Rabu, 31 Juli 2013
8 MACAM SYURGA
8 MACAM SURGA..
1. SURGA FIRDAUS: surga yang diciptakan dari emas yang merah dan
diperuntukan bagi orang yang khusyuk sholatnya, menjauhkan diri dari
perbuataan sia-sia, aktif menunaikan zakat, menjaga kemaluaannya,
memelihara amanah, menepati janji, dan memelihara sholatnya.
2.
SURGA ‘ADN: surga yang diciptakan dari intan putih dan diperuntukkan
bagi orang yang bertakwa kepada Allah (An Nahl:30-31), benar-benar
berimandan beramal shaleh (Thaha:75-76), banyak berbuat baik (Fathir:
32-33), sabar, menginfaqkan hartanya dan membalas kejahatan dengan
kebaikan (Ar-Ra’ad:22-23 )
3.
SURGA NAIM: surga yang diciptakan dari perak putih dan diperuntukkan
bagi orang-orang yang benar-benar bertakwa kepada Allah dan beramal
shaleh. Al Qalam: 34
4. SURGA MA’WA: surga yang diciptakan dari
jamrud hijau dan diperuntukan bagi orang- orang yang bertakwa kepada
Allah (An Najm: 15), beramal shaleh (As Sajdah: 19), serta takut kepada
kebesaran Allah dan menahan hawa nafsu (An Naziat : 40-41)
5. SURGA DARUSSALAM:
surga yang diciptakan dari yakut merah dan diperuntukkan bagi orang
yang kuat imannya dan Islamnya, memperhatikan ayat-ayat Allah serta
beramal shaleh.
6. SURGA DARUL MUQAMAH:
Surga yang
diciptakan dari permataa putih dan diperuntukkan bagi orang yang
bersyukur kepada Allah. Kata Darul Muaqaamah berarti suatu tempat
tinggal dimana di dalamnya orang-orang tidak pernah merasa lelah dan
tidak merasa lesu. Tempat ini diperuntukkan kepada orang-orang yang
bersyukur sebagaimana yg disebutkan di dalam surat Faathir ayat 35.
Sedangkan surga Darul Muaqaamah ini terbuat dari permata putih.
7. SURGA AL-MAQAMUL AMIN: surgayang diciptakan dari permata putih. Kata
Al-Maqamul Amin menurut Dr M Taquid-Din dan Dr M Khan berarti tempat
yang dan diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa. Sedangkan
surgaAl-Maqamul Amin ini terbuat dari permata putih.
8. SURGA
KHULDI: surga yang diciptakan dari marjan merah dankuning diperuntukkan
bagi orang yang taat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya
(orang-orang yang bertakwa).
Selasa, 30 Juli 2013
MENGENAL DIRI
Mengenal dan Memahami Hakikat Diri
Seringkali orang bertanya pada dirinya, “Siapakah Aku?” atau “Siapakah
Diriku sebenarnya?” Kajian tentang Diri ini amat penting karena dengan
mengenalnya kita akan mengenal Tuhan Sang Pencipta sebagaimana sabda
Rasulullah Saw.,“Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu,” barangsiapa
yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Rabb-nya. Dengan memahami diri
kita dapat menjalankan misi hidup secara sempurna, yaitu mengenal Allah,
menyembah hanya kepada-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Kita tentu
tidak ingin kembali kepada-Nya dalam keadaan tersesat, sebagaimana
firman Allah:
“Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar”. (QS. 2:18).
Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas tentang hakikat manusia.
Untuk memudahkan pemahaman, maka diuraikan perbedaan beberapa komponen
yang melekat pada diri manusia, yang kadang kita sulit membedakannya.
1. Ruh
Dalam Al Quran, disebut dengan ar-Ruh (jamaknya arwah)
Asal unsurnya dari ruh (sebagian zat Allah) yang ditiupkan ke manusia saat janin berumur 4 bulan.
"Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur". (QS. 32:9)
"Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya".(QS. 38:72)
Setelah ajal akan kembali kepada Allah. Ruh
ini sifatnya suci, tidak pernah kotor dan berada di dalam qalbu manusia
(sebuah tempat yang tidak dapat dimasuki setan) dan berfungsi memberikan
energi untuk nafs, dan memberi nyawa (sukma) bagi jasad
2. Jasad
Asal unsurnya dari bumi (QS. 71:17) dan setelah ajal akan dikubur dan kembali ke bumi.
"Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan
mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali
yang lain". (QS. 20:55)
Karena sifat kebumian, maka ketika
dimasukkan ruh dan nafs, timbullah hawa nafsu dan syahwat. Jasad
mendapatkan energi dari makanan yang berasal dari bumi juga.
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik (surga)". (QS. 3:14)
3. Nafs
Dalam Al Quran disebut
dengan an-Nafs (jamaknya anfus atau nufus), asal unsurnya adalah dari
cahaya. Di alam Nur berkumpul nafs-nafs, mulai nafs manusia pertama
sampai nafs manusia terakhir. Nafs ini terdiri dari berbagai macam type
atau kualitas. Untuk memudahkan memahami, sebut saja misalnya, tipe
emas, perak, perunggu dan sebagainya. Nafs-nafs ini akan diundang oleh
janin-janin dalam rahim yang telah berumur 120 hari. Nafs yang bersedia
datang pun sesuai dengan bahan janin, nafs tipe emas akan menempati
wadah dari emas, nafs tipe perak akan menempati wadah dari perak dan
seterusnya.
Nafs yang menempati janin tersebut dimasukkan Ruh, kemudian dipanggil Allah menghadap ke Alam Alastu:
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
(QS. 7:172)
Di alam Alastu inilah Allah telah menetapkan 4 hal
baginya selama perjalanan di dunia, yaitu: Ajal, Rezeki, Amal, dan
Musibah atau Keberuntungan.
Nafs inilah sebenarnya hakikat dari
manusia, yang dikatakan Nabi Saw, apabila kamu mengenalnya, maka kamu
akan mengenal Tuhanmu. Nafs inilah yang menyebabkan manusia menjadi
makhluk paling mulia.
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". (QS. 95:4)
Apabila qalbu bersih, maka ruh dapat memberikan energi bagi nafs,
sehingga nafsnya hidup sehat dan dalam Al Quran disebutlah sebagai nafs
al muthmainnah. Apabila qalbu tertutup dosa, maka ruh tidak dapat
memberikan energi, maka nafsnya akan sakit, buta, tuli, bisu dan lumpuh.
Setelah ajal, kondisinya sesuai dengan kondisi nafs terakhir sebelum
ajal. Apabila dalam kondisi sehat, maka nafsnya akan tetap hidup di sisi
Allah.
"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan
dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu
dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan
orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak
dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu
memandang baik apa yang telah mereka kerjakan". (QS. 6:122)
"Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan
Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup,
tetapi kamu tidak menyadarinya". (QS. 2:154)
Apabila dalam kondisi
buta, tuli, bisu atau lumpuh, maka ia akan disiksa di alam kubur. Nafs
akan dimintai pertanggungjawabannya pada Hari Akhir, atas pelaksanaan
sumpah yang dilakukan di Alam Alastu.
4. Hawa Nafsu dan Syahwat
Hawa nafsu dan syahwat timbul akibat nafs dan ruh ditempatkan dalam
jasad. Hawa nafsu dan syahwat dalam Al Quran digambarkan sebagai
kuda-kuda, tali kekangnya adalah qalbu, saisnya adalah nafs, dan
muatannya adalah jasad. Apabila saisnya (nafs) sakit atau lumpuh, maka
kuda-kuda (hawa nafsu dan syahwat) berlari-lari tidak terkendali membawa
muatan (jasad).
Setan menjadikan hawa nafsu dan syahwat ini sebagai
media untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Sesungguhnya nafsu
itu membawa kepada keburukan, kecuali nafsu yang dirahmati (nafsu al
muthmainnah)
5. Qalbu
Qalbu terbagi 2 jenis, Qalbu jasmaniah dan
Qalbu Ruhaniah. Qalbu jasmaniah yaitu jantung yang secara medis
dianggap sebagai pusat kehidupan manusia, sedangkan Qalbu Ruhaniah yaitu
yang merasakan dan memahami. Lebih jauh lagi qalbu inilah yang akan
dapat mengenal Allah Swt, maka disebut pula Qalbu Rabbaniyah.
Qalbu
menjadi antara bagi ruh, nafs dan jasad. Qalbu dan nafs ibarat kaca
dengan rasahnya, apabila qalbu kotor maka tidak berfungsilah nafs
sebagai cermin. Apabila qalbu bersih, maka ia dapat memantulkan ruh
(zat) Allah. Maka jadilah ia pencerminan dari Allah Swt.
Rasulullah
Saw. bersabda, “Dalam diri manusia itu ada segumpal darah, yang apabila
baik maka baik seluruhnya, tetapi apabila buruk maka buruk seluruhnya,
itulah qalbu.” (HR. Bukhari)
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya
Allah tidak memandang kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa
kalian, tetapi Dia memandang kepada qalbu kalian.” (HR. Muslim)
Rasulullah Saw bersabda, “Apabila dikehendaki oleh Allah kebajikan pada
seorang hamba, niscaya dijadikannya orang itu memperoleh pelajaran dari
qalbunya.” (HR. Abu Manshur Ad-Dailamy)
Dari Abu Hurairah,
Rasulullah bersabda, “Sekiranya setan-setan tidak mengelilingi qalbu
anak-cucu Adam, niscaya mereka dapat memandang alam malakut yang
tinggi.” (HR. Ahmad)
)* Sumber
Tanda-tanda Malam Lailatul Qadar
Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah,
rabb semesta alam. Shalawat dan salam terlimpah dan tercurah kepada
manusia pilihan, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Lailatul Qadar adalah malam yang agung.
Malam penuh kemuliaan. Ibadah di dalamnya lebih baik daripada ibadah
selama seribu bulan. Siapa yang mendapatkan kemuliaannya sungguh ia
manusia beruntung dan dirahmati. Sebaliknya, siapa yang luput dari
kebaikan di dalamnya, sungguh ia termasuk manusia buntung dan merugi.
Kemuliaan Lailatul Qadar yang penuh
keberkahan dapat dilihat dari pilihan Allah terhadapnya untuk menurunkan
kitab terbaik-Nya dan syariat agama-Nya yang paling mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ
الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ تَنَزَّلُ
الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan
tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik
dari seribu bulan.Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat
Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu
(penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al-Qadar: 1-5)
Sesungguhnya Lailatul Qadar tidak
seperti malam-malam selainnya. Pahala amal shalih di dalamnya sangat
besar. Maka siapa yang diharamkan mendapatkan pahalanya, sungguh ia
tidak mendapatkan kebaikan malam itu. Oleh karenanya, sudah sewajarnya
seorang muslim menghidupkan malam tersebut dengan bersungguh-sungguh
melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah secara maksimal. Dan
menghidupkannya harus didasarkan kepada iman dan berharap pahala kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Disebutkan dalam hadits shahih:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang menunaikan shalat
malam di bulan Ramadan imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan
mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam redaksi lain,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang menunaikan shalat
malam di Lailatul Qadar imanan wa ihtisaban (dengan keimanan dan
mengharap pahala), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menjelaskan tentang waktu turunnya Lailatul Qadar tersebut. Beliau bersabda,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَان
"Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (Muttafaq 'alaih)
Lalu beliau menjelaskan lebih rinci lagi tentang waktunya dalam sabdanya,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
"Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan." (HR. Al-Bukhari)
Yaitu malam-malam ganjil dari bulan
Ramadhan secara hakiki. Yakni malam 21, 23, 25, 27, dan 29. Lalu
sebagian ulama merajihkan (menguatkan), Lailatul Qadar berpiindah-pindah
dari dari satu malam ke malam ganjil lainnya pada setiap tahunnya.
Lailatul Qadar tidak melulu pada satu malam tertentu pada setiap
tahunnya.
Imam al-Nawawi rahimahullah berkata:
"Ini adalah yang zahir dan terpilih karena bertentangan di antara
hadits-hadits shahih dalam masalah itu. tidak ada jalan untuk menjama' (mengompromikan) di antara dalil-dalil tersebut kecuali dengan intiqal (berpindah-pindah)-nya."
Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih
Fiqih Sunnah memberikan catatan terhadap pendapat-pendapat tentang
Lailatul Qadar di atas, "Yang jelas, menurutku, Lailatul Qadar terdapat
pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir dan berpindah-pindah
di malam-malam tersebut. Ia tidak khusus hanya pada malam ke 27 saja.
Adapun yang disebutkan oleh Ubay, Lailatul Qadar jatuh pada malam ke 27,
ini terjadi dalam suatu tahun dan bukan berarti terjadi pada semua
tahun. Buktinya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah mendapatinya pada malam ke 21, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Sa'id Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkhutbah kepada mereka seraya mengatakan:
إِنِّي
أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نَسِيتُهَا أَوْ أُنْسِيتُهَا
فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ كُلِّ وِتْرٍ وَإِنِّي
أُرِيتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ
"Sungguh aku telah diperlihatkan
Lailatul Qadar, kemudian terlupakan olehku. Oleh sebab itu, carilah
Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir pada setiap malam ganjilnya.
Pada saat itu aku merasa bersujud di air dan lumpur."
Abu Sa'id berkata: "Hujan turun pada malam ke 21, hingga air mengalir menerpa tempat shalat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Seusai shalat aku melihat wajah beliau basah terkena lumpur. (HR. Al- Bukhari dan Muslim)
Demikian kumpulan hadits yang
menyinggung tentang masalah Lailatul Qadar. Wallahu A'lam." (Selesai
ulasan dari Shahih Fiqih Sunnah: III/202-203)
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Ithaf al-Kiram
(Ta'liq atas Bulughul Maram) hal 197, mengatakan, "Pendapat yang paling
rajih dan paling kuat dalilnya adalah ia berada pada malam ganjil di
sepuluh hari terakhir. Ia bisa berpindah-pindah, terkadang di malam ke
21, terkadang pada malam ke 23, terkadang pada malam ke 25, terkadang
pada malam ke 27, dan terkadang pada malam ke 29. Adapun penetapan
terhadap beberapa malam secara pasti, sebagaimana yang terdapat dalam
hadits ini (hadits Mu'awiyah bin Abi Sufyan), ia di malam ke 27, dan
sebagaimana dalam beberapa hadits lain, ia berada di malam 21 dan 23,
maka itu pada tahun tertentu, tidak pada setiap tahun. Tetapi perkiraan
orang yang meyakininya itu berlaku selamanya, maka itu pendapat mereka
sesuai dengan perkiraan mereka. Dan terjadi perbedaan pendapat yang
banyak dalam penetapannya."
Tanda-tanda Lailatul Qadar
Disebutkan juga oleh Syaikh Ibnu
'Utsaimin rahimahullah bahwa Lailatul Qadar memiliki beberapa
tanda-tanda yang mengiringinya dan tanda-tanda yang datang kemudian.
Tanda-tanda yang megiringi Lailatul Qadar:
- Kuatnya cahaya dan sinar pada malam itu, tanda ini ketika hadir tidak dirasakan kecuali oleh orang yang berada di daratan dan jauh dari cahaya.
- Thama'ninah (tenang), maksudnya ketenangan hati dan lapangnya dada seorang mukmin. Dia mendapatkan ketenanangan dan ketentraman serta lega dada pada malam itu lebih banyak dari yang didapatkannya pada malam-malam selainnya.
- Angin bertiup tenang, maksudnya tidak bertiup kencang dan gemuruh, bahkan udara pada malam itu terasa sejuk.
- Terkadang manusia bisa bermimpi melihat Allah pada malam itu sebagaimana yang dialami sebagian sahabat radliyallah 'anhum.
- Orang yang shalat mendapatkan kenikmatan yang lebih dalam shalatnya dibandingkan malam-malam selainnya.
Tanda-tanda yang mengikutinya:
Matahari akan terbit pada pagi harinya
tidak membuat silau, sinarnya bersih tidak seperti hari-hari biasa. Hal
itu ditunjukkan oleh hadits Ubai bin Ka'b radliyallah 'anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengabarkan kepada kami: "Matahari terbit pada hari itu tidak membuat silau." (HR. Muslim)
Penutup
Siapa yang merindukan Lailatul Qadar
hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam sisa hari Ramadhan ini, khususnya
di sepuluh hari terakhirnya. Semoga satu dari sepuluh malam terakhir
yang kita hidupkan tersebut adalah Lailatul Qadar. Sehingga kita
mendapatkan pahala dan ganjaran yang besar. Selain itu, esungguhan ini
adalah bentuk iqtida' (mengikuti dan mencontoh) Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
kita juga memperbanyak doa dan pengharapan kepada-Nya untuk kebaikan
diri kita, keluarga, dan kaum muslimin secara keseluruhan. Amiin!
[PurWD/voa-islam.com]
TANDA
Tanda-tanda yang megiringi Lailatul Qadar:
1. Kuatnya cahaya dan sinar pada malam itu, tanda ini ketika hadir
tidak dirasakan kecuali oleh orang yang berada di daratan dan jauh dari
cahaya.
2. Thama'ninah (tenang), maksudnya ketenangan hati dan
lapangnya dada seorang mukmin. Dia mendapatkan ketenanangan dan
ketentraman serta lega dada pada malam itu lebih banyak dari yang
didapatkannya pada malam-malam selainnya.
3. Angin bertiup tenang, maksudnya tidak bertiup kencang dan gemuruh, bahkan udara pada malam itu terasa sejuk.
4. Terkadang manusia bisa bermimpi melihat Allah pada malam itu sebagaimana yang dialami sebagian sahabat radliyallah 'anhum.
5. Orang yang shalat mendapatkan kenikmatan yang lebih dalam shalatnya dibandingkan malam-malam selainnya.
KISAH UMAR BUN ABDUL AZIZ
Kisah Umar bin Abdul Aziz dan Anaknya (Abdul Malik)
Bismillaahirrahmaanirrahiim. . .
Diriwayatkan dari Ziyad bin Abu Hassan, ia mengatakan bahwa ia menyaksikan Umar bin Abdul Aziz (ketika anaknya, Abdul Malik dikebumikan) berdiri tegak, sedangkan orang-orang mengelilinginya. Ia (abdul aziz) berkata,''demi Allah, kau (Abdul Malik) telah berbuat baik kepada ayahmu ini. Demi Allah, aku senantiasa bergembira sejak Allah mengaruniakan dirimu kepadaku, dan aku tak pernah segembira ini ketika aku harus meletakkan di rumah yang disiapkan untukmu ini. Semoga Allah merahmatimu, mengampuni semua dosamu, dan mengganjarmu dengan sebaik-baik amal yang pernah kau lakukan. Semoga Allah merahmati semua orang memberimu syafaat kebaikan dari yang hadir maupun yang tidak. Kami ridha terhadap Qadha Allah dan kami pasrah menerima perintah-Nya. Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta.'' setelah itu ia langsung beranjak pergi. (HR. Ahmad (Az-Zuhd,h.364), Al Manbaji (Tasliyat Ahli Al-Masha'ib, h.212) dan ibnu Al Jauzi (shifat Ash-shafwah, 2/130).
Sumber: buku berjudul ''99 orang yang ridha dengan takdir Allah'', oleh Majdi Fathi As-Sayyid.
Bismillaahirrahmaanirrahiim. . .
Diriwayatkan dari Ziyad bin Abu Hassan, ia mengatakan bahwa ia menyaksikan Umar bin Abdul Aziz (ketika anaknya, Abdul Malik dikebumikan) berdiri tegak, sedangkan orang-orang mengelilinginya. Ia (abdul aziz) berkata,''demi Allah, kau (Abdul Malik) telah berbuat baik kepada ayahmu ini. Demi Allah, aku senantiasa bergembira sejak Allah mengaruniakan dirimu kepadaku, dan aku tak pernah segembira ini ketika aku harus meletakkan di rumah yang disiapkan untukmu ini. Semoga Allah merahmatimu, mengampuni semua dosamu, dan mengganjarmu dengan sebaik-baik amal yang pernah kau lakukan. Semoga Allah merahmati semua orang memberimu syafaat kebaikan dari yang hadir maupun yang tidak. Kami ridha terhadap Qadha Allah dan kami pasrah menerima perintah-Nya. Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta.'' setelah itu ia langsung beranjak pergi. (HR. Ahmad (Az-Zuhd,h.364), Al Manbaji (Tasliyat Ahli Al-Masha'ib, h.212) dan ibnu Al Jauzi (shifat Ash-shafwah, 2/130).
Sumber: buku berjudul ''99 orang yang ridha dengan takdir Allah'', oleh Majdi Fathi As-Sayyid.
Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab
Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/2011. Pada saat Maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat Maghrib 29 Agustus 2011. Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat Maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati. NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.
Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat. Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak paham ilmu hisab. Oktober 2003 saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mengatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan. Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.
Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (yang kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya beda dengan metode hisab atau rukyat). Lalu berkembang hisab imkan rukyat, tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan) yang akurasinya maish rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari). Kini kriteria wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kekurangan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat sudah sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.
Muhammadiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kalendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid. Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamat rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis kadang mengidentikkan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan. Lalu mau ke mana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Semoga!
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/08/27/14299/muhammadiyah-terbelenggu-wujudul-hilal-metode-lama-yang-mematikan-tajdid-hisab/#ixzz2aVtAOSp8
Minggu, 28 Juli 2013
AQIDAH YANG LURUS KUNCI KEMENANGAN
Saat
itu, tepat 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memandangi pasukan musuhnya yang berjumlah seribu
orang dan pasukan yang dibawanya sejumlah 310 lebih sedikit. Hamba mulia
ini memanjatkan doa yang begitu mengharu biru di tengah pasukannya yang
amat sedikit dan apa adanya, melawan pasukan kafir
Quraisy yang tiga kali lipat menghadang di hadapan mereka di padang
Badar. Dengan menghadap Kiblat dan mengangkat kedua tangannya, Beliau
berdoa:
اللهم! أنجز لي ما وعدتني. اللهم! آت ما وعدتني. اللهم! إن تهلك هذه العصابة من أهل الإسلام لا تعبد في الأرض
Ya Allah! Penuhilah untukku apa yang Kau janjikan kepadaku. Ya Allah! Berikan apa yang telah Kau janjikan kepadaku. Ya Allah! jika Engkau biarkan pasukan Islam ini binasa, … maka tidak ada lagi yang menyembahMu di muka bumi.”
Beliau senantiasa berdoa dengan suara tinggi seperti itu dan menggerakan kedua tangannya yang sedang menengadah dan menghadap Kiblat, sampai-sampai selendang yang dibawanya jatuh dari pundaknya. Lalu Abu Bakar menghampirinya dan meletakkan kembali selendang itu di pundaknya dan dia terus berada di belakangnya. Lalu Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu berkata:
يا نبي الله! كذاك مناشدتك ربك. فإنه سينجز لك ما وعدك
“Wahai Nabi Allah! Inilah sumpahmu kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia akan memenuhi apa yang dijanjikanNya kepadamu.”
Lalu turunlah firman Allah Ta’ala:
إذ تستغيثون ربكم فاستجاب لكم أني ممدكم بألف من الملائكة مردفين
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut." (QS. Al Anfal (8): 9). (HR. Muslim No. 1763, At Tirmidzi No. 5075, Ibnu Hibban No. 4793. Ahmad No. 208, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/95)
Lalu, terjadilah pertempuran yang sebenarnya tidak seimbang itu, namun karena kekuatan iman, kekuatan ukhuwah, kepemimpinan yang berwibawa, serta ditopang strategi yang jitu, kaum Muslimin berhasil memenangkan pertempuran yang disebut dalam Al Quran sebagai “Yaumul Furqan” (Hari Pembeda). Hari yang membedakan antara hak dan batil, antara periode dakwah yang selalu tertindas menjadi dakwah yang disegani.
Dunia Arab sebelum Islam, juga memiliki peradaban tinggi yang terbukti dari kemampuan mereka membuat tata kota yang bagus, pengairan sawah yang baik, serta karya seni bernilai tinggi. Tetapi, sejarah Islam tetap memposisikan mereka sebagai era Jahiliyah.
Sebab, keilmuan yang mereka miliki tidak mampu menolong mereka untuk mengetahui siapa Tuhan mereka sebenarnya, justru mereka menyembah dan mengagungkan produk budaya mereka sendiri yaitu berhala-berhala yang indah yang mereka ciptakan.
Perhatikan umat Islam saat ini, umumnya mereka jauh dari agamanya, jauh dari Al Quran dan Sunnah nabinya, tetapi lebih dekat bahkan sampai taraf memberikan cinta terhadap budaya, pemikiran dan akhlak Barat yang nota bene non muslim yang justru hendak menghancurkannya. Sayangnya mereka tidak menyadarinya. Hal ini membawa dampak lainnya; masjid yang sepi kecuali shalat Jumat, merosotnya moral baik pejabat atau rakyatnya, ibadah hanya menjadi rutinitas kosong belaka tanpa bekas dan pengaruh dalam kehidupan, ulama tidak berwibawa baik ilmu dan perbuatannya, pergaulan bebas remaja, angka perceraian yang tinggi, pornografi dan porno aksi dianggap biasa, dan segudang permasalahan lainnya. Ini semua berawal dari kebodohan terhadap agama, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berjanji bahwa berbagai kebaikan – termasuk kebaikan dalam urusan dunia dan ilmu pengetahuan- akan datang bersamaan dengan pemahaman yang benar terhadap agama.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan maka akan dipahamkan baginya ilmu agama.” (HR. Bukhari No. 2948, Muslim No. 1037, At Tirmidzi No. 2783, Ibnu Majah No. 220, Ibnu Hibban No. 89, 310, 3401, Malik No. 1599, Ad Darimi No. 224, 2706, Abu Ya’la No. 7381, Musnad Ishaq No.439, dan lainnya)
Aqidah adalah pegangan hidup yang utama dan menjadi fondasi untuk lahirnya imanul ‘amiq (keimanan yang mendalam). Aqidah yang kuat hanya menjadikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya penolong dari kesulitan hidup dan permasalahnnya. Tidak takut mati, apalagi takut miskin.
Sebab seorang yang mengimani Allah Ta’ala sebagai pengatur hidup akan merasa aman dan tentram hatinya ketika menyandarkan dirinya kepada pemiliki kehidupan itu sendiri. Berbeda dengan orang yang aqidahnya lemah, dia lebih takut dengan ancaman makhluk dibanding azab Allah Ta’ala. Seperti yang terjadi saat ini, umat Islam (khususnya para pemimpinnya) lebih takut dengan ‘azab’ yang diberikan Amerika Serikat dan sekutunya dibanding azab dari Rabb mereka. Begitu juga ketika sepasang manusia berzina, mereka lebih takut hamil dibanding takut kepada Allah Ta’ala.
Sumayyah, seorang wanita yang mati syahid dan menjadi syahid pertama dalam Islam. Dia tetap memgang teguh agama tauhid walau mengalami penyiksaan yang membuatnya dibunuh secara keji.
Bilal bin Rabbah, seorang sahabat nabi yang disiksa dengan ditindih batu besar pada siang yang amat panas, agar ia mau keluar dari agama Islam dan kembali mengakui ketuhanan kolektif Arab jahiliyah. Tetapi dia tetap dalam keimanannya, dan mengatakan; “ahad .. ahad .. ahad … (Yang Maha Tunggal (Esa) ….)
Masyithah, seorang wanita pelayan di istana Fir’aun yang tetap teguh menyembah Allah Ta’ala dan menolak pengakuan ketuhanan Fir’aun. Dia bersama keluarganya direbus hidup-hidup untuk mempertahankan aqidahnya.
Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu yang pernah mengatakan: “Umat ini tidak akan jaya kecuali dengan cara pertama kali ia dijayakan genarasi awalnya.”
Yaitu dengan iman, ilmu, ukhuwah islamiyah yang solid diatas landasan Aqidah yang Haq, dan ruhul jihadiah (semangat juang) yang tidak terputus. Sehingga umat Islam menjadi cerdas tidak bodoh, kuat tidak lemah, berwibawa tidak direndahkan, dan solid tidak berpecah. Wallahu A’lam.
اللهم! أنجز لي ما وعدتني. اللهم! آت ما وعدتني. اللهم! إن تهلك هذه العصابة من أهل الإسلام لا تعبد في الأرض
Ya Allah! Penuhilah untukku apa yang Kau janjikan kepadaku. Ya Allah! Berikan apa yang telah Kau janjikan kepadaku. Ya Allah! jika Engkau biarkan pasukan Islam ini binasa, … maka tidak ada lagi yang menyembahMu di muka bumi.”
Beliau senantiasa berdoa dengan suara tinggi seperti itu dan menggerakan kedua tangannya yang sedang menengadah dan menghadap Kiblat, sampai-sampai selendang yang dibawanya jatuh dari pundaknya. Lalu Abu Bakar menghampirinya dan meletakkan kembali selendang itu di pundaknya dan dia terus berada di belakangnya. Lalu Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu berkata:
يا نبي الله! كذاك مناشدتك ربك. فإنه سينجز لك ما وعدك
“Wahai Nabi Allah! Inilah sumpahmu kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia akan memenuhi apa yang dijanjikanNya kepadamu.”
Lalu turunlah firman Allah Ta’ala:
إذ تستغيثون ربكم فاستجاب لكم أني ممدكم بألف من الملائكة مردفين
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut." (QS. Al Anfal (8): 9). (HR. Muslim No. 1763, At Tirmidzi No. 5075, Ibnu Hibban No. 4793. Ahmad No. 208, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/95)
Lalu, terjadilah pertempuran yang sebenarnya tidak seimbang itu, namun karena kekuatan iman, kekuatan ukhuwah, kepemimpinan yang berwibawa, serta ditopang strategi yang jitu, kaum Muslimin berhasil memenangkan pertempuran yang disebut dalam Al Quran sebagai “Yaumul Furqan” (Hari Pembeda). Hari yang membedakan antara hak dan batil, antara periode dakwah yang selalu tertindas menjadi dakwah yang disegani.
Dunia Arab sebelum Islam, juga memiliki peradaban tinggi yang terbukti dari kemampuan mereka membuat tata kota yang bagus, pengairan sawah yang baik, serta karya seni bernilai tinggi. Tetapi, sejarah Islam tetap memposisikan mereka sebagai era Jahiliyah.
Sebab, keilmuan yang mereka miliki tidak mampu menolong mereka untuk mengetahui siapa Tuhan mereka sebenarnya, justru mereka menyembah dan mengagungkan produk budaya mereka sendiri yaitu berhala-berhala yang indah yang mereka ciptakan.
Perhatikan umat Islam saat ini, umumnya mereka jauh dari agamanya, jauh dari Al Quran dan Sunnah nabinya, tetapi lebih dekat bahkan sampai taraf memberikan cinta terhadap budaya, pemikiran dan akhlak Barat yang nota bene non muslim yang justru hendak menghancurkannya. Sayangnya mereka tidak menyadarinya. Hal ini membawa dampak lainnya; masjid yang sepi kecuali shalat Jumat, merosotnya moral baik pejabat atau rakyatnya, ibadah hanya menjadi rutinitas kosong belaka tanpa bekas dan pengaruh dalam kehidupan, ulama tidak berwibawa baik ilmu dan perbuatannya, pergaulan bebas remaja, angka perceraian yang tinggi, pornografi dan porno aksi dianggap biasa, dan segudang permasalahan lainnya. Ini semua berawal dari kebodohan terhadap agama, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berjanji bahwa berbagai kebaikan – termasuk kebaikan dalam urusan dunia dan ilmu pengetahuan- akan datang bersamaan dengan pemahaman yang benar terhadap agama.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan maka akan dipahamkan baginya ilmu agama.” (HR. Bukhari No. 2948, Muslim No. 1037, At Tirmidzi No. 2783, Ibnu Majah No. 220, Ibnu Hibban No. 89, 310, 3401, Malik No. 1599, Ad Darimi No. 224, 2706, Abu Ya’la No. 7381, Musnad Ishaq No.439, dan lainnya)
Aqidah adalah pegangan hidup yang utama dan menjadi fondasi untuk lahirnya imanul ‘amiq (keimanan yang mendalam). Aqidah yang kuat hanya menjadikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya penolong dari kesulitan hidup dan permasalahnnya. Tidak takut mati, apalagi takut miskin.
Sebab seorang yang mengimani Allah Ta’ala sebagai pengatur hidup akan merasa aman dan tentram hatinya ketika menyandarkan dirinya kepada pemiliki kehidupan itu sendiri. Berbeda dengan orang yang aqidahnya lemah, dia lebih takut dengan ancaman makhluk dibanding azab Allah Ta’ala. Seperti yang terjadi saat ini, umat Islam (khususnya para pemimpinnya) lebih takut dengan ‘azab’ yang diberikan Amerika Serikat dan sekutunya dibanding azab dari Rabb mereka. Begitu juga ketika sepasang manusia berzina, mereka lebih takut hamil dibanding takut kepada Allah Ta’ala.
Sumayyah, seorang wanita yang mati syahid dan menjadi syahid pertama dalam Islam. Dia tetap memgang teguh agama tauhid walau mengalami penyiksaan yang membuatnya dibunuh secara keji.
Bilal bin Rabbah, seorang sahabat nabi yang disiksa dengan ditindih batu besar pada siang yang amat panas, agar ia mau keluar dari agama Islam dan kembali mengakui ketuhanan kolektif Arab jahiliyah. Tetapi dia tetap dalam keimanannya, dan mengatakan; “ahad .. ahad .. ahad … (Yang Maha Tunggal (Esa) ….)
Masyithah, seorang wanita pelayan di istana Fir’aun yang tetap teguh menyembah Allah Ta’ala dan menolak pengakuan ketuhanan Fir’aun. Dia bersama keluarganya direbus hidup-hidup untuk mempertahankan aqidahnya.
Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu yang pernah mengatakan: “Umat ini tidak akan jaya kecuali dengan cara pertama kali ia dijayakan genarasi awalnya.”
Yaitu dengan iman, ilmu, ukhuwah islamiyah yang solid diatas landasan Aqidah yang Haq, dan ruhul jihadiah (semangat juang) yang tidak terputus. Sehingga umat Islam menjadi cerdas tidak bodoh, kuat tidak lemah, berwibawa tidak direndahkan, dan solid tidak berpecah. Wallahu A’lam.
Jumat, 26 Juli 2013
HABIB LUTHFI
Meskipun
beliau (Maulana al-Habib Luthfi bin Yahya) seorang habib yang
jelas-jelas berdarah keturunan Arab, bahkan wajah beliau pun masih
sangat kental nuansa Arabnya. Namun seringkali kita yang benar-benar
“Aswaja = Asli Wajah Jawa” masih kalah jauh ke”Jawa”annya dari beliau,
baik pengusaan bahasa, tradisi, sejarah maupun unggah-ungguh.
Dan beliau selalu menanamkan kepada para muridnya untuk mencintai tanah
dimana kita dilahirkan dan dibesarkan. Sapaan kental dan khas beliau
kalau ketemu orang setelah salam:
“Pripun kabare, Wilujeng....” tidak memakai: “Bikheer...”, kecuali kalau ketemu sesama komunitas Habaib.
Itulah beliau sang Maha Guru Hadhratus Syaikh Sayyidil Habib Muhammad
Luthfi bin Alibin Hasyim bin Yahya Pekalongan, Rais Am Idarah Aliyah
Jam’iyyah Ahlith Thariqat al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah (JATMAN) yang juga
dipercaya untuk menjabat sebagai KetuaMultaqa Sufi Internasional.
Semoga beliau dikaruniai panjang umur dan sehat wal ‘afiat. Dan semoga
barakah beliau, leluhur serta guru-guru beliau mengalir kepada kita
sekalian. ‘Ala hadzihinniyyah,al-Fatihah
Khotbah Rasulullah saw menyambut bulan Ramadhan
Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah, rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam paling utama. Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tetamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah,amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca Kitab-Nya. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan tenang rasa lapar dan hausmu kelaparan dan kehausan di hari kiamat.
Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakan orang-orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarkannya, Kasihilah, anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu, Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu-waktu salatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya , menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.
Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggunmu berat karena beban (dosa)mu, maka ringakanlah dengan memperpanjang sujudmu. Ketahuilah! Allah Taala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa dia tidak akan mengazab orang-orang yang salat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada dari manusia berdiri di hadapan Rabb al-alamin.
Wahai manusia! Barangsiapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan ia diberi ampunan atas dosa-dosanya yang lalu. (Sahabat-sahabat bertanya "Ya Rasulullah! tidaklah kami semua mampu berbuat demikian." Rasulullah meneruskan, jagalah dirimu dari api neraka walaupun dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air.
Wahai manusia! siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati sirat pada hari ketika kaki-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya( pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat. Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa yang memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan Rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa yang melakukan salat sunah di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa yang menunaikan salat fardhu baginya ganjaran seperti melakukan tujuh puluh salat fardhu di bulan yang lain. Barangsiapa yang memperbanyak sholawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari timbangan meringan. Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan yang lain.
Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak akan pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu , maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu.
Imam Ali bin Abi Thalib as berkata : " Aku berdiri dan berkata: Ya Rasulullah! Apa amal yang paling utama di bulan ini?" Jawab Nabi: Ya Abal Hasan! Amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah.
Zakat
Oleh Prof Dr Ali Mustafa Yaqub
Seorang kawan mengeluh kepada kami. Katanya, sekarang ini banyak anggota GAM di Jakarta. "Eh, yang benar saja. Mana ada anggota Gerakan Aceh Merdeka di Jakarta," begitu kami menyanggah. "Ini bukan GAM yang berarti Gerakan Aceh Merdeka, tetapi GAM yang berarti Gerakan Anti Maulid," kata kawan tadi menjelaskan.
"Apa argumen mereka?" Tanya kami mengejar. "Mereka bilang peringatan maulid itu tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW. Jadi, ini termasuk bid`ah," jelasnya. "Wah, kalau yang namanya bid`ah itu adalah ibadah yang tidak pernah dikerjakan Nabi SAW, akan banyak ibadah yang menjadi bid`ah," jelas kami.
"Banyak ibadah menjadi bid`ah? Apa maksud Ustaz?" Begitu kawan tadi bertanya penasaran. "Ya, kalau ibadah yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah SAW itu disebut bid`ah, umrah Ramadhan adalah bid`ah. Karena, Rasulullah selama hidup tidak pernah menjalankan umrah pada bulan Ramadhan. Kita mengeluarkan zakat fitri dengan beras juga bid`ah, karena Rasulullah tidak pernah mengeluarkan zakat fitri dengan beras." Begitu kami menjelaskan.
"Lalu, yang disebut bid`ah itu apa Ustaz?" Tanyanya lagi. "Dalam bidang ibadah, yang disebut bid`ah adalah ibadah yang tidak ada dalilnya dalam agama (dalil syar`i). Yang dimaksud dalil syar`i adalah Alquran, hadis, ijma`, qiyas, dan lain-lain," tambah kami. "Contohnya apa, Ustaz?" Tanya dia lagi. "Contohnya, shalat Shubuh 10 rakaat. Tidak ada dalilnya dalam agama. Yang ada dalil olah raga. Pagi hari, semakin banyak bergerak semakin baik," jelas kami.
"Lalu, apakah peringatan maulid Nabi SAW itu ada dalilnya dalam agama?" Tanyanya lagi. "Untuk menghukumi sesuatu, kita tidak boleh melihat namanya, tetapi kita lihat substansi perbuatan atau materinya. Apabila kita menghukumi sesuatu dari namanya, hotdog yang bahannya terigu dan daging ayam yang disembelih sesuai syariah Islam, hukumnya haram karena makanan itu bernama hotdog alias anjing panas.''
''Maka, seperti kata Syekh Dr Ahmad al-Syurbasyi dalam kitabnya Yasalunaka fi al-Din wa al-Hayah, untuk menghukumi maulid, kita harus melihat perbuatan yang dilakukan dalam maulid itu. Apabila maulid itu diisi dengan maksiat dan kemungkaran, hukumnya haram. Namun, apabila diisi dengan membaca Alquran, penerangan perjuangan Rasulullah SAW, dan sebagainya, semua itu ada dalil yang menganjurkannya. Begitu pendapat Syekh Dr Ahmad al-Syurbasyi dari Mesir,'' jelas kami. "Wah, terima kasih, Ustaz. Sekarang saya sudah paham," jawabnya.
Seorang kawan mengeluh kepada kami. Katanya, sekarang ini banyak anggota GAM di Jakarta. "Eh, yang benar saja. Mana ada anggota Gerakan Aceh Merdeka di Jakarta," begitu kami menyanggah. "Ini bukan GAM yang berarti Gerakan Aceh Merdeka, tetapi GAM yang berarti Gerakan Anti Maulid," kata kawan tadi menjelaskan.
"Apa argumen mereka?" Tanya kami mengejar. "Mereka bilang peringatan maulid itu tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW. Jadi, ini termasuk bid`ah," jelasnya. "Wah, kalau yang namanya bid`ah itu adalah ibadah yang tidak pernah dikerjakan Nabi SAW, akan banyak ibadah yang menjadi bid`ah," jelas kami.
"Banyak ibadah menjadi bid`ah? Apa maksud Ustaz?" Begitu kawan tadi bertanya penasaran. "Ya, kalau ibadah yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah SAW itu disebut bid`ah, umrah Ramadhan adalah bid`ah. Karena, Rasulullah selama hidup tidak pernah menjalankan umrah pada bulan Ramadhan. Kita mengeluarkan zakat fitri dengan beras juga bid`ah, karena Rasulullah tidak pernah mengeluarkan zakat fitri dengan beras." Begitu kami menjelaskan.
"Lalu, yang disebut bid`ah itu apa Ustaz?" Tanyanya lagi. "Dalam bidang ibadah, yang disebut bid`ah adalah ibadah yang tidak ada dalilnya dalam agama (dalil syar`i). Yang dimaksud dalil syar`i adalah Alquran, hadis, ijma`, qiyas, dan lain-lain," tambah kami. "Contohnya apa, Ustaz?" Tanya dia lagi. "Contohnya, shalat Shubuh 10 rakaat. Tidak ada dalilnya dalam agama. Yang ada dalil olah raga. Pagi hari, semakin banyak bergerak semakin baik," jelas kami.
"Lalu, apakah peringatan maulid Nabi SAW itu ada dalilnya dalam agama?" Tanyanya lagi. "Untuk menghukumi sesuatu, kita tidak boleh melihat namanya, tetapi kita lihat substansi perbuatan atau materinya. Apabila kita menghukumi sesuatu dari namanya, hotdog yang bahannya terigu dan daging ayam yang disembelih sesuai syariah Islam, hukumnya haram karena makanan itu bernama hotdog alias anjing panas.''
''Maka, seperti kata Syekh Dr Ahmad al-Syurbasyi dalam kitabnya Yasalunaka fi al-Din wa al-Hayah, untuk menghukumi maulid, kita harus melihat perbuatan yang dilakukan dalam maulid itu. Apabila maulid itu diisi dengan maksiat dan kemungkaran, hukumnya haram. Namun, apabila diisi dengan membaca Alquran, penerangan perjuangan Rasulullah SAW, dan sebagainya, semua itu ada dalil yang menganjurkannya. Begitu pendapat Syekh Dr Ahmad al-Syurbasyi dari Mesir,'' jelas kami. "Wah, terima kasih, Ustaz. Sekarang saya sudah paham," jawabnya.
Argumen
Oleh Prof Dr Ali Mustafa Yaqub
Seorang kawan mengeluh kepada kami. Katanya, sekarang ini banyak anggota GAM di Jakarta. "Eh, yang benar saja. Mana ada anggota Gerakan Aceh Merdeka di Jakarta," begitu kami menyanggah. "Ini bukan GAM yang berarti Gerakan Aceh Merdeka, tetapi GAM yang berarti Gerakan Anti Maulid," kata kawan tadi menjelaskan.
"Apa argumen mereka?" Tanya kami mengejar. "Mereka bilang peringatan maulid itu tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW. Jadi, ini termasuk bid`ah," jelasnya. "Wah, kalau yang namanya bid`ah itu adalah ibadah yang tidak pernah dikerjakan Nabi SAW, akan banyak ibadah yang menjadi bid`ah," jelas kami.
"Banyak ibadah menjadi bid`ah? Apa maksud Ustaz?" Begitu kawan tadi bertanya penasaran. "Ya, kalau ibadah yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah SAW itu disebut bid`ah, umrah Ramadhan adalah bid`ah. Karena, Rasulullah selama hidup tidak pernah menjalankan umrah pada bulan Ramadhan. Kita mengeluarkan zakat fitri dengan beras juga bid`ah, karena Rasulullah tidak pernah mengeluarkan zakat fitri dengan beras." Begitu kami menjelaskan.
"Lalu, yang disebut bid`ah itu apa Ustaz?" Tanyanya lagi. "Dalam bidang ibadah, yang disebut bid`ah adalah ibadah yang tidak ada dalilnya dalam agama (dalil syar`i). Yang dimaksud dalil syar`i adalah Alquran, hadis, ijma`, qiyas, dan lain-lain," tambah kami. "Contohnya apa, Ustaz?" Tanya dia lagi. "Contohnya, shalat Shubuh 10 rakaat. Tidak ada dalilnya dalam agama. Yang ada dalil olah raga. Pagi hari, semakin banyak bergerak semakin baik," jelas kami.
"Lalu, apakah peringatan maulid Nabi SAW itu ada dalilnya dalam agama?" Tanyanya lagi. "Untuk menghukumi sesuatu, kita tidak boleh melihat namanya, tetapi kita lihat substansi perbuatan atau materinya. Apabila kita menghukumi sesuatu dari namanya, hotdog yang bahannya terigu dan daging ayam yang disembelih sesuai syariah Islam, hukumnya haram karena makanan itu bernama hotdog alias anjing panas.''
''Maka, seperti kata Syekh Dr Ahmad al-Syurbasyi dalam kitabnya Yasalunaka fi al-Din wa al-Hayah, untuk menghukumi maulid, kita harus melihat perbuatan yang dilakukan dalam maulid itu. Apabila maulid itu diisi dengan maksiat dan kemungkaran, hukumnya haram. Namun, apabila diisi dengan membaca Alquran, penerangan perjuangan Rasulullah SAW, dan sebagainya, semua itu ada dalil yang menganjurkannya. Begitu pendapat Syekh Dr Ahmad al-Syurbasyi dari Mesir,'' jelas kami. "Wah, terima kasih, Ustaz. Sekarang saya sudah paham," jawabnya.
Seorang kawan mengeluh kepada kami. Katanya, sekarang ini banyak anggota GAM di Jakarta. "Eh, yang benar saja. Mana ada anggota Gerakan Aceh Merdeka di Jakarta," begitu kami menyanggah. "Ini bukan GAM yang berarti Gerakan Aceh Merdeka, tetapi GAM yang berarti Gerakan Anti Maulid," kata kawan tadi menjelaskan.
"Apa argumen mereka?" Tanya kami mengejar. "Mereka bilang peringatan maulid itu tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW. Jadi, ini termasuk bid`ah," jelasnya. "Wah, kalau yang namanya bid`ah itu adalah ibadah yang tidak pernah dikerjakan Nabi SAW, akan banyak ibadah yang menjadi bid`ah," jelas kami.
"Banyak ibadah menjadi bid`ah? Apa maksud Ustaz?" Begitu kawan tadi bertanya penasaran. "Ya, kalau ibadah yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah SAW itu disebut bid`ah, umrah Ramadhan adalah bid`ah. Karena, Rasulullah selama hidup tidak pernah menjalankan umrah pada bulan Ramadhan. Kita mengeluarkan zakat fitri dengan beras juga bid`ah, karena Rasulullah tidak pernah mengeluarkan zakat fitri dengan beras." Begitu kami menjelaskan.
"Lalu, yang disebut bid`ah itu apa Ustaz?" Tanyanya lagi. "Dalam bidang ibadah, yang disebut bid`ah adalah ibadah yang tidak ada dalilnya dalam agama (dalil syar`i). Yang dimaksud dalil syar`i adalah Alquran, hadis, ijma`, qiyas, dan lain-lain," tambah kami. "Contohnya apa, Ustaz?" Tanya dia lagi. "Contohnya, shalat Shubuh 10 rakaat. Tidak ada dalilnya dalam agama. Yang ada dalil olah raga. Pagi hari, semakin banyak bergerak semakin baik," jelas kami.
"Lalu, apakah peringatan maulid Nabi SAW itu ada dalilnya dalam agama?" Tanyanya lagi. "Untuk menghukumi sesuatu, kita tidak boleh melihat namanya, tetapi kita lihat substansi perbuatan atau materinya. Apabila kita menghukumi sesuatu dari namanya, hotdog yang bahannya terigu dan daging ayam yang disembelih sesuai syariah Islam, hukumnya haram karena makanan itu bernama hotdog alias anjing panas.''
''Maka, seperti kata Syekh Dr Ahmad al-Syurbasyi dalam kitabnya Yasalunaka fi al-Din wa al-Hayah, untuk menghukumi maulid, kita harus melihat perbuatan yang dilakukan dalam maulid itu. Apabila maulid itu diisi dengan maksiat dan kemungkaran, hukumnya haram. Namun, apabila diisi dengan membaca Alquran, penerangan perjuangan Rasulullah SAW, dan sebagainya, semua itu ada dalil yang menganjurkannya. Begitu pendapat Syekh Dr Ahmad al-Syurbasyi dari Mesir,'' jelas kami. "Wah, terima kasih, Ustaz. Sekarang saya sudah paham," jawabnya.
Kamis, 25 Juli 2013
ASHABUL KAHFI
Kisah Ashabul Kahfi (Dalam Kisah Pertanyaan Pendeta Yahudi terhadap Khalifah)
♥♥♥ Request dari : Wurie Guritno ♥♥♥
Bismillaahirrahmaanirrahii
"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung kedalam gua lalu mereka berdoa, "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)." (QS al-Kahfi:10).
Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Dikala Umar bin Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah, "Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.
"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.
"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) disaat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan dikala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak diwaktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berpikir sejenak, kemudian berkata, "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata, "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!"
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"
Sayyidina Ali r.a. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sayyidina Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkat,: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata, "Silahkan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata, "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!" "Ya baik!" jawab mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya, "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"
"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik laki-laki ataupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai kehadirat Allah!"
Para pendeta Yahudi bertanya lagi, "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?"
Ali bin Abi Thalib menjawab, "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!"
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata, "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut, "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"
"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi Yunus AS dibawa keliling ketujuh samudera!"
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi, "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"
Ali bin Abi Thalib menjawab, "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman AS putera Nabi Dawud AS, Semut itu berkata kepada kaumnya, 'Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya, "Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan diatas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun diantara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"
Ali bin Abi Thalib menjawab, "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."
Dua diantara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Sayyidina Ali r.a. lalu mengatakan, "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!"
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."
"Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Sayyidina Ali.
"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab, "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."
Pendeta Yahudi itu menyahut, "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut kedepan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata, "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasulullah SAW kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, disebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."
Baru sampai disitu, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya, "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"
Ali bin Abi Thalib menerangkan, "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya satu farsakh (+/- 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Disebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Disebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."
Sampai disitu pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata, "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"
"Hai saudara Yahudi," kata Sayyidina Ali menerangkan, "Mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi, lalu berkata, "Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"
Menanggapi hal itu, Sayyidina Ali r.a. menjawab, "Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri disebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung didalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung didalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah SWT.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu kedalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia berpikir, lalu berkata di dalam hati, "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya, 'Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?'
'Teman-teman,' sahut Tamlikha, 'hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.'
Teman-temannya mengejar, 'Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?'
'Sudah lama aku memikirkan soal langit,' ujar Tamlikha menjelaskan. 'Aku lalu bertanya pada diriku sendiri,'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga bumi ini, 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri, 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata, 'Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!'
'Saudara-saudara,' jawab Tamlikha, 'baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja Pencipta Langit dan Bumi!'
'Kami setuju dengan pendapatmu,' sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya, 'Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar. Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya,'Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?'
'Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,' sahut penggembala itu. 'Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!'
'Ah…, susahnya orang ini,' jawab mereka. 'Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?' 'Ya,' jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata, 'Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian.'
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."
Waktu cerita Sayyidina Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata, "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"
"Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib, "Anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya, kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali, 'Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT.'
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua."
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata, "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?"
Sayyidina Ali menjelaskan, "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau disebut juga dengan nama Kheram!"
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya, "Secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga duduk sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata, 'Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!'
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya, "Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.,
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lewat, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya, 'Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!'
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya, 'Siapakah diantara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.'
Tamlikha kemudian berkata, 'Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!'
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan, 'Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.'
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri, 'Kusangka aku ini masih tidur!' Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja rot, 'Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?' 'Aphesus,' sahut penjual roti itu.
'Siapakah nama raja kalian?' tanya Tamlikha lagi. 'Abdurrahman,' jawab penjual roti.
'Kalau yang kau katakan itu benar,' kata Tamlikha, 'urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!'
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat."
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"
Sayyidina Ali menerangkan, "Uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"
Sayyidina Ali kemudian melanjutkan ceritanya, "Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha, 'Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!'
'Aku tidak menemukan harta karun,' sangkal Tamlikha. 'Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!'
Penjual roti itu marah. Lalu berkata, 'Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?'
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berpikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, 'Bagaimana cerita tentang orang ini?' 'Dia menemukan harta karun,' jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, Raja berkata, 'Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.'
Tamlikha menjawab, 'Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!'
Raja bertanya sambil keheran-heranan, 'Engkau penduduk kota ini?' 'Ya. Benar,' sahut Tamlikha.
'Adakah orang yang kau kenal?' tanya raja lagi. 'Ya, ada,' jawab Tamlikha.
'Coba sebutkan siapa namanya,' perintah raja. Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata. 'Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?'
'Ya, tuanku,' jawab Tamlikha. 'Utuslah seorang menyertai aku!'
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan, 'Inilah rumahku!'
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang, 'Kalian ada perlu apa?'
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut, 'Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!'
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya, 'Siapa namamu?' 'Aku Tamlikha anak Filistin!'
Orang tua itu lalu berkata, 'Coba ulangi lagi!' Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap. 'Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang diantara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka." Kemudian diteruskannya dengan suara haru, 'Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!'
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian dilaporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya, 'Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?'
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Sayyidina Ali melanjutkan ceritanya.
"Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka, 'Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!'
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, 'Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!'
Tamlikha menukas, 'Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?'
'Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,' jawab mereka.
'Tidak!' sangkal Tamlikha. 'Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!'
Teman-teman Tamlikha menyahut, 'Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?' 'Lantas apa yang kalian inginkan?' Tamlikha balik bertanya.
'Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,' jawab mereka. Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa, 'Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!'
Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata, 'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.'
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula, 'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.'
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam."
Sampai di situ Sayyidina Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"
Pendeta Yahudi itu menjawab, "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat ini!"
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Khalifah Ali bin Abi Thalib dari Rasul SAW.
Sumber:majlisdzikrullahpek
--------------------------
♥♥Jika terdapat kesalahan dalam ketikan / isi yang tidak disengaja, admin mohon maaf sebesar-besarnya♥♥
::: Silahkan dishare / dibagikan jika postingan ini bermanfaat :::
KISAH
Kisahku Bersama Ulama Jin
Laut Syu’aibah dikenal oleh banyak orang sebagai bahrul Jin (laut Jin) yaitu laut yang dihuni oleh bangsa Jin. Yang demikian itu karena banyaknya kejadian aneh yang mereka alami di sana. Aku termasuk salah satu di antara mereka yang merasakan kejadian yang sangat aneh.
Sebagai bentuk amanah, aku tidak bisa menyatakan dengan pasti bahwa itu sebuah kejadian bersama jin, akan tetapi tafsir-tafsir kisah ini akan menunjukkan yang demikian, terutama bahwasannya laut itu telah ditinggalkan (tidak dijamah oleh manusia) lebih dari 13 abad.
Di antara yang pernah kualami adalah bahwa salah satu temanku tengah beristirahat di dalam mobilnya di malam hari, sementara aku dan sebagian teman lain tengah ngobrol malam bersama-sama di tepi pantai. Setelah istirahatnya di dalam mobil berlalu satu jam, dia mendatangi kami dan bertanya kepadaku di hadapan teman-teman yang lain, ‘Mengapa engkau mendatangiku untuk meminta hadir di sini, dan tidak membiarkanku menyelesaikan tidurku?’ Maka aku dan teman-teman tercengang karena aku sama sekali tidak pergi kepadanya.
Demikian pula, pernah terjadi sekali padaku, saat itu aku dalam keadaan sakit, sementara hawa dingin menusuk kala itu. Maka aku pun masuk ke dalam mobil untuk beristirahat. Sementara temanku masih memancing di pantai. Saat itu kira-kira pertengahan malam. Maka dia datang kepadaku, mengetuk kaca mobil dan memberikan isyarat kepadaku untuk membukakan kaca untuknya.
Aku berikan isyarat kepadanya bahwa aku ingin tidur. Maka dia pun pergi dan kuteruskan tidur. Dua jam setelah itu, aku terbangun dan pergi duduk bersamanya. Kemudian aku menanyainya tentang kehadirannya mengetuk kaca mobil padahal dia sudah tahu bahwa aku telah minta izin untuk istirahat barang sebentar. Dia pun mengagetkanku dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah mendatangiku, dan dia pun bersumpah atas hal tersebut.
Suatu ketika, aku pergi ke laut tersebut seorang diri, dan duduk di tepi pantai seorang diri di waktu malam. Tiba-tiba aku mendengar suara truk datang ke arahku dengan kecepatan tinggi seakan-akan ingin melindasku, padahal kenyataannya tidaklah demikian, maka akupun berlari menuju kemah dalam keadaan ketakutan dan keheranan. Dan ternyata tidak ada satu mobil pun yang datang, apalagi mobil truk.
Kurang lebih satu bulan setelah kejadian tersebut, 20 tahun yang lalu, aku dan salah seorang sahabatku keluar menuju Laut Syu’aibah persis di tempat tersebut. Kala itu suasananya sepi dari manusia sebagaimana biasa. Di saat kami duduk, dan saat itu adalah setelah maghrib, datanglah kepada kami seorang laki-laki, lalu menyampaikan salam dan meminta agar kami menyertainya shalat berjama’ah bersama teman-temannya.
Maka kami -aku dan sahabatku- melihat ke arah yang ditunjukkan oleh laki-laki tersebut, ternyata di sana sudah ada tiga mobil, yang di sebelahnya sudah ada kemah. Maka kami pun menjanjikannya untuk ikut hadir beberapa saat lagi.
Setelah dia pergi, aku dan sahabatku merasa heran, karena kami telah sampai di tempat ini sebelum maghrib, dan tidak ada seorangpun di sana, maka bagaimana mereka datang, lalu memasang kemah tanpa kami rasakan kehadiran mereka sama sekali?!! Termasuk perkara mustahil, mereka sampai di sini tanpa kami sadari!
Sahabatku berkata, ‘Aku khawatir mereka adalah jin.’ Maka akupun tertawa dengan kesimpulannya, sekalipun aku juga keheranan, perkara tersebut belum pernah terbetik di dalam benakku. Di saat kami selesai berwudhu’, sahabatku menolak untuk pergi bersamaku guna shalat bersama mereka.
Aku berusaha untuk membujuknya akan tetapi dia menolak mentah-mentah. Aku terpaksa pergi seorang diri menuju mereka. Di saat aku telah sampai, mereka menanyaikan sahabatku, maka kukatakan kepada mereka, bahwa dia akan shalat jama’ ta`khir dan aku nantinya akan shalat bersamanya biidznillah.
Namun sepertinya jawabanku tidak memuaskan mereka, terutama tampaknya pada diri mereka tanda-tanda keistiqamahan dalam bergama dengan pakaian mereka, jenggot dan ketenangan mereka.
Akupun shalat maghrib dan isya’ bersama mereka dengan jamak qoshor.
Kemudian, sebentar setelah shalat mereka membuat halaqah. Kemudian orang pertama dari sebelah kanan memulai membaca satu ayat dari al-Qur`an dan menafsirkannya, lalu menyebutkan sebuah hadits dan mensyarahnya. Setelah dia selesai, orang setelahnya melakukan seperti itu pula, dan demikian pula seterusnya.
Maka akupun merasa bahwa giliran tersebut akan sampai juga kepadaku, maka ketakutan pun merasukiku. Apa yang akan kukatakan di hadapan mereka yang tampak sekali bahwa mereka adalah para ulama, terutama umur mereka sudah tua sementara aku masih muda dan perbekalan ilmuku masih sangat sedikit.
Jumlah mereka kala itu 8 atau sembilan. Hanya dengan sampainya giliran tersebut pada orang yang keempat, aku sudah kehilangan konsentrasi memahami apa yang mereka katakan, karena konsentrasiku kala itu terpusat pada apa yang akan kukatakan saat datang giliranku. Dan alhamdulillah aku adalah orang yang terakhir di antara mereka.
Pada saat giliran telah sampai pada orang sebelumku, maka naiklah suhu badanku, keringatpun mulai menetes, ujung-ujung jarikupun gemetaran. Siapakah aku, saat berbicara dengan kehadiran para masyayikh tersebut?! Maka akupun mencela diriku sendiri mengapa aku menghadiri majelis mereka? Akan tetapi tidak ada faidahnya celaan tersebut, giliranpun datang….
Akan tetapi giliran orang yang sebelum aku selesai, dia mengagetkanku dengan beberapa pertanyaan tentang laut, seakan-akan dia ingin memahamkanku, bahwa aku berada di luar acara dakwah tersebut. Maka akupun sangat bergembira dengannya, dan akupun berdo’a untuknya di dalam hati karena telah menyelamatku dalam situasi sulit tersebut.
Maka akupun menjawab sebagian pertanyaan-pertanyaan mereka, hanya saja, aku merasa aneh saat mereka menanyaiku tentang tempat yang digunakan oleh para sahabat Nabi untuk menyebrang dalam hijrah mereka ke Habasyah.
Di saat aku menjawab mereka tentang tempat tersebut, yang jawaban itu adalah murni dari ijtihadku, mereka menyetujuiku dan berkata, ‘Engkau benar, ya benar.’ Aku pun heran dengan ucapan mereka, ‘Engkau benar.’ Seakan-akan mereka telah mengetahui hakikatnya. Lalu mengapa mereka bertanya kepadaku?!
Sebentar kemudian, aku meminta izin kepada mereka untuk kembali ke sahabatku. Mereka pun memberikan izin. Sesampai di sana, ia menegurku karena aku terlambat. Lalu aku menjelaskan kepadanya apa yang kualami.
Satu setengah jam kemudian, orang pertama yang sama datang kepada kami dan mengundang kami untuk menyertai makan malam bersama mereka.
Kami menolak dengan alasan bahwa makan malam kami sudah ada dan siap. Dia pun menolak mentah-mentah. Kami berusaha untuk meyakinkannya, namun gagal, dia terus menerus mendesak agar kami memenuhi undangan mereka. Maka kami tidak menemukan jalan kecuali setuju menghadiri undangannya. Dia pergi setelah kami katakan bahwa kami akan datang sebentar lagi.
Setelah dia pergi, sahabatku menolak untuk pergi bersamaku guna makan malam bersama mereka seperti yang kami janjikan kepada laki-laki itu. Aku berusaha untuk meyakinkan bahwa perkara ini akan sangat menyulitkanku. Akan tetapi dia tetap dalam sikapnya. Aku terpaksa memenuhi undangan tersebut padahal saat-saat yang paling indah pada rekreasi semacam ini adalah sate yang kami buat di atas laut. Akan tetapi aku berharap pahala kepada Allah, dan aku pun pergi kepada mereka sendirian.
Saat aku sampai, mereka menanyakan sahabatku, maka kukatakan bahwa dia ingin sendirian, dan sangat menyukai yang seperti itu. Mereka pun menerima alasan tersebut dengan lapang dada, dan mereka menyebutkan bahwa mereka berharap agar dia menyertai makan malam bersama mereka.
Makan malam kala itu berupa daging kambing yang telah mereka sediakan dan sembelih di laut. Aku telah melihat kambing tersebut saat shalat. Aku makan malam bersama mereka. Setelah makan malam, mereka menghidangkan teh. Setengah jam kemudian, aku meminta izin kepada mereka untuk kembali. Aku kembali ke sahabatku dan melanjutkan obrolan kami.
Namun, kurang lebih lima belas menit kemudian terjadi perkara yang aneh. Kami hadapkan wajah kami ke arah tempat duduk dan perkemahan mereka, tapi kami tidak menemukan seorangpun. Mereka telah benar-benar hilang. Aku dan sahabatku sangat tercengang, tidak mungkin mereka pergi tanpa kami mengetahui mereka, tanpa mengetahui suara dan cahaya mobil mereka.
Tanpa sadar akupun berdiri dan pergi berjalan ke arah tempat duduk mereka, dan sahabatku pun langsung menyusulku. Aku pusatkan pandanganku ke tampat mereka tadi duduk bermajlis. Aku tidak menemukan bekas apapun yang menunjukkan bahwa sebelumnya di sana ada satu orang duduk. Hingga bekas roda mobilpun tidak ditemukan di atas pasir, tidak ada bekas penyembelihan dan makan malam, tidak pula jejak kemah mereka.
Kemudian mengapa mereka mendirikan kemah kalau mereka tidak akan menginap di sini?! Kemudian, mengapa mereka meninggalkan seluruh sisi laut ini dan memilih duduk di sebelah kami?! Perasaan takutpun datang saat itu. Aku memutar kejadian yang kulalui bersama mereka. Kemudian aku sadar bahwa mereka belum mengenalkan diri mereka saat kami duduk bersama, dan ini menyelisihi adat kebiasaan kami bangsa Arab. Dan yang aneh, aku tidak mengingkari tidak adanya perkenalan kami, dan itu telah terjadi tanpa aku menyadarinya.
Demikian pula aku ingat persejutuan mereka akan penentuan tempat hijrah para sahabat, dan bahwa penemuanku itu benar 100 persen. Kemudian mereka pergi tanpa mengucapkan salam, dan ini juga menyelisihi adat kebiasaan kami.
Setelah jelas, bahwa tidak ditemukan jejak mereka, sahabatku pun kembali sambil berlari ketakutan di tengah kegelapan menuju ke dalam mobil, dan aku pun langsung menyusulnya juga. Dia menegurku dan berkata, ‘Bukankah telah kukatakan kepadamu sejak awal bahwa mereka adalah jin?!!
Kejadian ini terus ada dalam memoriku dan tidak pernah aku melupakannya sama sekali, jika mereka adalah dari bangsa jin. Maka segala puji bagi Allah yang telah menjadikanku bisa duduk bersama dengan orang-orang shalih di antara mereka, dan shalat bersama mereka.
Mamduh Farhan al-Buhairi
Laut Syu’aibah dikenal oleh banyak orang sebagai bahrul Jin (laut Jin) yaitu laut yang dihuni oleh bangsa Jin. Yang demikian itu karena banyaknya kejadian aneh yang mereka alami di sana. Aku termasuk salah satu di antara mereka yang merasakan kejadian yang sangat aneh.
Sebagai bentuk amanah, aku tidak bisa menyatakan dengan pasti bahwa itu sebuah kejadian bersama jin, akan tetapi tafsir-tafsir kisah ini akan menunjukkan yang demikian, terutama bahwasannya laut itu telah ditinggalkan (tidak dijamah oleh manusia) lebih dari 13 abad.
Di antara yang pernah kualami adalah bahwa salah satu temanku tengah beristirahat di dalam mobilnya di malam hari, sementara aku dan sebagian teman lain tengah ngobrol malam bersama-sama di tepi pantai. Setelah istirahatnya di dalam mobil berlalu satu jam, dia mendatangi kami dan bertanya kepadaku di hadapan teman-teman yang lain, ‘Mengapa engkau mendatangiku untuk meminta hadir di sini, dan tidak membiarkanku menyelesaikan tidurku?’ Maka aku dan teman-teman tercengang karena aku sama sekali tidak pergi kepadanya.
Demikian pula, pernah terjadi sekali padaku, saat itu aku dalam keadaan sakit, sementara hawa dingin menusuk kala itu. Maka aku pun masuk ke dalam mobil untuk beristirahat. Sementara temanku masih memancing di pantai. Saat itu kira-kira pertengahan malam. Maka dia datang kepadaku, mengetuk kaca mobil dan memberikan isyarat kepadaku untuk membukakan kaca untuknya.
Aku berikan isyarat kepadanya bahwa aku ingin tidur. Maka dia pun pergi dan kuteruskan tidur. Dua jam setelah itu, aku terbangun dan pergi duduk bersamanya. Kemudian aku menanyainya tentang kehadirannya mengetuk kaca mobil padahal dia sudah tahu bahwa aku telah minta izin untuk istirahat barang sebentar. Dia pun mengagetkanku dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah mendatangiku, dan dia pun bersumpah atas hal tersebut.
Suatu ketika, aku pergi ke laut tersebut seorang diri, dan duduk di tepi pantai seorang diri di waktu malam. Tiba-tiba aku mendengar suara truk datang ke arahku dengan kecepatan tinggi seakan-akan ingin melindasku, padahal kenyataannya tidaklah demikian, maka akupun berlari menuju kemah dalam keadaan ketakutan dan keheranan. Dan ternyata tidak ada satu mobil pun yang datang, apalagi mobil truk.
Kurang lebih satu bulan setelah kejadian tersebut, 20 tahun yang lalu, aku dan salah seorang sahabatku keluar menuju Laut Syu’aibah persis di tempat tersebut. Kala itu suasananya sepi dari manusia sebagaimana biasa. Di saat kami duduk, dan saat itu adalah setelah maghrib, datanglah kepada kami seorang laki-laki, lalu menyampaikan salam dan meminta agar kami menyertainya shalat berjama’ah bersama teman-temannya.
Maka kami -aku dan sahabatku- melihat ke arah yang ditunjukkan oleh laki-laki tersebut, ternyata di sana sudah ada tiga mobil, yang di sebelahnya sudah ada kemah. Maka kami pun menjanjikannya untuk ikut hadir beberapa saat lagi.
Setelah dia pergi, aku dan sahabatku merasa heran, karena kami telah sampai di tempat ini sebelum maghrib, dan tidak ada seorangpun di sana, maka bagaimana mereka datang, lalu memasang kemah tanpa kami rasakan kehadiran mereka sama sekali?!! Termasuk perkara mustahil, mereka sampai di sini tanpa kami sadari!
Sahabatku berkata, ‘Aku khawatir mereka adalah jin.’ Maka akupun tertawa dengan kesimpulannya, sekalipun aku juga keheranan, perkara tersebut belum pernah terbetik di dalam benakku. Di saat kami selesai berwudhu’, sahabatku menolak untuk pergi bersamaku guna shalat bersama mereka.
Aku berusaha untuk membujuknya akan tetapi dia menolak mentah-mentah. Aku terpaksa pergi seorang diri menuju mereka. Di saat aku telah sampai, mereka menanyaikan sahabatku, maka kukatakan kepada mereka, bahwa dia akan shalat jama’ ta`khir dan aku nantinya akan shalat bersamanya biidznillah.
Namun sepertinya jawabanku tidak memuaskan mereka, terutama tampaknya pada diri mereka tanda-tanda keistiqamahan dalam bergama dengan pakaian mereka, jenggot dan ketenangan mereka.
Akupun shalat maghrib dan isya’ bersama mereka dengan jamak qoshor.
Kemudian, sebentar setelah shalat mereka membuat halaqah. Kemudian orang pertama dari sebelah kanan memulai membaca satu ayat dari al-Qur`an dan menafsirkannya, lalu menyebutkan sebuah hadits dan mensyarahnya. Setelah dia selesai, orang setelahnya melakukan seperti itu pula, dan demikian pula seterusnya.
Maka akupun merasa bahwa giliran tersebut akan sampai juga kepadaku, maka ketakutan pun merasukiku. Apa yang akan kukatakan di hadapan mereka yang tampak sekali bahwa mereka adalah para ulama, terutama umur mereka sudah tua sementara aku masih muda dan perbekalan ilmuku masih sangat sedikit.
Jumlah mereka kala itu 8 atau sembilan. Hanya dengan sampainya giliran tersebut pada orang yang keempat, aku sudah kehilangan konsentrasi memahami apa yang mereka katakan, karena konsentrasiku kala itu terpusat pada apa yang akan kukatakan saat datang giliranku. Dan alhamdulillah aku adalah orang yang terakhir di antara mereka.
Pada saat giliran telah sampai pada orang sebelumku, maka naiklah suhu badanku, keringatpun mulai menetes, ujung-ujung jarikupun gemetaran. Siapakah aku, saat berbicara dengan kehadiran para masyayikh tersebut?! Maka akupun mencela diriku sendiri mengapa aku menghadiri majelis mereka? Akan tetapi tidak ada faidahnya celaan tersebut, giliranpun datang….
Akan tetapi giliran orang yang sebelum aku selesai, dia mengagetkanku dengan beberapa pertanyaan tentang laut, seakan-akan dia ingin memahamkanku, bahwa aku berada di luar acara dakwah tersebut. Maka akupun sangat bergembira dengannya, dan akupun berdo’a untuknya di dalam hati karena telah menyelamatku dalam situasi sulit tersebut.
Maka akupun menjawab sebagian pertanyaan-pertanyaan mereka, hanya saja, aku merasa aneh saat mereka menanyaiku tentang tempat yang digunakan oleh para sahabat Nabi untuk menyebrang dalam hijrah mereka ke Habasyah.
Di saat aku menjawab mereka tentang tempat tersebut, yang jawaban itu adalah murni dari ijtihadku, mereka menyetujuiku dan berkata, ‘Engkau benar, ya benar.’ Aku pun heran dengan ucapan mereka, ‘Engkau benar.’ Seakan-akan mereka telah mengetahui hakikatnya. Lalu mengapa mereka bertanya kepadaku?!
Sebentar kemudian, aku meminta izin kepada mereka untuk kembali ke sahabatku. Mereka pun memberikan izin. Sesampai di sana, ia menegurku karena aku terlambat. Lalu aku menjelaskan kepadanya apa yang kualami.
Satu setengah jam kemudian, orang pertama yang sama datang kepada kami dan mengundang kami untuk menyertai makan malam bersama mereka.
Kami menolak dengan alasan bahwa makan malam kami sudah ada dan siap. Dia pun menolak mentah-mentah. Kami berusaha untuk meyakinkannya, namun gagal, dia terus menerus mendesak agar kami memenuhi undangan mereka. Maka kami tidak menemukan jalan kecuali setuju menghadiri undangannya. Dia pergi setelah kami katakan bahwa kami akan datang sebentar lagi.
Setelah dia pergi, sahabatku menolak untuk pergi bersamaku guna makan malam bersama mereka seperti yang kami janjikan kepada laki-laki itu. Aku berusaha untuk meyakinkan bahwa perkara ini akan sangat menyulitkanku. Akan tetapi dia tetap dalam sikapnya. Aku terpaksa memenuhi undangan tersebut padahal saat-saat yang paling indah pada rekreasi semacam ini adalah sate yang kami buat di atas laut. Akan tetapi aku berharap pahala kepada Allah, dan aku pun pergi kepada mereka sendirian.
Saat aku sampai, mereka menanyakan sahabatku, maka kukatakan bahwa dia ingin sendirian, dan sangat menyukai yang seperti itu. Mereka pun menerima alasan tersebut dengan lapang dada, dan mereka menyebutkan bahwa mereka berharap agar dia menyertai makan malam bersama mereka.
Makan malam kala itu berupa daging kambing yang telah mereka sediakan dan sembelih di laut. Aku telah melihat kambing tersebut saat shalat. Aku makan malam bersama mereka. Setelah makan malam, mereka menghidangkan teh. Setengah jam kemudian, aku meminta izin kepada mereka untuk kembali. Aku kembali ke sahabatku dan melanjutkan obrolan kami.
Namun, kurang lebih lima belas menit kemudian terjadi perkara yang aneh. Kami hadapkan wajah kami ke arah tempat duduk dan perkemahan mereka, tapi kami tidak menemukan seorangpun. Mereka telah benar-benar hilang. Aku dan sahabatku sangat tercengang, tidak mungkin mereka pergi tanpa kami mengetahui mereka, tanpa mengetahui suara dan cahaya mobil mereka.
Tanpa sadar akupun berdiri dan pergi berjalan ke arah tempat duduk mereka, dan sahabatku pun langsung menyusulku. Aku pusatkan pandanganku ke tampat mereka tadi duduk bermajlis. Aku tidak menemukan bekas apapun yang menunjukkan bahwa sebelumnya di sana ada satu orang duduk. Hingga bekas roda mobilpun tidak ditemukan di atas pasir, tidak ada bekas penyembelihan dan makan malam, tidak pula jejak kemah mereka.
Kemudian mengapa mereka mendirikan kemah kalau mereka tidak akan menginap di sini?! Kemudian, mengapa mereka meninggalkan seluruh sisi laut ini dan memilih duduk di sebelah kami?! Perasaan takutpun datang saat itu. Aku memutar kejadian yang kulalui bersama mereka. Kemudian aku sadar bahwa mereka belum mengenalkan diri mereka saat kami duduk bersama, dan ini menyelisihi adat kebiasaan kami bangsa Arab. Dan yang aneh, aku tidak mengingkari tidak adanya perkenalan kami, dan itu telah terjadi tanpa aku menyadarinya.
Demikian pula aku ingat persejutuan mereka akan penentuan tempat hijrah para sahabat, dan bahwa penemuanku itu benar 100 persen. Kemudian mereka pergi tanpa mengucapkan salam, dan ini juga menyelisihi adat kebiasaan kami.
Setelah jelas, bahwa tidak ditemukan jejak mereka, sahabatku pun kembali sambil berlari ketakutan di tengah kegelapan menuju ke dalam mobil, dan aku pun langsung menyusulnya juga. Dia menegurku dan berkata, ‘Bukankah telah kukatakan kepadamu sejak awal bahwa mereka adalah jin?!!
Kejadian ini terus ada dalam memoriku dan tidak pernah aku melupakannya sama sekali, jika mereka adalah dari bangsa jin. Maka segala puji bagi Allah yang telah menjadikanku bisa duduk bersama dengan orang-orang shalih di antara mereka, dan shalat bersama mereka.
Mamduh Farhan al-Buhairi
Maksud Ibadah I’tikaf
Di
akhir-akhir bulan Ramadhan, ada amalan mulia yang bisa dipraktekkan. Di
antara tujuan melakukan amalan ini adalah kemudahan untuk meraih
Lailatul Qadar, yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan, selain
itu juga untuk mudah berkonsentrasi dalam ibadah pada Allah Ta’ala.
Amalan itu adalah amalan i’tikaf.
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ
رَمَضَانَ
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan
(HR. Bukhari no. 2025 dan Muslim no. 1171).
Dalil di atas
menunjukkan disyari’atkannya i’tikaf. Yang dimaksud i’tikaf adalah
menetap di masjid yang diniatkan untuk beribadah yang dilakukan oleh
orang tertentu dengan tata cara tertentu. Perlu diketahui bahwa hukum
i’tikaf itu sunnah dan bukan wajib. Ibnul Qayyim rahimahullah telah
menjelaskan maksud i’tikaf dalam kitab Zaadul Ma’ad (2: 82-83),
“Maksud i’tikaf adalah mengkonsentrasikan hati supaya beribadah penuh
pada Allah. I’tikaf berarti seseorang menyendiri dengan Allah dan
memutuskan dari berbagai macam kesibukan dengan makhluk. Yang beri’tikaf
hanya berkonsentrasi beribadah pada Allah saja. Dengan hati yang
berkonsetrasi seperti ini, ketergantungan hatinya pada makhluk akan
berganti pada Allah. Rasa cinta dan harapnya akan beralih pada Allah.
Ini tentu saja maksud besar dari ibadah mulia ini. Jika maksud i’tikaf
memang demikian, maka berarti i’tikaf semakin sempurna jika dilakukan
dengan ibadah puasa. Dan memang lebih afdhol dilakukan di hari-hari
puasa”.
Di
akhir-akhir bulan Ramadhan, ada amalan mulia yang bisa dipraktekkan. Di
antara tujuan melakukan amalan ini adalah kemudahan untuk meraih
Lailatul Qadar, yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan, selain
itu juga untuk mudah berkonsentrasi dalam ibadah pada Allah Ta’ala.
Amalan itu adalah amalan i’tikaf.
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan (HR. Bukhari no. 2025 dan Muslim no. 1171).
Dalil di atas menunjukkan disyari’atkannya i’tikaf. Yang dimaksud i’tikaf adalah menetap di masjid yang diniatkan untuk beribadah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu. Perlu diketahui bahwa hukum i’tikaf itu sunnah dan bukan wajib. Ibnul Qayyim rahimahullah telah menjelaskan maksud i’tikaf dalam kitab Zaadul Ma’ad (2: 82-83),
“Maksud i’tikaf adalah mengkonsentrasikan hati supaya beribadah penuh pada Allah. I’tikaf berarti seseorang menyendiri dengan Allah dan memutuskan dari berbagai macam kesibukan dengan makhluk. Yang beri’tikaf hanya berkonsentrasi beribadah pada Allah saja. Dengan hati yang berkonsetrasi seperti ini, ketergantungan hatinya pada makhluk akan berganti pada Allah. Rasa cinta dan harapnya akan beralih pada Allah. Ini tentu saja maksud besar dari ibadah mulia ini. Jika maksud i’tikaf memang demikian, maka berarti i’tikaf semakin sempurna jika dilakukan dengan ibadah puasa. Dan memang lebih afdhol dilakukan di hari-hari puasa”.
Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan (HR. Bukhari no. 2025 dan Muslim no. 1171).
Dalil di atas menunjukkan disyari’atkannya i’tikaf. Yang dimaksud i’tikaf adalah menetap di masjid yang diniatkan untuk beribadah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu. Perlu diketahui bahwa hukum i’tikaf itu sunnah dan bukan wajib. Ibnul Qayyim rahimahullah telah menjelaskan maksud i’tikaf dalam kitab Zaadul Ma’ad (2: 82-83),
“Maksud i’tikaf adalah mengkonsentrasikan hati supaya beribadah penuh pada Allah. I’tikaf berarti seseorang menyendiri dengan Allah dan memutuskan dari berbagai macam kesibukan dengan makhluk. Yang beri’tikaf hanya berkonsentrasi beribadah pada Allah saja. Dengan hati yang berkonsetrasi seperti ini, ketergantungan hatinya pada makhluk akan berganti pada Allah. Rasa cinta dan harapnya akan beralih pada Allah. Ini tentu saja maksud besar dari ibadah mulia ini. Jika maksud i’tikaf memang demikian, maka berarti i’tikaf semakin sempurna jika dilakukan dengan ibadah puasa. Dan memang lebih afdhol dilakukan di hari-hari puasa”.
Langganan:
Postingan (Atom)