BAHASA PERBUATAN (KETELADANAN) DALAM MENJELASKAN AGAMA ISLAM
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Pada saat ini, kita berkeinginan menjelaskan masalah agama (dakwah)
yang lebih sejati atau persuasif dengan penjelasan yang menekankan pada
keteladanan dan keluhuran budi pekerti (akhlak). Untuk itu, kita perlu
belajar banyak kepada Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan
sahabat-sahabatnya karena bahasa perbuatan (keteladanan) itu jauh lebih
efektif bila dibandingkan dengan bahasa verbal atau retorika (lisan
al-hal afshah min lisan al-maqal).
Dikisahkan, seseorang telah
memaki habis-habisan Abu Dzar al-Ghifari (sahabat Rosulullah). Lalu,
kepada orang itu Abu Dzar al-Ghifari berkata, “Janganlah kamu memaki
habis-habisan. Sisakan sedikit ruang untuk berdamai. Kami (kaum muslim)
tidak akan pernah membalas keburukan orang lain dengan keburukan yang
sama”. Mendengar perkataan Abu Dzar al-Ghifari, orang itu tertegun dan
berhenti memakinya. Kenapa Abu Dzar al-Ghifari mengatakan demikian ?
Karena Abu Dzar al-Ghifari sebagai salah seorang sahabat Rosulullah
tentu banyak belajar dan menimba ilmu serta kearifan dari Rosulullah.
Dan melalui kisah ini, Abu Dzar al-Ghifari mengajarkan kepada kita
tentang bahasa perbuatan (keteladanan) itu jauh lebih efektif bila
dibandingkan dengan bahasa verbal atau retorika (lisan al-hal afshah min
lisan al-maqal) dengan penjelasan yang menekankan pada keteladanan dan
keluhuran budi pekerti (akhlak) yaitu dakwah dengan menggunakan kekuatan
moral dan akhlak karimah (bukan dengan pentungan atu kekerasan, apalagi
teror). Dakwah seperti ini dapat difahami sebagai dakwah yang
menekankan dan berbasis kepada kekuatan moral atau akhlak mulia.
Rosulullah lah yang pertama melakukannya, begitu juga Khulafatur
Rosyidin dan para sahabat lainnya secara umum. Mereka semua berdakwah
dengan cara-cara yang terhormat dan dilandasi rasa cinta serta kasih
sayang dan penuh kearifan.
Dakwah seperti di atas, sekurang-kurangnya memiliki empat kriteria, yaitu :
• Mengedepankan keteladanan dan contoh atau model yang baik (qudwah
hasanah). Dalam hal ini seorang pendakwah sebagai penyeru ke jalan
Allah, tidak mengajak manusia dengan kata-kata (mulut)nya, tetapi dengan
keluhuran budi pekerti (akhlak)nya.
• Mengedepankan kebaikan
(hasanah), bukan keburukan (sayyi’ah). Dalam hal ini seorang pendakwah
seperti diperintahkan Al-Qur’an, tidak diperkenankan membalas keburukan
dengan keburukan serupa. “Dan tidalah sama kebaikan dan kejahatan.
Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik” (Fushshilat ayat
34).
• Menjaga dan memelihara diri dari akhlak tercela. Dalam
hal ini seorang pendakwah berusaha keras agar terhindar dari akhlak
tercela. Rosulullah pernah bersabda, “Orang yang paling sempurna imannya
adalah orang yang paling mulia akhlaknya”. Dalam suatu riwayat,
dilaporkan kepada Rosulullah bahwa seorang wanita rajin dan tekun
beribadah (puasa di siang hari dan bertahajjud di malam hari), tapi ia
jahat kepada tetangganya. “Hiya fi al-nar” (ia di neraka)” tegas
Rosulullah (HR Ibn Abi Syaibah). Dalam riwayat lain, Rosulullah
menegaskan bahwa seorang muslim bukanlah orang yang gemar menghujat,
mengutuk, melakukan keburukan, dan bermulut kasar. (HR Thabrani).
• Menimbulkan pengaruh yang baik. Bahwa pengaruh adalah perubahan sikap
dan perilaku seperti yang dikehendaki Allah dan Rosul-Nya. Pengaruh
adalah tujuan akhir yang ingin dicapai dari setiap proses dakwah, tanpa
pengaruh maka aktivitas dakwah seperti raga tanpa nyawa.
Semoga bermanfaat, wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar