, simpang siurnya pendapat yang mengatakan bahwa nikah tersebut dihapus oleh ayat-ayat lainnya atau hadis-hadis lainnya karena riwayat yang mengatakan dihapusnya praktik tersebut cukup banyak jumlahnya dan dari kelompok yang brebda-beda. Selain itu ada pula yang beranggapan bahwa Umar tidak menghapus mut’ah secara syar’i tetapi ia menghapusnya secara kenegaraan. Pendapat mengenai tidak diharamkannya mut’ah oleh Umar secara syari’at dilandasi pula oleh pernyataan Umar sepeeti yang disampaikan oleh Ja’far Sidiq yang mengetakan bahwa Umar mendengar tuduhan orang-orang Irak bahwa beliau mengharamkan nikah mut’ah, kemudian Umar mengutus seseorang sambil memberi pesan: “Katakan kepada mereeka bahwa Umar tidak berhak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah swt., tetapi Umar melarangnya untuk tujuan kenegaraan. Lihat Ja’far Murtadho al ‘Amili, hal 133.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar