Kisahku Bersama Ulama Jin
Laut Syu’aibah dikenal oleh banyak
orang sebagai bahrul Jin (laut Jin) yaitu laut yang dihuni oleh bangsa
Jin. Yang demikian itu karena banyaknya
kejadian aneh yang mereka alami di sana. Aku termasuk salah satu di
antara mereka yang merasakan kejadian yang sangat aneh.
Sebagai
bentuk amanah, aku tidak bisa menyatakan dengan pasti bahwa itu sebuah
kejadian bersama jin, akan tetapi tafsir-tafsir kisah ini akan
menunjukkan yang demikian, terutama bahwasannya laut itu telah
ditinggalkan (tidak dijamah oleh manusia) lebih dari 13 abad.
Di antara yang pernah kualami adalah bahwa salah satu temanku tengah
beristirahat di dalam mobilnya di malam hari, sementara aku dan sebagian
teman lain tengah ngobrol malam bersama-sama di tepi pantai. Setelah
istirahatnya di dalam mobil berlalu satu jam, dia mendatangi kami dan
bertanya kepadaku di hadapan teman-teman yang lain, ‘Mengapa engkau
mendatangiku untuk meminta hadir di sini, dan tidak membiarkanku
menyelesaikan tidurku?’ Maka aku dan teman-teman tercengang karena aku
sama sekali tidak pergi kepadanya.
Demikian pula, pernah
terjadi sekali padaku, saat itu aku dalam keadaan sakit, sementara hawa
dingin menusuk kala itu. Maka aku pun masuk ke dalam mobil untuk
beristirahat. Sementara temanku masih memancing di pantai. Saat itu
kira-kira pertengahan malam. Maka dia datang kepadaku, mengetuk kaca
mobil dan memberikan isyarat kepadaku untuk membukakan kaca untuknya.
Aku berikan isyarat kepadanya bahwa aku ingin tidur. Maka dia pun pergi
dan kuteruskan tidur. Dua jam setelah itu, aku terbangun dan pergi
duduk bersamanya. Kemudian aku menanyainya tentang kehadirannya mengetuk
kaca mobil padahal dia sudah tahu bahwa aku telah minta izin untuk
istirahat barang sebentar. Dia pun mengagetkanku dengan mengatakan bahwa
dia tidak pernah mendatangiku, dan dia pun bersumpah atas hal tersebut.
Suatu ketika, aku pergi ke laut tersebut seorang diri, dan duduk di
tepi pantai seorang diri di waktu malam. Tiba-tiba aku mendengar suara
truk datang ke arahku dengan kecepatan tinggi seakan-akan ingin
melindasku, padahal kenyataannya tidaklah demikian, maka akupun berlari
menuju kemah dalam keadaan ketakutan dan keheranan. Dan ternyata tidak
ada satu mobil pun yang datang, apalagi mobil truk.
Kurang
lebih satu bulan setelah kejadian tersebut, 20 tahun yang lalu, aku dan
salah seorang sahabatku keluar menuju Laut Syu’aibah persis di tempat
tersebut. Kala itu suasananya sepi dari manusia sebagaimana biasa. Di
saat kami duduk, dan saat itu adalah setelah maghrib, datanglah kepada
kami seorang laki-laki, lalu menyampaikan salam dan meminta agar kami
menyertainya shalat berjama’ah bersama teman-temannya.
Maka
kami -aku dan sahabatku- melihat ke arah yang ditunjukkan oleh laki-laki
tersebut, ternyata di sana sudah ada tiga mobil, yang di sebelahnya
sudah ada kemah. Maka kami pun menjanjikannya untuk ikut hadir beberapa
saat lagi.
Setelah dia pergi, aku dan sahabatku merasa heran,
karena kami telah sampai di tempat ini sebelum maghrib, dan tidak ada
seorangpun di sana, maka bagaimana mereka datang, lalu memasang kemah
tanpa kami rasakan kehadiran mereka sama sekali?!! Termasuk perkara
mustahil, mereka sampai di sini tanpa kami sadari!
Sahabatku
berkata, ‘Aku khawatir mereka adalah jin.’ Maka akupun tertawa dengan
kesimpulannya, sekalipun aku juga keheranan, perkara tersebut belum
pernah terbetik di dalam benakku. Di saat kami selesai berwudhu’,
sahabatku menolak untuk pergi bersamaku guna shalat bersama mereka.
Aku berusaha untuk membujuknya akan tetapi dia menolak mentah-mentah.
Aku terpaksa pergi seorang diri menuju mereka. Di saat aku telah sampai,
mereka menanyaikan sahabatku, maka kukatakan kepada mereka, bahwa dia
akan shalat jama’ ta`khir dan aku nantinya akan shalat bersamanya
biidznillah.
Namun sepertinya jawabanku tidak memuaskan mereka,
terutama tampaknya pada diri mereka tanda-tanda keistiqamahan dalam
bergama dengan pakaian mereka, jenggot dan ketenangan mereka.
Akupun shalat maghrib dan isya’ bersama mereka dengan jamak qoshor.
Kemudian, sebentar setelah shalat mereka membuat halaqah. Kemudian
orang pertama dari sebelah kanan memulai membaca satu ayat dari
al-Qur`an dan menafsirkannya, lalu menyebutkan sebuah hadits dan
mensyarahnya. Setelah dia selesai, orang setelahnya melakukan seperti
itu pula, dan demikian pula seterusnya.
Maka akupun merasa
bahwa giliran tersebut akan sampai juga kepadaku, maka ketakutan pun
merasukiku. Apa yang akan kukatakan di hadapan mereka yang tampak sekali
bahwa mereka adalah para ulama, terutama umur mereka sudah tua
sementara aku masih muda dan perbekalan ilmuku masih sangat sedikit.
Jumlah mereka kala itu 8 atau sembilan. Hanya dengan sampainya giliran
tersebut pada orang yang keempat, aku sudah kehilangan konsentrasi
memahami apa yang mereka katakan, karena konsentrasiku kala itu terpusat
pada apa yang akan kukatakan saat datang giliranku. Dan alhamdulillah
aku adalah orang yang terakhir di antara mereka.
Pada saat
giliran telah sampai pada orang sebelumku, maka naiklah suhu badanku,
keringatpun mulai menetes, ujung-ujung jarikupun gemetaran. Siapakah
aku, saat berbicara dengan kehadiran para masyayikh tersebut?! Maka
akupun mencela diriku sendiri mengapa aku menghadiri majelis mereka?
Akan tetapi tidak ada faidahnya celaan tersebut, giliranpun datang….
Akan tetapi giliran orang yang sebelum aku selesai, dia mengagetkanku
dengan beberapa pertanyaan tentang laut, seakan-akan dia ingin
memahamkanku, bahwa aku berada di luar acara dakwah tersebut. Maka
akupun sangat bergembira dengannya, dan akupun berdo’a untuknya di dalam
hati karena telah menyelamatku dalam situasi sulit tersebut.
Maka akupun menjawab sebagian pertanyaan-pertanyaan mereka, hanya saja,
aku merasa aneh saat mereka menanyaiku tentang tempat yang digunakan
oleh para sahabat Nabi untuk menyebrang dalam hijrah mereka ke Habasyah.
Di saat aku menjawab mereka tentang tempat tersebut, yang jawaban itu
adalah murni dari ijtihadku, mereka menyetujuiku dan berkata, ‘Engkau
benar, ya benar.’ Aku pun heran dengan ucapan mereka, ‘Engkau benar.’
Seakan-akan mereka telah mengetahui hakikatnya. Lalu mengapa mereka
bertanya kepadaku?!
Sebentar kemudian, aku meminta izin kepada
mereka untuk kembali ke sahabatku. Mereka pun memberikan izin. Sesampai
di sana, ia menegurku karena aku terlambat. Lalu aku menjelaskan
kepadanya apa yang kualami.
Satu setengah jam kemudian, orang
pertama yang sama datang kepada kami dan mengundang kami untuk menyertai
makan malam bersama mereka.
Kami menolak dengan alasan bahwa
makan malam kami sudah ada dan siap. Dia pun menolak mentah-mentah. Kami
berusaha untuk meyakinkannya, namun gagal, dia terus menerus mendesak
agar kami memenuhi undangan mereka. Maka kami tidak menemukan jalan
kecuali setuju menghadiri undangannya. Dia pergi setelah kami katakan
bahwa kami akan datang sebentar lagi.
Setelah dia pergi,
sahabatku menolak untuk pergi bersamaku guna makan malam bersama mereka
seperti yang kami janjikan kepada laki-laki itu. Aku berusaha untuk
meyakinkan bahwa perkara ini akan sangat menyulitkanku. Akan tetapi dia
tetap dalam sikapnya. Aku terpaksa memenuhi undangan tersebut padahal
saat-saat yang paling indah pada rekreasi semacam ini adalah sate yang
kami buat di atas laut. Akan tetapi aku berharap pahala kepada Allah,
dan aku pun pergi kepada mereka sendirian.
Saat aku sampai,
mereka menanyakan sahabatku, maka kukatakan bahwa dia ingin sendirian,
dan sangat menyukai yang seperti itu. Mereka pun menerima alasan
tersebut dengan lapang dada, dan mereka menyebutkan bahwa mereka
berharap agar dia menyertai makan malam bersama mereka.
Makan
malam kala itu berupa daging kambing yang telah mereka sediakan dan
sembelih di laut. Aku telah melihat kambing tersebut saat shalat. Aku
makan malam bersama mereka. Setelah makan malam, mereka menghidangkan
teh. Setengah jam kemudian, aku meminta izin kepada mereka untuk
kembali. Aku kembali ke sahabatku dan melanjutkan obrolan kami.
Namun, kurang lebih lima belas menit kemudian terjadi perkara yang
aneh. Kami hadapkan wajah kami ke arah tempat duduk dan perkemahan
mereka, tapi kami tidak menemukan seorangpun. Mereka telah benar-benar
hilang. Aku dan sahabatku sangat tercengang, tidak mungkin mereka pergi
tanpa kami mengetahui mereka, tanpa mengetahui suara dan cahaya mobil
mereka.
Tanpa sadar akupun berdiri dan pergi berjalan ke arah
tempat duduk mereka, dan sahabatku pun langsung menyusulku. Aku pusatkan
pandanganku ke tampat mereka tadi duduk bermajlis. Aku tidak menemukan
bekas apapun yang menunjukkan bahwa sebelumnya di sana ada satu orang
duduk. Hingga bekas roda mobilpun tidak ditemukan di atas pasir, tidak
ada bekas penyembelihan dan makan malam, tidak pula jejak kemah mereka.
Kemudian mengapa mereka mendirikan kemah kalau mereka tidak akan
menginap di sini?! Kemudian, mengapa mereka meninggalkan seluruh sisi
laut ini dan memilih duduk di sebelah kami?! Perasaan takutpun datang
saat itu. Aku memutar kejadian yang kulalui bersama mereka. Kemudian aku
sadar bahwa mereka belum mengenalkan diri mereka saat kami duduk
bersama, dan ini menyelisihi adat kebiasaan kami bangsa Arab. Dan yang
aneh, aku tidak mengingkari tidak adanya perkenalan kami, dan itu telah
terjadi tanpa aku menyadarinya.
Demikian pula aku ingat
persejutuan mereka akan penentuan tempat hijrah para sahabat, dan bahwa
penemuanku itu benar 100 persen. Kemudian mereka pergi tanpa mengucapkan
salam, dan ini juga menyelisihi adat kebiasaan kami.
Setelah
jelas, bahwa tidak ditemukan jejak mereka, sahabatku pun kembali sambil
berlari ketakutan di tengah kegelapan menuju ke dalam mobil, dan aku pun
langsung menyusulnya juga. Dia menegurku dan berkata, ‘Bukankah telah
kukatakan kepadamu sejak awal bahwa mereka adalah jin?!!
Kejadian ini terus ada dalam memoriku dan tidak pernah aku melupakannya
sama sekali, jika mereka adalah dari bangsa jin. Maka segala puji bagi
Allah yang telah menjadikanku bisa duduk bersama dengan orang-orang
shalih di antara mereka, dan shalat bersama mereka.
Mamduh Farhan al-Buhairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar