Minggu, 28 Juli 2013

AQIDAH YANG LURUS KUNCI KEMENANGAN

Saat itu, tepat 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memandangi pasukan musuhnya yang berjumlah seribu orang dan pasukan yang dibawanya sejumlah 310 lebih sedikit. Hamba mulia ini memanjatkan doa yang begitu mengharu biru di tengah pasukannya yang amat sedikit dan apa adanya, melawan pasukan kafir Quraisy yang tiga kali lipat menghadang di hadapan mereka di padang Badar. Dengan menghadap Kiblat dan mengangkat kedua tangannya, Beliau berdoa:

اللهم! أنجز لي ما وعدتني. اللهم! آت ما وعدتني. اللهم! إن تهلك هذه العصابة من أهل الإسلام لا تعبد في الأرض

Ya Allah! Penuhilah untukku apa yang Kau janjikan kepadaku. Ya Allah! Berikan apa yang telah Kau janjikan kepadaku. Ya Allah! jika Engkau biarkan pasukan Islam ini binasa, … maka tidak ada lagi yang menyembahMu di muka bumi.”

Beliau senantiasa berdoa dengan suara tinggi seperti itu dan menggerakan kedua tangannya yang sedang menengadah dan menghadap Kiblat, sampai-sampai selendang yang dibawanya jatuh dari pundaknya. Lalu Abu Bakar menghampirinya dan meletakkan kembali selendang itu di pundaknya dan dia terus berada di belakangnya. Lalu Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu berkata:

يا نبي الله! كذاك مناشدتك ربك. فإنه سينجز لك ما وعدك

“Wahai Nabi Allah! Inilah sumpahmu kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia akan memenuhi apa yang dijanjikanNya kepadamu.”

Lalu turunlah firman Allah Ta’ala:

إذ تستغيثون ربكم فاستجاب لكم أني ممدكم بألف من الملائكة مردفين

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut." (QS. Al Anfal (8): 9). (HR. Muslim No. 1763, At Tirmidzi No. 5075, Ibnu Hibban No. 4793. Ahmad No. 208, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/95)

Lalu, terjadilah pertempuran yang sebenarnya tidak seimbang itu, namun karena kekuatan iman, kekuatan ukhuwah, kepemimpinan yang berwibawa, serta ditopang strategi yang jitu, kaum Muslimin berhasil memenangkan pertempuran yang disebut dalam Al Quran sebagai “Yaumul Furqan” (Hari Pembeda). Hari yang membedakan antara hak dan batil, antara periode dakwah yang selalu tertindas menjadi dakwah yang disegani.

Dunia Arab sebelum Islam, juga memiliki peradaban tinggi yang terbukti dari kemampuan mereka membuat tata kota yang bagus, pengairan sawah yang baik, serta karya seni bernilai tinggi. Tetapi, sejarah Islam tetap memposisikan mereka sebagai era Jahiliyah.

Sebab, keilmuan yang mereka miliki tidak mampu menolong mereka untuk mengetahui siapa Tuhan mereka sebenarnya, justru mereka menyembah dan mengagungkan produk budaya mereka sendiri yaitu berhala-berhala yang indah yang mereka ciptakan.

Perhatikan umat Islam saat ini, umumnya mereka jauh dari agamanya, jauh dari Al Quran dan Sunnah nabinya, tetapi lebih dekat bahkan sampai taraf memberikan cinta terhadap budaya, pemikiran dan akhlak Barat yang nota bene non muslim yang justru hendak menghancurkannya. Sayangnya mereka tidak menyadarinya. Hal ini membawa dampak lainnya; masjid yang sepi kecuali shalat Jumat, merosotnya moral baik pejabat atau rakyatnya, ibadah hanya menjadi rutinitas kosong belaka tanpa bekas dan pengaruh dalam kehidupan, ulama tidak berwibawa baik ilmu dan perbuatannya, pergaulan bebas remaja, angka perceraian yang tinggi, pornografi dan porno aksi dianggap biasa, dan segudang permasalahan lainnya. Ini semua berawal dari kebodohan terhadap agama, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berjanji bahwa berbagai kebaikan – termasuk kebaikan dalam urusan dunia dan ilmu pengetahuan- akan datang bersamaan dengan pemahaman yang benar terhadap agama.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan maka akan dipahamkan baginya ilmu agama.” (HR. Bukhari No. 2948, Muslim No. 1037, At Tirmidzi No. 2783, Ibnu Majah No. 220, Ibnu Hibban No. 89, 310, 3401, Malik No. 1599, Ad Darimi No. 224, 2706, Abu Ya’la No. 7381, Musnad Ishaq No.439, dan lainnya)

Aqidah adalah pegangan hidup yang utama dan menjadi fondasi untuk lahirnya imanul ‘amiq (keimanan yang mendalam). Aqidah yang kuat hanya menjadikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya penolong dari kesulitan hidup dan permasalahnnya. Tidak takut mati, apalagi takut miskin.

Sebab seorang yang mengimani Allah Ta’ala sebagai pengatur hidup akan merasa aman dan tentram hatinya ketika menyandarkan dirinya kepada pemiliki kehidupan itu sendiri. Berbeda dengan orang yang aqidahnya lemah, dia lebih takut dengan ancaman makhluk dibanding azab Allah Ta’ala. Seperti yang terjadi saat ini, umat Islam (khususnya para pemimpinnya) lebih takut dengan ‘azab’ yang diberikan Amerika Serikat dan sekutunya dibanding azab dari Rabb mereka. Begitu juga ketika sepasang manusia berzina, mereka lebih takut hamil dibanding takut kepada Allah Ta’ala.

Sumayyah, seorang wanita yang mati syahid dan menjadi syahid pertama dalam Islam. Dia tetap memgang teguh agama tauhid walau mengalami penyiksaan yang membuatnya dibunuh secara keji.

Bilal bin Rabbah, seorang sahabat nabi yang disiksa dengan ditindih batu besar pada siang yang amat panas, agar ia mau keluar dari agama Islam dan kembali mengakui ketuhanan kolektif Arab jahiliyah. Tetapi dia tetap dalam keimanannya, dan mengatakan; “ahad .. ahad .. ahad … (Yang Maha Tunggal (Esa) ….)

Masyithah, seorang wanita pelayan di istana Fir’aun yang tetap teguh menyembah Allah Ta’ala dan menolak pengakuan ketuhanan Fir’aun. Dia bersama keluarganya direbus hidup-hidup untuk mempertahankan aqidahnya.

Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu yang pernah mengatakan: “Umat ini tidak akan jaya kecuali dengan cara pertama kali ia dijayakan genarasi awalnya.”

Yaitu dengan iman, ilmu, ukhuwah islamiyah yang solid diatas landasan Aqidah yang Haq, dan ruhul jihadiah (semangat juang) yang tidak terputus. Sehingga umat Islam menjadi cerdas tidak bodoh, kuat tidak lemah, berwibawa tidak direndahkan, dan solid tidak berpecah. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar