Nasihat Spiritual Maulana Syaikh Junaid al Baghdadi
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Syeikh Abul Oasim al-Junaid bin Muhammad – rahimahullah — berkata :
“Semoga Allah mengkhususkan dirimu untuk taat kepada-Nya; memberi
peluang kepadamu untuk selaras dengan-Nya; menjadikanmu sebagai penghuni
kewalian-Nya; memilihmu untuk mahabbah cinta-Nya; mengegaskan dirimu
untuk menuju kepada-Nya; menetapkan padamu menurut ilmu kehendak-Nya;
menjadikan perbuatanmu dengan ilmu yang dikehendaki-Nya; mengembalikan
dirimu untuk memperhatikan pada kesimpulan pemahaman tentang Diri-Nya;
menghalangi antara dirimu dengan berbagai halangan yang memenggal dan
rantai yang merintang; menjadikan ucapan-ucapanmu diridhai di
hadapan-Nya dan di sisi-Nya pula engkau dalam keadaan bersih;
mencukupkan dirimu upah setiap yang sibuk dengan-Nya; memberi luang
kepadamu untuk bakti kepada-Nya; menyenangkan dirimu dengan memasrahkan
persoalan kepada-Nya; menghalangi antara dirimu dari setiap pencegah di
jalan penempuhan kepada-Nya; dan menjadikan raja penolong pada setiap
hasratmu yang membuatmu tidak bahagia dalam Menempuh ridha-Nya di
sisi-Nya, sesungguhnya Dia adalah Pelimpah kenikmatan dan yang Mencukupi
berbagai hasrat kepentingan.
Seyogyanya bagi orang yang berakal (sehat) untuk tidak mengabaikan salah satu dari tempat ini:
Tempat dimana seseorang apakah kondisi ruhaninya bertambah atau berkurang;
Tempat dimana ia berkhalwat dengan mendidik dirinya, berdisiplinlah
pada aturan yang harus dilakukannya (dan mendalami penyelidikan
pengetahuannya);
Tempat dimana akalnya dihadirkan untuk memandang aturan-Nya;
bagaimana aturan-aturan bisa berbeda-beda; baik disaat telah malam mupun
disiang hari. Akal tidak bisa jernih manakala tidak mampu kondisi
terakhir tersebut, kecuali dengan menepati aturan yang seharusnya
dilakukan dari aturan-aturan pada kedua kondisi ruhani yang pertama.
Sementara tempat-tempat dimana ia harus mengenal kondisi ruhaninya,
apakah bertambah atau berkurang, ia harus melakukan khalwat agar tidak
direpotkan oleh gangguan kesibukan yang merusak introspeksinya; yang
kelak bisa dilanjutkan dengan arah menuju penyelarasan disiplin
penunaian kewajiban, dimana perilaku taqarrubnya tidak akan jernih
kecuali dengan memenuhi kewajiban-kewajiban fardhu. Kemudian bangkit,
sebagaimana bangkitnya hamba di hadapan Tuhannya yang ingin melaksanakan
perintah-Nya. Maka pada saat demikian, terbukalah baginya
rahasia-rahasia dirinya yang tersembunyi. Ia akan tahu apakah ia
termasuk orang yang telah menunaikan kewajiban atau belum, kemudian ia
tidak ragu dengan posisinya hingga adanya bukti ilmu yang menyibaknya.
Apabila ia melihat adanya cacat, segera memperbaikinya, dan tidak
menjalankan amal selain amal itu. Perilaku demikian ini merupakan
kondisi ahli shidq. “Dan Allah mengokohkan melalui pertolongan-Nya
kepada orang yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi
Perkasa.”
Sedangkan tempat-tempat khalwat untuk mendidik diri dan mendalam
kondisi pengetahuannya, maka seharusnya bagi yang menuju arah ini, dan
ingin mendapatkan nasihat dalam beramal — maka kadang-kadang berbagai
hal itu menipu dirinya — dimana batas sebenarnya tidak diketahui kecuali
oleh orang yang teliti mata hatinya. Apa sebenarnya yang terjadi di
sana, berupa dorongan mencintai perbuatan baik.
Sebab diri itu bila cenderung untuk berbuat baik, akan menjadi
etika pada dirinya, dan diri tenteram pada tempat yang menjadi
keahliannya, sekaligus ia akan membelot dengannya. Diri melihat yang
berlaku padanya, berupa tindakan kebaikan tersebut sebagai kemampuannya,
kemudian musuh yang mendiami. mengintai untuk menghancurkannya,
mengalir melalui tempat berjalannya darah. Musuh itu mengancam dengan
kekuatan tipu dayanya pada kealpaan yang tersembunyi, lalu ia
merampasnya melalui kecondongan hawa nafsu, yang tak ada lagi jalan
kecuali melalui kondisi tersebut, bila ia tidak merasakan rampasannya,
ia mendorong dari dirinya dan mengenal dirinya untuk lebih bergegas
kembali kepada Dzat yang tidak bisa menjamin kecuali dengan-Nya.
Kemudian ia meneliti dirinya lebih mendalam seketika dimana musuh bisa
meraihnya. Lalu ia menjaganya dengan kenikmatan bersegera, mencari
pertolongan dan rasa butuh yang sangat serta mencari sandaran,
sebagaimana Nabi yang mulia, putra Nabi yang mulia, Yusuf bin Ya’qub bin
Ibrahim –alaihim as-salam:”Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku
tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan
mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Q.s. Yusuf:
33).
Yusuf as, mengetahui bahwa tipu daya musuh dengan kekuatan hawa
nafsu, tidak akan bisa dihindari dengan kekuatan diri.”Maka Tuhannya
memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya
mereka. Sesunggahnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Q.s. Yusuf: 34).
Adapun tempat-tempat yang menjadi tempat presentasi akalnya untuk
memandang tempat berlakunya aturan hukum, dan bagaimana Dia membalik
aturan, adalah tempat paling utama dan paling luhur. Sebab Allah swt.
memerintahkan seluruh makhluk-Nya agar terus-menerus beribadah dan tidak
bosan-bosan berbakti kepada-Nya. Firman-Nya:”Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Q.s.
Adz-Dzaariyaat: 56).
Dan para hamba itu mendapatkan jaminan di dunia, sementara di
akhirat mendapatkan pahala. Allah swt. berfirman:”Wahai orang-orang yang
beriman, ruku’lah, dan sujudlah, serta sembahlah Tuhanmu, dan
berbuatlah kebaikan agar kamu mendapatkan kebahagiaan.” (Q.s. Al-Hajj:
77).
Semua itu merupakan ibadah yang diharuskan kepada semua makhluk,
dan Dia menetapkan agar diketahui bagaimana aturan-aturan itu
dilaksanakan. Allah swt. juga memaparkan keluhuran ilmu dan pengetahuan.
Dia berfirman, “Setiap hari Dia dengan urusan.” (Q.s. Ar-Rahman: 29).
Yakni urusan makhluk.
Engkau — wahai orang yang berdiri teguh — agar selalu melihat bahwa
dirimu merupakan makhluk dengan urusannya. Apakah engkau mengetahui
perilakumu itu diridhai di sisi-Nya? Tak seorang pun mampu menghadirkan
akalnya kecuali dengan memalingkan diri dari dunia dan seisinya (di
sisi-Nya), keluar dari arah-Nya. Apabila dunia usai, hangus, dan hangus
pula penghuninya, berpaling dari hati, maka menjadi sunyi dengan
bercakap-cakap pada pelaksanaan dan beragamnya aturan serta rincian
pembagian. Hati tidak akan kembali, pada suatu yang sifatnya mengambil
manfaat dari dunia ini yang mana, hati telah keluar dan lari dari dunia.
Tidakkah engkau melihat ketika Haritsah berkata, “Diriku telah jemu
dari dunia.” Kemudian ia melanjutkan, “Seakan aku melihat Arasy Tuhanku
begitu jelas. Seakan-akan aku saling mengunjungi antara ahli surga,
seakan-akan, seakan…” Demikianlah kondisi sebagian kaum Sufi.
Oleh sebab itu, wahai saudaraku, berhasratlah beramal untuk
menyelamatkan dirimu, keikhlasan pembebasan diri dari perbudakan nafsu
yang hina, dan menyelamatkan diri dari bercakap-cakap pada penghuni
dunia. Setiap jiwa yang merasakan lalainya kealpaan setetes saja, pasti
akan ditimpa kekerasan hati yang memabukkan akal dan menghanguskan
pengetahuan, fitnah akan masuk dengan cara yang halus. Siapa yang
membuka tutup bencana, akan terbuka pula tutup kandungan. Ia tidak akan
menikmati sepoi-sepoi lezatnya beramal.
Sungguh bahagia kaum yang memandang mereka, mengikuti mereka dan
menunjukkan mereka jalan yang ringkas. Mendudukkan mereka pada
argumentasi yang menyelamatkan, memberi cahaya dakwah mereka untuk
memahami yang tersembunyi, melalui diskusi pemahaman perintah, ketika
Allah swt. berfirman:”Bergegaslah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu, dan
surga yang luasnya seluas langit dan bagi yang disediakan bagi
orang-orang yang takwa.” (Q.s. Ali Imran: 133).
Kemudian akal bangkit yang disertai semangat fisik dengan
pengarahan yang baik, untuk menegakkan apa yang menjadi bagian mereka di
hadapan orang yang peduli pada ajakannya, dan mata menjadi sejuk dan
gembira karena apa yang telah disampaikan kepada mereka melalui khalwat.
Maka ia pun berkhalwat bersama mereka yang tidak senang menempuh jalan
selain jalan-Nya, tidak ber-tawassul kepada-Nya kecuali dengan-Nya, dan
mereka tidak meminta sesuatu kecuali agar dilangsungkan khidmah
kepada-Nya, pertolongan yang baik dalam berselaras dengan-Nya. Para
musuh putus asa dengan mereka, wibawa hawa nafsu telah mati di hadapan
mereka, sedangkan mata cinta menyejukkan mereka. Mereka tidak ingin
meraih apa-apa yang lebih besar dibanding apa yang diraihnya, tidak
ingin memperoleh nikmat dibanding apa yang telah dianugerahkan kepada
mereka, tidak pula menginginkan daya. Mereka dijernihkan oleh ilmu, dan
muamalah (ibadah) telah mendidik mereka, sementara mereka dimuliakan
oleh sikap memastikan hanya kepada Allah Ta’ala dan mereka tidak
membutuhkan selain kepada-Nya. Mereka adalah para yang dicari Allah dan
pencari-Nya; pecinta Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Orang-orang
berhasrat rindu memandang mereka, dan merasa rugi berpisah dengan
mereka, dan amat gembira bisa berbicara dengan mereka. Allah menghendaki
mereka dan mereka pun menghendaki-Nya, mereka mencari Allah dan mereka
pun menemukan-Nya.Maka, barangsiapa ingin selamat, bergegaslah meraih
ruh kehidupan, dengan mencari hubungan pada anugerah-Nya. Karena
sesungguhnya Allah itu adalah harapan para wali, cita-cita para
cendekiawan, yang dicari orang-orang Sufi. Kalau bukan karena-Nya,
mereka pun tak akan mendapatkan petunjuk menuju kepada-Nya.
Siapa yang — Allah –menyebut mereka, Allah akan menunjukkan
kepada-Nya. Petunjuk itu tidak menghimpit hati mereka, dan Allah tidak
memberi beban yang tidak kuat untuk dilakukan oleh mereka yang lain,
bahkan Allah tidak menjauhi mereka dan tidak menyingkirkan jiwa-jiwa
mereka. Allah tidak menyiksa mereka atas kelalaian mereka. Bahkan
memberi nikmat mereka melalui penerimaan udzur ketika menerima mereka,
memaafkan atas ketidakmampuan fisik mereka, dan mendudukkan mereka
dengan persahabatan yang indah. Memperkuat komitmen mereka dengan
tradisi generasi ummat-ummat terdahulu dengan beban yang baik.
Membersihkan mereka dari azab yang dahsyat, memberi petunjuk mereka
jalan syukur dan ridha di sisi-Nya, mengasihi antara mereka dan para
pengamat keserupaan dan problema. Allah menjaga hati, mata dan
pendengaran mereka dari mendekat pada kebinasaan. Dan mereka pun menjaga
diri dari membincangkan sesuatu dari kebinasaan; Sesuatu yang merusak,
dan tragedi dunia menjadi sesuatu yang hina di mata mereka. Mereka
merasa senang atas pilihan yang diberikan Wali mereka. Taqarrub mereka
adalah penyucian, tasbih, pambagusan, dan tahlil. Rasa senang dan sejuk
mereka ada pada ketika mereka bermunajat. Tak ada yang menghalangi
mereka ketika Mereka bertemu dengan-Nya di akhirat.
Bahwasanya, makhluk itu terputus dari Allah Azza wa Jalla, karena
mereka mengikuti hawa nafsu, patuh pada lawan-lawannya, membincangkan
bunga-bunga dunia, memprioritas apa yang menghancurkan dan meninggalkan
apa yang mengabadikan.Karena itu bergegaslah saudaraku, untuk
memperbaiki kesalahan umur yang berlalu, kealpaan dan penyimpangan serta
kelambatan, dalam, rangka menjaga sisa usiamu dengan cara bangkit,
takut, tekun, waspada sebelum waktu berlalu, datangnya maut. Sebab Allah
tidak ridha kepada generasi sesudahnya kecuali beramal sebagaimana amal
yang diridhai pada generasi sebelumnya. Karena itu leluaskanlah dirimu
dalam pembebasan belenggu dengan menanggalkan pakaian yang merepotkan.
Sebab suatu hari Allah swt. akan membuka segala aib, pada hari itu
amal-amal ditampakkan. Hari, dimana seorang saksi atau teman, tidak bisa
menolong dengan amalnya, dan tak seorang pun mengharapkan, kecuali pada
pengampunan dan maaf dari Tuhannya. Suatu hari, yang begitu banyak
penyesalannya, begitu kuat caciannya.
Mulai saat ini, semampang permintaan maaf diterima dan waktu masih
luang, amal masih terbentang, tobat masih diterima, dosa bisa dihapus
oleh inabah, penyesalan dan kata-kata masih didengar, kebajikan masih
diikuti, kebenaran masih jelas, jalan begitu gamblang, dan hujjah masih
kokoh.Hujjah yang benar itu hanya bagi Allah, seandainya Dia
menghendaki, niscaya Dia memberi petunjuk kepadamu semua. Sedangkan
pengaruh kehendak hidayah itu sangat jelas di mata orang yang
mendapatkan hidayah. Di antara tanda orang yang mendapatkan hidayah
adalah memiliki sifat-sifat, antara lain ringan taat, “Cinta
penyelarasan dengan-Nya, melihat diri sendiri dengan mata hina,
memutuskan diri untuk menegakkan kewajiban, kasih sayang, persaudaraan,
penyucian, saling mencintai, saling menolong, memprioritaskan kepada
ahli taqarrub dan mereka yang menuju Dzat Allah Azza wa Jalla dibanding
diri mereka sendiri, memberi bantuan kepada ahli kewalian, bergerak
menjauhi perkara yang diharamkan Allah, ridha yang disertai sabar atas
persoalan yang berlalu, merasa ringan dan ringan dalam memberi upah,
teliti, detil serta hati-hati, dan menghargai waktu. Berpijak pada sikap
yang ala kadarnya dalam memberikan kegembiraan kepada orang lain,
bergaul dan duduk bersama mereka. Tidak mengungul-ungulkan mereka, yang
dalam konteks ini, Allah berwasiat kepada Nabiyullah saw.:”Dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan
kehidupan dunia ini.” (Q.s. Al-khafi :28)
Semoga Allah menjadikan kami dan kalian tergolong orang yang
mengetahui Hak Allah dan mengamalkannya. Sibuk dengan Hak Allah dan
tidak disibukkan oleh faktor yang mengabaikan Hak Allah itu. Semoga
Allah melindungi kami dan engkau, sepanjang perlindungan-Nya kepada kita
serta memperbagus pertolongan-Nya kepada kita. Hendaknya engkau
benar-benar menunaikan syukur dan melanggengkan dzikir. Dia-lah Pelimpah
Kebajikan, Yang Menjanjikan surga bagi hamba-Nya, dan Mengancam mereka
dengan neraka,Kitab ini selesai seiring dengan memuji Allah dan
anugerah-Nya. Semoga shalawat dan salamnya terlimpah kepada junjungan
kita Muhammad dan seluruh keluarganya.
—(ooo)—
Kisah Murid Yang Takabur
Seorang murid Syaikh Junaid merasa telah mencapai derajat kesempurnaan.
“Lebih baik aku menyendiri,” pikirnya.
Maka ia pun menyendiri di sebuah sudut kamarnya dan duduk di sana
selama beberapa waktu. Setiap malam, seekor unta dibawa ke hadapannya
dan dikatakan padanya, “Kami akan membawamu ke surga.” Ia pun
menunggangi unta itu dan berkendara sampai tiba di sebuah tempat yang
menyenangkan dan membahagiakan, tempat yang dipenuhi oleh orang orang
tampan. Di sana berlimpah berbagai jenis makanan dan air yang mengalir.
Ia tinggal di sana hingga fajar; kemudian ia akan tertidur dan telah
berada di kamarnya ketika terjaga. Ia pun menjadi bangga dan sombong
karena hal ini.
“Setiap malam aku dibawa ke surga,” katanya membanggakan diri dihadapan murid-murid yang lainnya.
Kata-katanya ini sampai kepada Syaikh Junaid. Maka Syaikh Junaid
pun mendatangi kamar muridnya itu. Di sana Syaikh menemukannya
mempraktekan tatakrama yang tinggi.
Syaikh Junaid bertanya padanya tentang apa yang terjadi. Si murid pun menceritakan keseluruhan cerita kepadanya.
“Malam ini, saat engkau dibawa ke sana, ucapkanlah tiga kali: ‘Laa
Haula walaa Quwwata Illa Billahil ‘Aliyyil ‘Adzim” kata Syaikh Junaid.
Malam itu si murid mengalami apa yang biasanya terjadi. Dalam
hatinya, ia tidak mempercayai apa yang telah dikatakan oleh sang syaikh
kepadanya. Namun, bagaimanapun juga, saat ia tiba di tempat itu, ia coba
coba mengucapkan: “Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah,
Yang Maha Tinggi, Yang Maha Agung.” Seketika, semua yang ada di sana
berteriak dan pergi melarikan diri. Ia menemukan dirinya berada di atas
gundukan kotoran hewan dengan tulang-tulang berserakan di sekitarnya.
Menyadari kesalahannya, ia pun bertobat dan kembali ke majelis Syaikh
Junaid.
Ia telah belajar bahwa bagi seorang murid, menyendiri adalah racun yang mematikan.
Kisah Syaikh Junaid Ketika Sakit Matanya
Suatu kali, Hadhrat Maulana Syaikh Junaid al Baghdadi menderita sakit mata. Beliau Pun memanggil seorang tabib.
Tabib itu berkata, “Jika matamu terasa berdenyut denyut, jangan biarkan matamu itu terkena air,”
Namun ketika tiba waktu shalat, Syaikh Junaid malah berwudhu,
shalat, kemudian pergi tidur. Ketika ia bangun, matanya telah sembuh. Ia
mendengar sebuah Suara berkata, ‘Junaid mengabaikan matanya demi
memilih keridhaan Kami. Jika, demi tujuan yang sama, ia memohon ampunan
bagi para penghuni neraka, niscaya permohonannya akan Kami kabulkan’.”
Keesokan harinya, sang tabib kembali mendatangi Syaikh Junaid dan
melihat bahwa mata Junaid telah sembuh. “Apa yang telah engkau lakukan?”
tanya sang tabib keheranan.”Aku berwudhu untuk shalat,” jawab Syaikh
Junaid.
Seketika itu pula sang tabib, yang beragama Kristen, mengucapkan
dua kalimat syahadat.”Ini adalah penyembuhan Sang Pencipta, bukan
penyembuhan makhluk,” komentar tabib tersebut. “Wahai Syaikh matakulah
yang sakit, bukan matamu. Engkaulah tabib yang sebenarnya, bukan aku.”
Uluhiyyah
Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.Al-Haq
(Allah swt.) mengasingkan diri bersama mereka, dan sifat Uluhiyah
di-tajrid-kan bagi mereka. Maka, awal limpahan pengetahuan Al-Haq datang
melalui penyaksian-penyaksian penampakan-Nya, dan turun-Nya kepada
mereka pada awal Uluhiyah. Ke-Azalian turun pada keabadian, dan
kelanggengan baqa’, sampai pada yang tiada hingga, tiada pangkal.
Setelah itu, diikuti dengan sifat Penyaksi yang Menghadang penuh
Perkasa; Keangkuhan tiada tara, Tampilnya paksaan, Tingginya
Kesombongan, Pemaksa kekuasaan dan Dahsyatnya pelenyapan, Agungnya
kebesaran dan Agungnya keperkasaan. Dengan hal demikian, lalu Dia
mengasingkan Diri, Maha Besar dan Maha Luhur dengan Keagungan. Al-Haq
Tegak, bersama Al-Haq untuk Al-Haq. Al-Haq bersama Al-Haq sebagai Hakim
bagi hukum.Dia Esa dalam Kemandirian Perkasa-Nya, Esa, Sendiri dan
segalanya bergantung kepada-Nya. inilah awal penyaksian Turun-Nya kepada
orang yang dilimpahi Nama ini, dan orang itu ditempati Nama tersebut di
hadapan-Nya. Hal itu diiringi dalam penjagaan benteng-Nya dengan-Nya
dan bagi-Nya dari Asmaul Husna-Nya, baik yang ditunjukkan atau belum,
berupa Asma-asma al-Jam’u mat-Tafriqah sekehendak-Nya ketika dalam
penampakan maupun penyembunyian. Diantaranya ada yang jelas dalam
pembuktiannya dan gamblang dalam wilayah pencariannya, terlihat sebab
akibat arahnya, beristirahat dalam tempat-tempatnya, di sana dan di sini
dalam kendaraannya. Lantas sifat-sifat menjadi fana’ dengan melintasnya
penghimpunan menurut teknis hakikat, yang kemudian ditutupinya. Di
dalamnya tersembunyi, lalu dihilangkan. Padanya terhampar lalu
disimpannya. Semula mendiami lalu dibinasakan. Ketika dikalahkan lalu
dipaksanya. Lalu keasingan-keasingannya musnah berpisah tanpa sambung;
membubung dengan susunan namun tanpa jenis aturan. Lalu meninggi dengan
dzahir nya, dan penampakan keruntuhannya melalui pemandirian
hukum-hukumnya. Lalu pada saat seperti itulah, bercerai-berai lenyap;
kesombongan saling menyombong; keperkasaan saling memerkasakan, lalu
pada kala seperti itu, muncullah “mana”-nya “mana”, (ainal ain) padahal
“mana” itu tidak menempati waktu (masa).
Lalu ke manakah perginya “mana” menurut kelanggengan Azalinya?
Sedangkan mana yang tidak mana bagi-Nya, dan tidak di mana di dalamnya
berada dalam Kemandirian Uluhiyah. Itulah sebagian apa yang dihamparkan
Al-Haq dengan-Nya dalam Nama Al-Jam’u.Kemudian berlaku kepada mereka
sesuatu yang berlaku dalam pandangan, dalam bukti penyaksian yang
mempertemukan Al-Haq, kepada siapa pun yang demikian sifatnya atas
nama-Nya Yang Sendiri dan ilmu-Nya yang murni. Ini merupakan isyarat
yang tidak bisa diulas lebih banyak. Dan tidak memahami jenis isyarat
itu kecuali dengan keadaan yang telah kami sebutkan di atas. Banyak yang
telah diliputi uraian tersebut, namun aku tidak mampu mengungkapkannya.
Raihlah melalui sesuatu yang tidak bisa diraih kecuali dengan-Nya,
manakala mengetahui Al-Haq dengan pengetahuanmu dan di dalam
pemahamanmu.Maka di antara sebagian yang dipertemukan oleh Al-Haq dalam
Nama at-Tafriqah adalah: Nama itu ditahan oleh penampakan sesuatu yang
dipakai oleh mereka, dan dipakainya untuk menjelaskan apa yang mereka
tahan. Mereka dalam laku permukaannya penuh dengan kesaksian-kesaksian
yang rahasia terpendam. Manakala diperlihatkan apa yang mereka teliti,
tenggelamlah tempat penemuan oleh ketersembunyian rahasiannya. Mereka
dalam penyaksian-penyaksian apa yang ditampakkan kepada mereka menurut
kebisaaan apa yang diperlihatkan kepada mereka. Lalu mereka melihat
pancaran apa yang sedang dilihatnya; yaitu melihat pancaran rahasia yang
terjaga, yang mengguncang mereka dalam penampakan apa yang tersembunyi
itu. Hal itu terjadi ketika belum diberikannya sifat ini kepada mereka
pada tirai yang asing. Lalu ditampakkan bukti kesaksian pencurahan dan
pelimpahan rasa kasihan dari perkara yang mendahului. Mereka ditampakkan
dengan-Nya ketika mereka diterima oleh-Nya bersama-Nya. Dan pengagungan
kedudukan-Nya di sisi mereka, melalui berita-berita adanya penemuan
yang terpenuhi, dan pemenuhan pada setiap yang dicintai, dicari dan
disenangi, melalui penyempurnaan purnanya kesucian dan manunggalnya
anugerah yang beruntun. Lalu mereka dikasihani dalam tempat aman bagi
mereka, melalui penyaksian mereka kepada-Nya, yang ghaib dari diri
mereka, dan mengambil apa yang diterima mereka, dan mencabut apa yang
membuat mereka gembira dari anugerah dan rasa kasihan-Nya, dan mereka
dihentikan oleh kehendak agar sampai kepada-Nya, dan pencarian
kepada-Nya; berupa kontra-kontra kesaksian yang dahulu.Seandainya engkau
melihat mereka dengan mata penyaksian-Nya pada mereka, dan melihat
dengan kenyataan apa yang ditempatkan kepada mereka, tentu engkau akan
melihat berbagai sandera yang terbelah-belah dan terlenyapkan, serta
melihat penyiksaan arwah-arwah luluh lantah.
Mereka dihanyutkan melalui pelenyapan dalam Keperkasaan
Malakut-Nya, dan mereka dilenyapkan dengan limpah-ruah cobaan Al-Haq
dengan pemusnahan oleh-Nya, dengan sesuatu dimana mereka mendapatkan
pertolongan dari-Nya, dan dengan itu Pula kepada-Nya, dalam
tekanan-tekanan kegelisahan bencana yang membuat mereka mengaduh.
Nafas-nafas mereka dikumpulkan dalam nafas-nafas mereka, dan ruh-ruh
mereka ditahan dalam ruh-ruh mereka. Dan dengan begitu mereka ke sana-ke
mari, dan dari-Nya, bersama-Nya, kepada-Nya mereka menunggalkan
diri.Inilah, sebagian ilmu Tauhid dihamparkan oleh hamba-hamba
Kinasih-kinasih-Nya. Selesailah (bab ini), dengan memuji kepada Allah
dan dari Allah dan dari Allah pula. ‘Semoga Allah menganugerahkan
rahmat-Nya kepada Muhammad dan seluruh keluarganya, dan memberikan
keselamatan dengan keselamatan penuh.’
Adab Penempuh Jalan Ruhani
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Pemurah.
Hazrat Maulana Syaikh Abul Oasim al-Junaid — Radhiyallahu anhu —
ditanya tentang etika penempuh jalan Allah Azza wa jalla, maka al-Junaid
menjawab, “Hendaknya engkau ridha terhadap Allah Azza wa Jalla dalam
seluruh tingkah laku ruhani, dan hendaknya engkau tidak meminta kepada
siapa pun kecuali kepada Allah Ta’ala.” Beliau juga ditanya tentang
intuisi kebaikan, apakah intuisi itu hanya satu atau banyak? Al-Junaid
menjawab, “Kadang-kadang bisikan (intuisi) yang mengajak pada kepatuhan
itu terdiri dari tiga arah:
1. Bisikan yang dibangkitkan oleh intuisi syetan
2. Bisikan nafsu yang dibangkitkan intuisi syahwat dan peringanan beban; dan
3. Bisikan Rabbany yang dibangkitkan oleh intuisi taufik.
2. Bisikan nafsu yang dibangkitkan intuisi syahwat dan peringanan beban; dan
3. Bisikan Rabbany yang dibangkitkan oleh intuisi taufik.
Ketiganya sulit dibedakan dalam hal ajakannya untuk patuh. Untuk
membedakan harus didasari amaliah yang benar, sebagaimana sabda
Rasulullah saw, “Barangsiapa dibukakan pintu kebaikan, maka cepatlah ia
meraihnya.” Dan tentunya, kita harus menolak pintu terbuka di luar
kebajikan. Sementara intusi syetan itu berdasar firman Allah
swt.:”Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was
dari syetan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka
melihat kesalahan-kesalahannya.” (O.s. Al-A’raaf: 201).
Sedangkan intuisi syahwat yang merupakan bisikan nafsu, berdasar
sabda Rasuluilah saw, “Neraka itu dihiasi oleh kesenangan-kesenangan.”
Masing-masing intuisi atau bisikan tersebut memiliki perbedaan spesifik
yang bisa dibedakan oleh pihak yang mendapatkannya.
Bisikan nafsu yang dibangkitkan intuisi syahwat dan upaya pencarian
keringanan beban dan kesenangan; maka dalam konteks ini, syahwat
terbagi menjadi:
1. Syahwat Nafsaniyah, Seperti cinta kedudukan dan keluhuran, usaha membalas (dendam) ketika marah, dan merendahkan pihak yang kontra kepadanya, dan sebagainya; serta
2. Syahwat jasmaniyah, seperti makan, minum, kawin, berpakaian, bersih, dan sebagainya.
1. Syahwat Nafsaniyah, Seperti cinta kedudukan dan keluhuran, usaha membalas (dendam) ketika marah, dan merendahkan pihak yang kontra kepadanya, dan sebagainya; serta
2. Syahwat jasmaniyah, seperti makan, minum, kawin, berpakaian, bersih, dan sebagainya.
Bagi nafsu, ada upaya kebutuhan pada obyek-obyek kenikmatan ini
menurut jangkauan masing-masing dan tekanannya yang kuat kepada
masing-masing ragam dari nafsu tersebut.
Bagi orang yang mendapatkan bisikan nafsu ada dua tanda yang
berdiri pada posisi seorang saksi yang adil dalam membedakan bisikan
yang ditentukan:
Pertama, bisikan itu datang di saat ada kebutuhan mendesak pada
unsur-unsur yang serupa tersebut, seperti munculnya keinginan kawin
ketika hal-hal yang disenangi sangat mendesak, namun kebutuhan itu
dijumbuhkan, bahwa tujuan kawin itu mengamalkan perintah Nabi saw,
“Nikahlah kalian, agar kalian menurunkan keturunan. Sebab aku akan
berlomba-lomba memperbanyak ummat lewat kalian di hari Kiamat.” Juga
seakan-akan didasari oleh sabda Nabi saw, “Tak ada kependetaan di dalam
Islam,” hal yang sama juga dalam soal makan di saat lapar. Lalu
kadang-kadang dijumbuhkan dengan ajakan pada dirimu untuk meninggalkan
puasa atau mendapatkan hal-hal yang menyenangkan, dengan alasan
tersebut. Misalnya engkau mengatakan, bahwa puasa yang terus-menerus itu
bisa melemahkan keinginan untuk taat; dan bahwa meninggalkan makanan
yang enak ini, bisa melukai teman Muslim yang mengundangnya; atau bisa
melukai perasaan keluarga manakala makanan itu memang sangat diminati
oleh keluarganya.
Tetapi kadang-kadang ada godaan yang mengkhianatimu dengan warna
lain, misalnya ada bisikan yang mengatakan kepadamu, “Jauhilah nafsu
dengan meraih hal-hal yang tidak menyenangkan, agar bisikan nafsu itu
tidak masuk kepadamu, yang bisa merusak ibadahmu,” dan sebagainya yang
serupa. Semua ini merupakan godaan dan penyimpangan bisikan tersebut.
Semisal dengannya, ketika ada rasa berat dan enggan untuk beribadah, lalu bisikan itu datang dengan menggunakan alasan hadis bahwa Nabi saw. melarang “tidak nikah”, melarang pemaksaan diri, seperti sabdanya, “Lakukanlah amalmu semampumu,” dan sabdanya lagi, “Pohon yang ditumbuhkan, tidak pada bumi yang gersang, juga tidak pada tanah yang kasar.” Bahkan memperbanyak ibadah yang mendorong keletihanmu, syahwatnya mencegah untuk menjurus pada rusaknya ibadah atau mencegah untuk berpaling dari ibadah. Lantas membawamu pada bunuh diri atau penjara dan sepadannya, karena adanya khayalan atas dua kondisi tesebut, yang menjanjikan kesenangan dan hilangnya beban.
Semisal dengannya, ketika ada rasa berat dan enggan untuk beribadah, lalu bisikan itu datang dengan menggunakan alasan hadis bahwa Nabi saw. melarang “tidak nikah”, melarang pemaksaan diri, seperti sabdanya, “Lakukanlah amalmu semampumu,” dan sabdanya lagi, “Pohon yang ditumbuhkan, tidak pada bumi yang gersang, juga tidak pada tanah yang kasar.” Bahkan memperbanyak ibadah yang mendorong keletihanmu, syahwatnya mencegah untuk menjurus pada rusaknya ibadah atau mencegah untuk berpaling dari ibadah. Lantas membawamu pada bunuh diri atau penjara dan sepadannya, karena adanya khayalan atas dua kondisi tesebut, yang menjanjikan kesenangan dan hilangnya beban.
Salah satu dari dua bukti dari bab ini, diawali dengan kejenuhan
dan kepayahan, ketika muncul keinginan untuk lepas beban, dan diawali
dengan sesuatu yang menyenangkan yang dimunculkan oleh intuisi syahwat.
Karena itu harus direnungkan perihal dua kondisi tersebut. Apabila telah
didahului oleh dua motivasi tersebut, berarti itu bisikan nafsu.
Kebutuhan nafsu adalah faktor yang mengajak dan menggerakkannya.
Kesimpulannya bahwa bisikan tersebut bersifat syahwat atau keinginan
pada hal yang menyenangkan. Maka pada galibnya bisikan seperti itu pasti
dari nafsu. Sedangkan saksi kedua adalah desakan bisikan ini dan tidak
adanya pemutusan terhadap bisikan tersebut, hingga datangnya semacam
kemampuan sepanjang engkau menolak dan berjuang melawan nafsumu, yang
mendesak dan mengeraskan kepalamu, lalu muncul desakan bahwa memohon
perlindungan, rasa takut, waspada dan rasa suka itu tidak ada gunanya.
Bahkan yang muncul adalah dorongan yang mendesak terus-menerus. Yang
demikian ini merupakan bukti-bukti yang gamblang, bahwa desakan demikian
dari nafsu. Sebab nafsu itu seperti anak-anak, ketika anak-anak di
larang malah tampak keras kepalanya.Dua kondisi seperti itu merupakan
bukti yang adil, manakala bertemu, tidak bisa diragukan sebagai bisikan
nafsu. Terapinya untuk menanggulangi masalah ini adalah kontra secara
radikal dan upaya yang penuh. Engkau harus mencegah keinginan bebas
beban di saat muncul pembangkit bisikan kepayahan dan kelelahan ibadah,
atau posisi yang memberatkan, agar bisa mencegah gerakan intuitif
seperti itu. Apabila bisikan itu bersifat emosi syahwat, terapinya
melalui tindak preventif terhadap faktor yang memburunya, atau engkau
menolak dari kesenangan lain agar lebih kuat tindak pencegahannya.
Sedangkan intuisi syetan ditandai dengan dua hal pula:
Pertama, dengan munculnya sebagian apa yang dibutuhkan nafsu melalui ajakan syahwat atau ajakan bebas beban dalam waktu-waktu yang diinginkan sebagai tuntutan nafsu. Perbedaan antara intuisi syetan dan intuisi nafsu, bahwa intuisi syetan itu sangat mendesak. Kedua, intuisi syetan itu dimulai dan ditimpakan pada akalnya, sementara intuisi nafsu berkaitan dan menggerakkan wataknya seperti syahwat dan rasa senang. Oleh sebab itu was-was syetan berjalan menuruti alur pembicaraan manusia dengan dirinya. Hanya saja perbedaan di sana-sini tidak terlihat jelas.
Pertama, dengan munculnya sebagian apa yang dibutuhkan nafsu melalui ajakan syahwat atau ajakan bebas beban dalam waktu-waktu yang diinginkan sebagai tuntutan nafsu. Perbedaan antara intuisi syetan dan intuisi nafsu, bahwa intuisi syetan itu sangat mendesak. Kedua, intuisi syetan itu dimulai dan ditimpakan pada akalnya, sementara intuisi nafsu berkaitan dan menggerakkan wataknya seperti syahwat dan rasa senang. Oleh sebab itu was-was syetan berjalan menuruti alur pembicaraan manusia dengan dirinya. Hanya saja perbedaan di sana-sini tidak terlihat jelas.
Manusia menggerakkan hatimu dari arah indera pendengaran di saat
berbicara; atau mendengar dan melihat ketika menunjukkan
(mengisyaratkan); serta merasakan ketika meraba; sementara syetan
mengganggu melalui was-was dan perabaan hati serta membisik dalam hati.
Syetan tidak tahu yang ghaib, namun ia datang kepada nafsu dari sisi
akhlak yang direkayasa untuk dilakukannya. Inilah perbedaan antara
intuisi nafsu dengan intuisi syetan.
Adapun intuisi Rabbany, ditunjukkan melalui dua bukti.
Adapun intuisi Rabbany, ditunjukkan melalui dua bukti.
Pertama, muncul berselaras dengan syariat bagi pelakunya, dan ada
bukti-bukti kebenarannya. Kedua, tidak diawali hasrat nafsu ketika
menerima intuisi tersebut, justru muncul ragam keleluasaan. Intuisi
tersebut merobohkan nafsu, tanpa adanya permulaan seperti pada intuisi
syetan. Hanya saja kecepatan nafsu berselaras dengan intuisi syetan,
lebih banyak, lebih gamblang, dan lebih membuatnya malas. Karena syetan
itu tiba dari sisi syahwat dan kesenangannya. Sedangkan intuisi Rabbany
datang dari segi beban dan tugas. Nafsu menolak kedatangan tugas dari
intuisi Rabbany. Inilah perbedaan antara intuisi Rabbany, intuisi nafsu
dan intuisi syaithany. Apabila engkau kedatangan bisikan atau intuisi,
maka timbanglah dengan tiga kriteria di atas, buktikan dengan
bukti-bukti yang kami tunjukkan, sehingga engkau bisa membedakan
berbagai intuisi.
Jadikanlah intuisi syetan dan nafsu — sebagaimana kami sebutkan
untukmu — untuk ditolak, lalu bergegaslah dengan intuisi Rabbany. Jangan
engkau abaikan intuisi Rabbany itu, sebab waktu itu sempit dan kondisi
ruhani itu bisa berubah.
Engkau harus waspada dengan buaian nafsu dan was-was syetan. Sebab
pintu ini termasuk pintu kebajikan yang dibukakan untukmu, maka raihlah
hingga engkau bisa memulai dari awalnya.
Misalnya, muncul bisikan kepada orang yang dianjurkan berpuasa pada
sebagian bulan atau qiyamullail, lalu bisikan itu datang, “Sudahlah,
nanti saja kalau malam sudah habis,” atau kata-kata, “Nanti saja kalau
bulan akan habis,” padahal bisikan seperti itu adalah rekayasa bagi
pemilik pintu taufik.
Bisikan-bisikan seperti itu tidak abadi, namun cepat berubah.
Sedangkan bergegas untuk berpegang erat pada intuisi Rabbany, sangat
dianjurkan syariat. Ada dua manfaat di dalamnya:
Pertama, bahwa waktu yang ada adalah waktu yang paling sempurna, seperti waktu-waktu dimana hadist-hadist menyebutkan turunnya anugerah Allah Azza wa Jalla, dan turunnya rahmat serta ampunan. Sementara pandangan-pandangan Allah swt. kepada makhluk-Nya tiada terbatas.
Pertama, bahwa waktu yang ada adalah waktu yang paling sempurna, seperti waktu-waktu dimana hadist-hadist menyebutkan turunnya anugerah Allah Azza wa Jalla, dan turunnya rahmat serta ampunan. Sementara pandangan-pandangan Allah swt. kepada makhluk-Nya tiada terbatas.
Kedua, semangat untuk menjalankan perintah-perintah dan taat ketika
muncul berkah dibalik amal. Di sinilah rasa malas menjadi sirna, karena
berhadapan dengan hembusan-hembusan Rahmat Allah Ta’ala. Demikian pula
sekaligus menjadi manfaat olah jiwa (riyadhah nafsu) untuk segera
melaksanakan perintah-perintah. Wallahu A’lam wa Ahkam.Demikian akhir
dari ucapan Abul Qosim al-junaid — semoga Allah menyucikan ruhnya dan
mencerahkan kuburnya. Dan segala puji hanya bagi Allah Tuhan sementa
alam, serta shalawat dan salam semoga terlimpah pada junjungan kita
Muhammad, beserta keluarga dan sahabatnya semuanya, dengan salam
sejahtera yang melimpah ruah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar